Tinju Sang Kiai


KEMARIN saya ke Toko Buku Gramedia di Matraman, Jakarta. Niatku adalah membeli buku terbaru Emha Ainun Nadjib yang judulnya Tinju Sang Kiai. Bukunya cukup mahal, namun tidak seberapa bagi rasa ingin tahuku yang berkobar. Emha adalah salah satu penulis idolaku yang menginspirasi saya ketika pertama membaca sejumlah pustaka yang berat-berat. Ketika saya masih meraba-raba dan belajar memetakan beragam isu, karya Emha sudah hadir menyapaku. Makanya, Emha menempati posisi tersendiri dalam dunia penjelajahanku bersama Pramoedya, Goenawan mohammad, ataupun Ignas Kleden.

Namun, Emha bagiku agak berbeda dengan penulis lainnya tersebut. Analisis Emha bersifat kultural dan membumi sehingga kita tidak sedang melihat terang teoritis yang melangit dalam membaca gejala sosial, kita sedang memasuki cara pikir yang simpel dan membumi dalam cara berpikir rakyat Indonesia. Saya selalu menekankan bahwa Emha itu sangat membumi. Ia tidak menawarkan spektrum persoalan yang luas dan latah mengutip teori asing yang menjemukan. Namun ia berkontemplasi dan menyelam dalam sejarah peradaban dan dinamika manusia Indonesia. Ia mengumpulkan ceceran pengetahuan dalam kebudayaan bangsa, kemudian memandang persoalan dengan cara yang khas sebagaimana rakyat memandang sesuatu. Cara pandang itu kemudian bersintesis dengan cara pandang sufisme yang ditekuninya. Itulah Emha Ainun Nadjib yang melihat sesuatu dengan jernih.


0 komentar:

Posting Komentar