Strategi Pengemis di Bulan Puasa

BULAN puasa adalah berkah bagi semua orang. Tak hanya politikus yang membangun citra tentang dirinya di hadapan konstituen, namun seorang pengemis juga melihat bulan ini sebagai momentum tepat untuk meningkatkan besaran pemasukannya melalui sejumlah strategi cerdik dalam memanfaatkan momentum bulan puasa. Jika politikus mencitrakan dirinya sebagai seorang yang religius demi meraup massa, demikian pula dengan para pengemis. Prinsipnya sama yaitu bagaimana memaksimalkan strategi citra dalam meraup keuntungan pragmatis.

Ilmu sosial kita jarang belajar secara arif dari kelompok marginal seperti mereka. Padahal, mereka juga punya dinamika dan menjalani hidup yang penuh strategi atau siasat agar tidak tenggelam di tengah hiruk-pikuk kota. Apa yang mereka lakukan adalah sebuah strategi marketing serta psikologi praktis yang cukup jitu dan langsung bisa diverifikasi di arena di mana mereka berada. Mereka mewakili subkultur kelompok yang juga menggunakan segala strategi atau daya-daya demi bertahan hidup dan tidak menjadi pecundang di tengah persaingan di rimba raya ibu kota ini.

Hari ini saya mengamati tingkah polah pengemis di kereta rute Jakarta-Bogor. Dalam perjalananku menuju kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, saya menyaksikan tingkah polah pengemis di kereta ini yang berbeda dengan biasanya. Di sini ada beberapa jenis pengemis yang kusaksikan. Pertama, pengemis yang meminta belas kasihan dan berjalan membawa kaleng rombeng. Biasanya, pengemis ini tidak hanya mengangsurkan kaleng itu kepada penumpang, namun selalu diiringi dengan suara yang memelas dan sanggup membuat iba. Semakin memelas, maka semakin ibalah yang menyaksikannya. Selain suara, terkadang cacat tubuh bisa menjadi senjata ampuh untuk meraup duit. Saya sering menyaksikan pengemis yang menyeret-nyeret kakinya yang penuh kudis dengan suara memelas (dalam satu tayangan TransTV, ternyata kudis itu bukan asli, tapi sengaja dibuat pengemis dengan teknik tertentu sebagai strategi mengemis). Menurutku, ini adalah sebuah strategi yang sangat hebat dan biasanya cukup efektif.

Kedua, pengemis yang berjalan sambil menyanyi dengan suara pas-pasan dan memakai baju lusuh. Mereka mencitrakan dirinya sebagai pengamen. Perbedaannya adalah pada kemampuan vokal. Seorang pengamen jarang menyanyi lagu hanya satu bait terus meminta uang. Mereka akan menuntaskan lagu dan diiringi dengan alat musik tertentu. Sementara pengemis, hanya menyanyi satu bait dan tidak diiringi alat musik. Ia hanya bertepuk tangan, atau memakai botol aqua kosong yang diisi beras dan menggoyangnya hingga berbunyi. Kadang-kadang, kaleng rombeng atau kantung lusuh untuk meminta uang dari penumpang kereta itu, dibawa anaknya yang masih kecil.

Pada bulan puasa ini, ada sesuatu yang berbeda jika dilihat dari penampilan mereka. Jika biasanya pengemis hanya mengenakan baju lusuh, kali ini situasinya agak berbeda. Mereka banyak yang mengenakan jilbab, sedangkan lelakinya mengenakan kopiah. Saat berjalan dengan anaknya, maka si anak didandani dengan jilbab. Tak hanya itu, di saat berjalan, mereka meminta uang dengan sesekali mengutip ayat Al Qur’an atau atau memelas dengan menyebut ini bulan Ramadhan. Saya termasuk orang yang cukup iba atas penampilan dan suaranya. Ketika saya memasukkan uang Rp 1.000 di kaleng rombeng itu, saya mendengarnya mengucapkan terima kasih dan mengucap “Alhamdulillah… Syukur ya Allah..” Ucapannya ini menjadi strategi yang langsung berbuah. Beberapa orang di sekitarku langsung memasukkan uang ke kantung lusuh itu. Dan si pengemis kembali mengucapkan, “Alhamdulillah ya Allah atas segala nikmat dan karunia-Mu ini…” Sementara pengemis yang modus operandinya seperti pengamen, lebih sering menyanyikan lagu Islam misalnya lagu Hadad Alwi atau Opick. Di saat menyanyi, ia akan menyapa dulu dengan salam dan meminta maaf karena penumpang terganggu atas kehadirannya. “Bukan maksud saya mengganggu bapak ibu di bulan puasa. Tapi saya sedang mencari makan dan berjuang untuk hidup…” Sebuah strategi yang cukup efektif untuk memikat orang yang mendengarnya.

Apa hikmah (leasson learned) yang bisa dipetik dari kisah ini? Manusia adalah mahluk yang selalu berstrategi. Manusia bukanlah agen yang pasif dan tunduk saja dalam satu sistem sosial, namun manusia adalah agen yang aktif dan menjalankan beragam strategi untuk bertahan dan tidak tergilas peradaban. Masyarakat pengemis adalah masyarakat yang berusaha untuk lepas dari jeratan kemiskinan yang membelit tubuhnya. Ketika pemerintah seakan membungkam kehadiran mereka dan hanya menyebutnya dengan angka statistik tingkat kemiskinan, para pengemis justru berupaya keras untuk bebas dari jerat kemiskinan. Pengemis bukanlah mereka yang diam, namun mereka yang selalu aktif dengan berbagai strategi. Saya sering kecewa ketika mendengar statistik yang disebut pemerintah dan mengatakan angka kemiskinan telah turun. Apakah turunnya angka kemiskinan adalah karena pemerintah ataukah karena pengemis yang berusaha lepas dari jerat kemiskinan? Saya sering menanyakan itu. Argumen pemerintah kita seolah-olah mereka yang membuat pengemis makin sejahtera. Mereka mengabaikan fakta bahwa pengemis juga berusaha dan berstrategi untuk survive.(*)

Jakarta, 9 Sept 2008


0 komentar:

Posting Komentar