Motivator Versus Penceramah



DI satu toko buku besar di kawasan Matraman, saya menyaksikan seorang motivator tengah membawakan materi di sebuah ruangan yang penuh manusia. Suaranya meledak-ledak, sebagaimana penceramah yang sering saya saksikan di televisi. Para hadirin --yang dari penampilannya bisa diidentifikasi sebagai kelas menengah perkotaan dan para profesional-- tampak menyimak serius dan sesekali mengepalkan tangan ke udara saat diminta sang motivator. Mereka menjawab dengan penuh semangat saat ditanya tentang perlunya melakukan perubahan diri. 

Jakarta sedang kebanjiran para motivator. Hampir semua instansi tiba-tiba saja membutuhkan motivator, sosok yang dianggap bisa melejitkan semangat, menguatkan tekad, sekaligus membakar keinginan kuat untuk melakukan sebuah perubahan. Para motivator ini digaji dengan amat mahal, serupa gaji para manajer. Banyak di antara mereka yang dahulu adalah pengusaha sukses atau karyawan hebat, namun banting setir menjadi motivator. Kerjanya jadi lebih simpel sebab hanya memberi sugesti untuk membakar semangat dan setiap orang seolah merasa tercerahkan.

Seperti apakah peran seorang motivator? Setiap melihat motivator, saya tiba-tiba teringat dengan peran para koordinator lapangan (korlap) saat demonstrasi. Juga teringat sosok juru kampanye (jurkam) partai politik. Posisi mereka sama. Yakni bagaimana membakar semangat orang untuk melakukan sesuatu. Mereka menyentuh emosi sehingga publik menjadi antusias, menjadi lebih bergairah. Perbedaan mereka hanyalah kemasan. Jika seorang korlap melakukan aksinya di tengah massa, di tengah terik matahari yang memanggang tubuh, maka seorang motivator melakukannya di sebuah ruangan AC yang dingin, dengan publik yang rata-rata berpakaian rapi sebagaimana pakaian para pekerja profesional. Tapi, sebenarnya sama saja. Iya khan?

Itu dari sisi performance. Saya tak punya banyak pengalaman menyaksikan para motivator khususnya dalam hal bisnis atau pemasaran (marketing). Beberapa teman menceritakan bahwa para motivator memiliki kemampuan untuk membius seseorang sehingga siap menggapai target tertinggi dalam penjualan. Beberapa teman yang sering ikut training motivasi langsung bergairah untuk menggapai target, menggapai pelanggan sebanyak-banyaknya, dan langsung kaya-raya.


Namun, motivator yang paling laris adalah yang fokus pada motivasi hidup dan prilaku yang benar. Saya menyaksikan ini pada sosok seperti Mario Teguh, Kafi Kurnia, Andreas Harefa atau Erbe Sentanu. Mereka mengajarkan hal-hal sederhana, seperti bagaimana mencintai sesuatu, bagaimana menyayangi sesama, serta belajar kebijaksanaan dari hal-hal sepele yang dihadapi masyarakat kota. 

Saya tidak terlalu tertarik dengan motivasi seperti ini. Sebab yang dilakukan para motivator itu adalah menyarikan konsep universal dalam ajaran agama menjadi etika universal untuk masyarakat kota. Etika Islam, dipadu dengan etika universal dalam ajaran Kristiani dan Budhis menjadi etika atau pola yang menuntun hidup masyarakat kota. Memang, tak ada sesuatu yang baru di situ, sebab hanya daur ulang dari sumber-sumber kearifan yang ada dalam ajaran agama. 

Malah, ada motivator yang mengajarkan tentang sufisme perkotaan, meskipun tidak pernah menyebut kata sufi. Tapi dari sisi materi, ia mengemas ulang, khasanah kekayaan ajaran kesufian dan diberi label sebagai motivasi untuk masyarakat kota. Bagi sebuah masyarakat yang jarang menggali kearifan, itu menjadi wacana baru dan luar biasa mengejutkan. Tapi buat yang sering menggeluti khasanah bacaan spiritualitas, tentunya tak akan asing. Malah, gagasan sang motivator jadi sesuatu yang basi. Lantas, ada apakah gerangan? Mengapa profesi motivator tumbuh subur di negeri ini? Saya mencatat beberapa alasan menarik. 

Pertama, fenomena hadirnya motivator menjadi isyarat tidak menariknya metode penyampaian ketika dalam ajaran agama. Nilai-nilai itu kian surut sebab disampaikan dalam kamar-kamar sempit bernama agama sehingga pesannya menjadi amat terbatas. Metodologi penyampaian makna universal dalam ceramah mulai dianggap sebagai hal yang membosankan sebab seringkali penceramah tidak peduli dengan keinginan para pendengar, serta disampaikan dengan gaya monoton. Saya sering kesal dengan penceramah yang sering mengancam akan masuk neraka. Hidup ini sudah cukup memusingkan. Tak usah ditambah dengan ancaman-ancaman baru lagi. Bagi saya, penceramah, khatib, maupun pengkhotbah tidak pernah belajar psikologi massa serta cara menyampaikan pesan dengan lebih efektif. Gaya ceramah yang monoton serta menyalahkan situasi zaman yang dianggapnya penuh kemungkaran atau kemunafikan, jadi sangat tidak menarik di tengah massa yang membutuhkan pencerahan dan sudah lelah dengan hari-hari yang bergegas. 

Kedua, masyarakat kita memang membutuhkan sesuatu yang instant. Ini yang tidak ditemukan dalam ajaran agama. Sebab ajaran agama disampaikan dengan pesan yang lebih menekankan ritual. Sementara hal-hal semacam etika praktis justru banyak diabaikan. Padahal, etika praktis justru paling dibutuhkan sebab akan menjadi nilai yang mengendalikan prilaku serta tindakan dalam berinteraksi dengan siapapun. Masyarakat kita menginginkan sesuatu yang cepat saji. Orang-orang tak mau lagi bersusah payah merefleksikan segenap pengalamannya menjadi butiran hikmah yang bernilai untuk diterapkan dalam mengarahkan kemudi kehidupan. Semuanya ingin sesuatu yang sudah jadi. Bahkan untuk kalimat bijak --yang mestinya lahir dari hasil bacaan serta refleksi atas perjalanan hidup seseorang—orang-orang ingin langsung mencomotnya saja. Tanpa proses refleksi atau pendalaman.

Ketiga, munculnya banyak motivator bisa menjadi isyarat bahwa masyarakat kita tengah menghhadapi penyakit serius berupa keletihan menghadapi irama kehidupan yang kian mengalir cepat. Pilihan untuk berumah di kota bukanlah pilihan yang mudah, sebab seseorang akan kehilangan waktu sebab dihabiskan di perjalanan, serta menghadapi situasi yang penuh ketidakramahan dalam situasi ketika orang-orang tidak saling mengenal, tak adanya orang yang bisa jadi panutan, serta krisis nilai yang mendera masyarakat. Perkotaan menjadi wilayah di mana segala hal menjadi permisif sehingga nilai-nilai sering jadi kabur. Seseorang diajari untuk menyayangi keluarga, namun bekerja dalam irama yang tinggi serta target-target, bisa mengubahnya menjadi sosok yang mulai melupakan keluarga. Bukan berarti sama sekali tidak peduli pada keluarga, namun seseorang kehilangan perhatian untuk hal-hal kecil, meskipun itu hanya untuk menemani seorang anak mendongeng atau menciumnya saat hendak tidur. 

Ketika seorang motivator hadir dan memberikan bisikan tentang perlunya membangun hubungan emosional, seseorang tiba-tiba saja terisak. Padahal, tak ada yang baru dari ajaran sang motivator. Ia hanya mengingatkan kembali pesan-pesan tradisional yang sebenarnya sudah diketahui orang-orang.

Keempat, masyarakat perkotaan adalah masyarakat yang pada dasarnya merindukan nilai-nilai spiritualitas seperti kebajikan, atau kasih sayang. Mereka amat spiritual, namun tidak berkesempatan untuk menggali spiritualitas tersebut sebab tenggelam dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Mereka sibuk dengan pekerjaan, memulai hari dengan ke kantor pada pagi hari, lalu kembali ke rumah pada malam hari. Mereka kehabisan waktu untuk mengejar kekayaan, sehingga merindukan nuansa emosional yang menyejukkan hati dan menyegarkan pikiran. Dalam kondisi yang demikian sibuk, mereka mudah rindu dengan kearifan tradisional berupa petuah bijak sehingga mereka bisa belajar dari hal-hal sederhana yang dialami dalam hidup. 

***

Pada akhirnya, motivasi menjadi hal esensial yang dibutuhkan masyarakat kota. Di tengah masyarakat yang mengalami krisis nilai dan tujuan hidup, krisis etika praktis, krisis percaya diri sehingga kehilangan dunia sosial, serta krisis kasih sayang, maka seorang motivator akan selalu hadir memberikan jawaban yang singkat, namun praktis untuk diterapkan. Ini juga menjadi pertanda kian monotonnya metode penyampaian ajaran agama sehingga gagal menjadi jawaban atas pencarian masyarakat kota. Seorang kawan yang rajin mengikuti training motivasi kerap menjawab singkat, “Saya tidak ingin jadi orang alim yang rajin baca kitab. Saya hanya ingin jadi orang baik yang memberi makna bagi siapapun.”


Jakarta, 16 Januari 2011


1 komentar:

luki mengatakan...

Trims sharingnya pak

Pertanyaannya , menurut pak yusran seharusnya motivasi seperti apa yang baik,benar,tidak tendensius,tidak mengulangbsufisme atau intisari agamis maupun universal ?
Dan mohon saya diinfo sesi training/motivasi bapak agar saya visa melihat aesuatu yg benar2 baru.

May be your next student

Luki

Posting Komentar