Menafsir Demam Blackberry

DUA tahun lalu, aku membaca berita tentang Presiden Barrack Obama yang keranjingan Blackberry (BB). Berita itu juga menyebutkan bahwa staf Gedung Putih (white house) mengeluarkan aturan ketat yang membatasi penggunaan Blackberry. Dulunya, aturan itu agak aneh bagiku. Tapi tidak sekarang, sejak kuperhatikan sendiri seberapa lama istriku stand by di hadapan BB dan memelototinya selama berjam-jam.

Sejatinya, tak ada yang berbeda antara BB dengan handphone jenis lain.  Tapi dari sisi koneksi dan aksesibilitas, BB bisa dikatakan terdepan. Melalui BB, anda hanya cukup membayar tagihan sebesar Rp 100 ribu per bulan, dan selanjutnya anda akan terkoneksi setiap saat. Bahkan fitur BB messenger bisa anda gunakan untuk berkirim pesan, foto, video, hingga animasi secara gratis, tak peduli seberapa banyak pesan itu anda kirimkan selagi anda terkoneksi. Inilah kelebihan BB yang tidak ditawarkan ponsel jenis lain.

Sudah seminggu istriku keranjingan dengan BB. Ia rajin memantau facebook, twitter, dan berbagai situs lain setiap harinya. Ia menikmati hari-hari bersama BB dan terkoneksi dengan semua teman-temannya setiap saat tanpa harus memikirkan pulsa bulanan. Ini memang era cyber di mana perjumpaan secara fisik sudah tidak diperlukan lagi. Anda bisa berada di belahan dunia manapun, namun bisa tetap saling sapa, atau saling mencandai, selagi ada perangkat teknologi di tangan anda. Teknologi telah mendefinisikan ulang tentang ruang yang mulai mencair. Batasan fisik mulai dipertanyakan selagi bisa terhubung. Di era ini kategori seperti desa-kota atau pinggiran-pusat sudah waktunya ditafsir ulang terkait keberadaan teknologi.

Kelebihan BB di mata istriku adalah kemampuan untuk membentuk komunitas maya yang masing-masing anggotanya bisa terus meng-update perkembangan. Mereka bisa membentuk satu grup di mana setiap pesan bisa terkirim secara gratis ke semua anggotanya. Sama persis dengan kenanggotaan sebuah grup di facebook. Tapi di BB, anda terhubung dengan semua anggota grup melalui ponsel di tangan, dan semua komunikasi dilakukan dengan gratis, tanpa biaya. Tidak hetan jika istriku bisa tetap menjaga hubungan dengan teman-teman sekelasnya di kampus yang nota bene tersebar di banyak kota.

Tulisan ini masih amat tentatif (sementara). Sepertinya aku masih harus banyak melakukan pengamatan atas aktivitasnya selama berjam-jam di BB. Keuntungan sebagai seorang penulis adalah segala apa yang ada di sekitar bisa menjadi inspirasi untuk menulis. Bahkan istri sekalipun bisa jadi bahan observasi untuk dituliskan. Iya khan?

0 komentar:

Posting Komentar