Terimakasih Timnas Indonesia

TIM nasional gagal menjadi juara. Keseblasan yang dijuluki Tim Garuda itu harus menelan pil pahit di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Di sekitar rumah saya, petasan meluncur ke udara dan berdentum seolah hendak mengabarkan kesedihan ke seluruh anak negeri.

Hamka Hamzah tergeletak di belakang
pemain Malaysia (Foto: Agus Susanto/ Kompas)

Sebuah tim yang sedemikian anggun memperagakan tarian bola selincah reog Ponorogo, dengan keindahan serupa lukisan batik, harus menerima kenyataan pahit dari tim negeri seberang yang kerap pongah dan mencaplok kekayaan budaya negeri ini. Sebuah tim yang kelincahannya serupa tari pendet yang mengerling menawan di babak penyisihan, tiba-tiba porak-poranda dalam laga di Malaysia, meskipun memetik kemenangan tipis di Gelora Bung Karno.

Saya termasuk orang yang tertegun menyaksikan itu. Mulanya, saya tiba-tiba merasa kesepian. Selama beberapa saat, saya hanya bisa mematung dan tak bisa berkata-kata. Saya memang pendukung fanatik tim nasional. Bersama jutaan warga, saya tengah merayakan nasionalisme yang ditarik hingga titik tertinggi. Ini Indonesia, Bung! Inilah bangsa yang warganya rela melakukan apapun atas nama negeri.

Bung! Anda sedang bermain di stadion bernama Gelora Bung Karno, yang menyandang nama Sukarno, sosok inspiratif yang membawa bangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Sukarno, nama yang menggetarkan itu, masyhur dalam sejarah dan pernah didatangi pemimpin Malaysia yang ingin menggabungkan negeri. Takdir kita memang berbeda. Dalam tuturan Sukarno, kita lahir dalam kurun sejarah yang berbeda. Kami lahir dari percikan-percikan kisah tentang keperkasaan untuk menegakkan kedaulatan atas negeri ini. Kami lahir dari semangat garuda yang membumbung tinggi dan menjebol kolonialisme.

Tapi, dalam permainan semalam, bola sungguh menunjukkan rigoritas kuasanya: Manusia tak bisa memastikan kemenangannya. Di sini jelas, bahwa bukan awal, melainkan akhirlah yang menentukan. Persis, seperti dikatakan pesepakbola kondang Michel Platini, “Dalam bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, jarang ia akan memperoleh ganjaran pada akhirnya.” Manusia mengira awal adalah segalanya. Bola mengatakan sebaliknya: akhirlah yang menentukan segalanya. Maka, bila sudah menggelinding, bola adalah dunia, di mana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch: “Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tapi pada akhir.”

Dalam dunia macam itu, mau tidak mau manusia harus berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, efisiensi, kalkulasi, atau rasionalitasnya. Ya, terhadap dunia modern yang benci terhadap irasionalitas dan nasib ini, bola mengharuskan mereka mau mengakui kuasa keberuntungan yang melawan rasionalitas manusia itu. Di ajang Piala AFF ini, nujuman Bloch seakan mengejawantah pada tim garuda. Spektakuler di awal laga penyisihan, namun terkapar justru di titik akhir. Mereka jatuh justru karena mereka sedang berada di titik atas sehingga kehilangan daya untuk refleksi dan menata ulang formasi tari pendet dan reog ponorogo menjadi darah tim nasional.

Tapi apapun hasil pertandingan, di stadion itu, saya melihat semangat yang menggila. Saya merinding melihat permainan tim nasional yang terus menjebol tanpa kenal lelah. Nasuha, Bustomi, dan Firman bertarung tanpa kenal lelah. Mereka seperti garuda terluka yang mempertaruhkan kehormatan dan harga diri bangsa. Di situ, saya tidak sedang melihat sebuah keseblasan yang tengah berjuang menggapai point penting kemenangan. Saya melihat mereka sebagai pejuang-pejuang bangsa yang mempertaruhkan nyawa dan kehormatan bangsa hingga titik akhir.

Inilah bangsa Indonesia dan masyarakatnya yang saya cintai. Kalian -para pemain bola yang luar biasa itu– telah mempertontonkan bahwa bangsa ini tidak akan pernah menyerah hingga detik akhir. Kalian memperlihatkan ciri khas anak muda yang tengah merayakan kegembiraan lewat sepakbola. Bola adalah arena tempat mereka bermain lepas, tanpa harus terbebani dengan politik ala generasi tua yang sibuk berebut pencitraan. Yup. Generasi tua itu adalah generasi yang tak kenal sejarah. Mereka adalah generasi yang hanya bisa mengklaim kemenangan kalian, namun saling tuding ketika kalian kalah. Mereka yang hanya bisa diam ketika melihat kalian terluka dengan darah yang menetes-netes saat berjibaku di lapangan itu, namun demikian pongah ketika kalian menang.

Muhammad Ridwan (merah) berusaha
melewati kepungan pemain Malaysia (foto: Dhoni Setiawan/ Kompas)

Tapi lapangan ini tetaplah milik kalian. Kalian memang anak-anak muda yang punya tafsir sendiri atas politik. Di saat mereka mengkilaim semua kemenangan itu, kalian telah bekerja tanpa kenal lelah untuk bangsa ini. Lapangan ini menjadi saksi dari kebahagiaan bermain bola di tengah samudera dan gelora nasionalisme yang berkobar-kobar. Lewat permainan menawan itu, kalian telah menunjukkan bahwa negeri ini bisa bersatu, melupakan perbedaan, dan bersikap jauh lebih sportif dari negeri maling yang kalian hadapi, negeri yang kemerdekaannya adalah hasil mengemis pada bangsa lain.

Indonesia memang kalah di pertandingan itu. Tapi semangat itu telah memincut hati kami para pencinta sepakbola. Inilah bangsa kita, yang tak akan pernah menyerah hingga titik akhir. Mereka boleh saja memenangkan pertandingan ini, tapi kita memenangkan banyak hal, termasuk sportivitas, serta darah juang sebagaimana para pendiri bangsa ini yang telah melepaskan apapun.

Saya menyaksikan rona sedih terpancar di wajah Bambang Pamungkas. Sejak awal turnamen, saya kepincut dengan kedewasaan serta kematangan Bambang. Beliau adalah pemain paling bijaksana, berpikir positif dan membangkitkan semangat. Di saat banyak orang pesimis atas hasil di Malaysia, Bambang tetap percaya diri. Ia mengatakan, “Football is an unpredictable thing.. Some results will make you shock, but that’s the thing that makes it passionate, the mystery in it.”

Bambang selalu menghibur semua pemain dengan mengutip kalimat sang pelatih Alfred Riedle, “Hey,, saya tidak ingin melihat kalian semua berjalan tertunduk saat keluar dari ruangan ini. Malam ini kita memang tidak bermain baik, akan tetapi perjuangan ini masih belum selesai dan kalian semua harus ingat itu..!!”..

Semalam, kalimat optimisme Bambang telah saya saksikan lewat permainannya di lapangan. Ia telah mentransformasi dirinya menjadi filsuf bola yang membangkitkan sesamanya. Ia serupa Diego maradona dalam Piala Dunia 1986 yang inspiratif dan jadi nyawa bagi tim. Bagi Bambang, dalam sebuah pertandingan sepakbola. Setiap kemenangan akan membuat tim menjadi lebih percaya diri dan lebih baik sebagai sebuah tim. Akan tetapi setiap kekalahan juga mampu membuat tim menjadi lebih dewasa dan kebih kuat, jika kita mampu menyikapinya dengan cara yg bijaksana. Akan selalu ada pelajaran yg dapat kita petik dalam setiap kekalahan.

Semalam, usai kalah, ia memimpin doa penutup di ruang ganti. Sebelum berdoa, ia setengah berteriak dan mengatakan, “Rekan-rekan kekalahan ini harus berhenti di ruangan ini. Kita tidak memerlukan pembahasan yg lebih panjang mengenai apa yg terjadi malam ini, tidak ada saling menyalahkan tentang apa yg terjadi di lapangan tadi. Kita menang bersama-sama dan sudah seharusnya kita juga kalah bersama-sama”.

Luar biasa! Kalian telah menyalakan nasionalisme di dada ini. Terimakasih atas permainan yang menawan ini.(*)


Jakarta, 30 Desember 2010

Tulisan ini telah dimuat di Kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar