Antri Zakat sebagai Potret Negeri Salah Urus

SAYA turut sedih. Sebanyak 21 orang tewas di Pasuruan, Jawa Timur, saat antri pembagian zakat. Demi uang Rp 20 ribu, sejumlah anak negeri ini harus mempertaruhkan nyawa dan menjemput maut. Demi uang Rp 20 ribu, rakyat Indonesia hanya bisa berkelahi dan saling menonjok sesamanya. Sementara di belahan lain negeri ini, ada orang yang terpilih menjadi menteri --yang katanya mengurusi kemiskinan— namun kerjanya hanya duduk manis, namun bisa meraup pemasukan hingga lebih Rp 20 miliar sehari.

Masih bisakah kita bicara keadilan ketika beberapa di antara kita punya hobi mengumpulkan mobil mewah, memakai sepatu mahal dari luar negeri, memakai handphone jenis blackberry seharga lebih Rp 15 juta, sementara masih banyak rakyat lain yang menyambut puasa dengan tangis karena lapar. Masih banyak anak kecil yang hanya bisa menangis lepas di malam hari ketika perut melilit karena lapar, sementara sang ayah masih sibuk bekerja membanting tulang dan sedang antri mendapatkan zakat yang jumlahnya tak seberapa itu. Masih banyak warga Indonesia yang mengais-ngais sampah di sela-sela suara azan yang menggema di pekatnya malam.

Masih bisakah kita bicara kesejahteraan ketika sistem ekonomi kita hanya memberikan akses yang luas kepada kelompok yang berkuasa, namun menutup rapat-rapat pintu bagi mereka yang kecil. Sistem ekonomi yang murah senyum dan memberikan triliunan uang pada kreditur yang kaya, sementara mereka yang miskin tak dapat apa-apa kecuali zakat yang hanya Rp 20 ribu sekali setahun. Adakah tempat bagi rakyat kecil di negeri ini ketika mereka hanya disebut dalam jumlah persentase kecil, yang setiap kali terjadi penurunan angka seolah itu adalah keberhasilan pemerintah. Bukankah mereka yang kecil itu adalah manusia juga yang sedang berjuang lepas dari segala jerat kemiskinan yang membelitnya?

Saya sedih dan hanya bisa menyaksikan. Kemarin, Wapres Jusuf Kalla mengatakan masyarakat Indonesia saat ini sudah sangat sejahtera, lebih sejahtera di banding pemerintahan manapun. Namun hari ini puluhan orang tewas terinjak saat berebut zakat. Mungkin saja ia akan enteng mengatakan, “Ah, santai sajalah. Mereka itu jumlahnya cuma tiga persen saja dari total penduduk kita.” Waduh… inilah negeri yang selalu berakrobat dengan angka, namun miskin empati.(*)

Depok, 15 September 2008


0 komentar:

Posting Komentar