Pulau Buton, Pulau Sejarah yang Terabaikan

Buton adalah nama pulau yang di sebelah tenggara jazirah Pulau Sulawesi. Pulau ini diapit oleh lautan yaitu Laut Banda di sebelah utara dan timur, kemudian Laut Flores di sebelah selatannya, sedangkan di sebelah barat terdapat Selat Buton dan Teluk Bone. Di pulau ini, dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan atau kesultanan yang bernama Buton atau Wolio. Daerah kekuasaan Kesultanan Buton pernah meliputi, selain Pulau Buton, juga beberapa pulau di kawasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Pusat pemerintahannya terletak di pesisir barat bagian selatan Pulau Buton, sekitar Kota Bau-Bau, yang dikenal dengan nama Wolio atau Keraton Buton.

Selama ini, studi-studi tentang Buton banyak dilakukan berdasarkan catatan yang dilakukan orang Belanda, misalnya Ligvoet (1878), ke Van Den Berg (1937, 1939, 1940) sampai kepada Schoorl (1985, 1987). Mereka menelaah aspek antropologis baik mengenai ritual, konsepsi kesultanan serta masyarakatnya, hingga catatan tentang kejadian-kejadian penting yang ada di Buton. Ligtvoet dan Berg adalah perwakilan pemerintah Belanda yang ditugaskan di Buton dan bertugas untuk merekam kejadian-kejadian penting seperti pelantikan sultan serta situasi keamanan di wilayah itu. Mereka juga mencatat sejumlah catatan penjelajah sebelumnya yang pernah singgah ke Buton seperti Jan Pieterszoon Coen, Appolonius Scotte dll. Sebagai pegawai pemerintah kolonial, catatan Ligtvoet dan Berg penuh nuansa penaklukan yang dalam istilah Edward Said, penuh bias etnosentrik.

Bias ini mempengaruhi beberapa orang sarjana asing yang datang belakangan. Akibatnya, sering terjadi perbedaan konsepsi antara ilmuwan asing tersebut dengan warga lokal --yang sayangnya suara mereka harus menjadi suara yang lirih dan tidak senyaring para sarjana asing tersebut.

Dua contoh pandangan yang sangat etnosentrik yang bisa saya angkat di sini adalah pernyataan JP Coen yang sinis ketika melihat Buton. Ia mengatakan, “Di sini terdapat rakyat miskin, budak murah, dan orang tidak banyak dapat berdagang di sini. Di sini, penduduk makan ubi yang disebut calabi.“ Pernyataan ini khas para penjelajah yang melihat satu wilayah hanya dari sisi resource atau sumber daya yang harus dikuasai. Pernyataan lainnya yang juga menunjukkan bias etnosentrik adalah Schoorl (1985) –yang dipengaruhi catatan Ligtvoet-- yang melihat Buton dalam posisi tarik-menarik beragam kekuatan lainnya. Secara jelas, bisa dilihat:

......”Dalam persetujuannya yang pertama dengan Buton pada 1613, VOC membujuknya supaya jangan melakukan kegiatan bermusuhan dengan raja Buton atau terhadap warganya yang manapun (Corpus Diplomaticum 1907:105). Sejak saat itu hingga 1667, Kerajaan Buton serupa bola bulu tangkis (shuttle cock) dalam suatu pertandingan antara Makassar, Ternate, dan VOC....” (cetak tebal oleh penulis)

Kalimat ”serupa bola bulu tangkis” inilah yang kemudian banyak dijadikan asumsi dasar oleh sejarawan yang memandang Buton sebagai rebutan beragam kepentingan. Sejarawan Susanto Zuhdi (1999) juga memulai disertasinya dengan pernyataan ini, kemudian mencari sejumlah sumber dan fakta yang bisa mendukung pernyataan itu. Padahal, jika ditanyakan kepada warga Buton sendiri, mereka selalu menganggap Buton tidak pernah dijajah. Hubungan yang terjadi dengan sejumlah bangsa asing adalah hubungan perdagangan yang di dalamnya boleh jadi ada pasang surut. Artinya, analisis ”dari bawah” yang merupakan interpretasi orang Buton atas dunianya terkadang diabaikan karena para peneliti lebih fokus menggali data dan catatan masa silam.

Sumber pustaka yang kaya baik dari sarjana asing maupun lokal, hingga kini belum dimanfaatkan untuk menuliskan satu etnografi yang kaya dan sangat lengkap mengenai Buton. Padahal, saya berkeyakinan studi tentang Buton sangat penting dilakukan sebab bisa menjadi pintu gerbang untuk menjelaskan bagaimana situasi di Indonesia timur, yang dalam hal ini menjadi lokasi persebaran migran Buton sejak beberapa abad silam. Tiadanya etnografi yang lengkap ini menjadi catatan tersendiri bagi peneliti yang datang belakangan. Sayangnya, hingga kini belum ada satu upaya sistematis untuk menyusun etnografi tersebut. Akhirnya, Buton selalu dilihat dengan cara pikir kebudayaan dominan.

Catatan paling banyak tentang Buton justru dilahirkan para sejarawan. Padahal, catatan sejarawan selalu menempatkan Buton dalam posisi yang “kalah”. Zuhdi (1999) mengatakan: sejarah Buton adalah sejarah yang terkalahkan. Sebab selama ini, penafsiran sejarah Buton kerap dilihat hanya berdasarkan cara pandang pemilik sejarah dominan seperti Bugis, Makassar, maupun Ternate sehingga keberadaannya seakan diabaikan. Padahal Sahlins (1985) mengatakan, perbedaan waktu dan tempat akan merefleksikan perbedaan sejarah juga. Sahlins mengatakan, “The different cultural orders have their own modes of historical actions, conciousness, and determinations – their own historical practice. Other times, other customes, and according to otherness of the custom, the distinctive anthropology that is needed to understand any given human course.” Semua tempat memiliki sejarahnya masing-masing sebab sejarah tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan.(*)


0 komentar:

Posting Komentar