KEMARIN adalah hari pertama Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Hampir semua media nasional memuat berita tentang ajang terbesar di HMI yang megah digelar setiap dua tahunan tersebut. Namun, adakah orang yang sempat melirik bahwa di Kota Makassar warga HMI terlibat perkelahian massal hanya karena urusan keberangkatan ke arena kongres yang tertunda?
Saya akan mengisahkannya secara singkat. Dua hari yang lalu, ratusan anggota HMI asal Sulawesi Selatan yang hendak berangkat ke Palembang, terlibat insiden perkelahian dengan security di Pelabuhan Makassar. Mereka berkelahi karena kapal Pelni –yang semestinya mereka tumpangi—tiba-tiba berangkat lebih cepat dari jadwal.
Betapa tidak, anggota HMI itu ngotot meminta potongan biaya tiket dengan dalih mengantongi surat keringanan dari pihak Dephub. Sementara pihak PT Pelni tidak mau menurunkan biaya tiket sesuai dengan permintaan mahasiswa. Pelni ingin mahasiswa membayar Rp 70 juta –sesuai dengan ketentuan diskon kapal--, tetapi pihak mahasiswa ngotot ingin membayar hanya Rp 20 juta. Pihak kapal yang tak mau rugi dengan itu, terpaksa berangkat lebih cepat dari jadwal sembari ketakutan karena anak HMI mengancam akan memboikot kapal. Anak HMI mengamuk. Mereka lalu berkelahi dengan security pelabuhan.
Menurut informasi, beberapa bagian kapal tersebut sempat tergores karena kapal memaksakan pergi, tanpa arahan dari kapal pandu. Ternyata, pihak kapal merasa ketakutan karena ratusan anak HMI sudah memenuhi pelabuhan dan ngotot hendak ikut kapal, meskipun tidak memiliki biaya yang memadai. Mereka takut disabotase. Saya mendengar cerita sedih dari banyak penumpang transit yang tertinggal kapal. Malah, ada penumpang yang meninggalkan ibunya yang sedang sakit di atas kapal dan tak bisa naik kapal lagi sebab kapal langsung berangkat. Apakah ini semata kesalahan pihak kapal? Saya kira tidak. Siapapun akan takut melihat massa mahasiswa yang beringas dengan jumlah ratusan dan bergerak dengan tuntutan. Siapapun akan gentar menyaksikan massa mahasiswa sedang beringas dan memaksakan sesuatu. Bukannya meneriakkan kepentingan rakyat, namun mahasiswa itu sedang menunjukkan perilakunya yang menabrak segala aturan dan merobohkan nilai yang semestinya dia bela. Inikah potret negeri ini dan calon pemimpinnya?
Setiap mendengar kepingan kenyataan tentang HMI, saya selalu merasa sedih. Betapa tidak, sebuah organisasi yang mengklaim dirinya sebagai intelektual, selalu saja berbuat onar dengan dalih atas nama kepentingan orang banyak. Sebuah organisasi yang menyebut dirinya bernapaskan Islam, namun semua tindakannya seakan sangat jauh dari semangat kedamaian Islam yang dihembuskan Rasulullah nun di beberapa abad sebelumnya. Sebuah organisasi yang katanya punya sejarah melahirkan intelektual Islam, bisa bertindak seperti preman yaitu menyandera kapal, menyulitkan begitu banyak rakyat yang hendak menggunakan kapal tersebut, menebar teror dan ketakutan, dan di saat bersamaan, masih mengklaim dirinya sebagai pembawa hati nurani rakyat Inikah potret HMI? Inikah potret buram dari organisasi Islam di Indonesia?
Saya selalu sedih setiap membaca berita tentang perilaku warga HMI. Insiden di Kota Makassar kemarin hanyalah kepingan kecil dari berbagai cerita miring tentang warga HMI. Organisasi ini punya banyak andil dalam setiap demonstrasi (kemudian mengajukan proposal minta duit), menjadi kaki tangan politisi, ikut dalam kisruh politik di daerah, hingga praktik kotor di organisasi mahasiswa. Dulunya, organisasi ini punya kebanggaan pada sejumlah intelektual yang rahim dari HMI. Namun seberapa banyak jumlah mereka dibandingkan mayoritas massa mengambang lainnya? Berapa banyak mereka yang menekuni dunia ilmiah jika dibandingkan mereka yang menghamba pada ketiak para penguasa? Seberapa banyak intelektual dan kaum terpelajar dibanding mereka yang membebek pada penguasa dan sibuk mengincar proyek demi mengenyangkan perutnya sendiri?
Saya tidak sedang emosional. Saya sedang mengeluarkan luapan kekesalan saya. Sebagai orang yang dibesarkan di organisasi itu, saya bisa merasakan tarikan yang sangat kuat organisasi ini ke dunia politik. Bersentuhan dengan dunia politik, membuat anak HMI seakan-akan punya power besar untuk menerabas semua struktur dan aturan yang berlaku di negeri ini. Seolah-olah semua pembuat peraturan di negeri ini adalah anak HMI sehingga mereka merasa memiliki kewenangan untuk melakukan sesuatu sekehendaknya. Akhirnya, mereka mengidap kepribadian yang paradoksal: di satu sisi berteriak keadilan, di sisi lain selalu melakukan penindasan.
Saya cukup lama bergaul dengan teman-teman yang aktif di Pengurus Besar (PB) HMI. Setiap ketemu mereka, saya selalu merasa risih. Saya tidak lagi merasakan aroma intelektualitas dan spiritualitas. Bahasa intelek dan spiritual seakan menjadi nyanyi sunyi di kalangan kader HMI. Mereka selalu membanggakan dirinya yang dekat dengan pejabat A atau dekat dengan elite politik tertentu. Mereka bangga dengan abangnya yang jadi anggota DPR. Mereka seakan sinis dengan banyak aktivis yang menerjunkan dirinya ke grass root dan merasakan denyut nadi kehidupan rakyat banyak. Momentum kongres HMI adalah momentum yang paling binal di mataku. Pembicaraan tentang masa depan organisasi menjadi tidak penting sebab ditutupi oleh wacana alot siapa yang akan menjadi ketua. Uang sogok beredar. Strategi elite politik memasuki lapisan semua kandidat ketua. Uang digelontorkan demi memenangkan kandidat tertentu.
Selama beberapa minggu di Jakarta untuk menyelesaikan studi, saya tinggal di rumah teman yang akan bersaing menjadi ketua PB HMI. Setiap hari saya mendengar cerita temanku tentang upayanya menjadi ketua. Ia harus menemui banyak alumni HMI yang terjun ke dunia politik untuk memastikan langkahnya sekaligus memastikan akan mendapatkan bantuan dana segar. Ia membutuhkan anggaran sekitar miliaran rupiah untuk menyogok semua cabang agar menjatuhkan pilihan hanya kepada dirinya. Ia sering bercerita betapa pragmatisnya kader HMI di daerah. “Masak, untuk mendapatkan surat dukungan dari satu cabang, saya harus menyiapkan uang untuk menanggung biaya tiket pesawat pulang balik dari 10 pengurus cabang, kemudian biaya kontrak sekretariat serta anggaran pengadaan komputer. Apakah itu bukan namanya pragmatis? Di mana saya harus dapat uang?” keluhnya kepadaku.
Ia bercerita bagaimana sulitnya menembus jaringan kelompok Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI). Didukung Jusuf kalla, itu sama dengan didukung kelompok dengan dana besar yang cukup untuk memenangkan kongres. Ternyata, ia kalah cepat dibandingkan dengan kandidat lain. Ia lalu melobi Aksa Mahmud (Wakil Ketua MPR RI). Namun seorang teman yang menjadi Staf Ahli DPR dan asisten pribadi Aksa seakan merintangi langkahnya. Aksesnya ke sejumlah anggota dewan seakan “terkunci” oleh teman yang ada di DPR. Ia berpaling ke Fadel Muhammad. Fadel bersedia membantu dengan syarat namanya diwacanakan sebagai calon presiden. Temanku juga melobi ke Cikeas (kubu Presiden SBY), dan disetujui dengan syarat siap memotong semua garis hubungannya dengan kelompok Jusuf Kalla. Malah, temanku juga harus siap membocorkan apa rencana Jusuf Kalla. Belakangan, Aksa mengucurkan dana Rp 20 juta sebagai dana awal. Peta politik dukungan kandidat kemudian berubah. Inilah dunia politik Indonesia yang penuh silang sengkarut dan adu siasat dalam politik kebudayaan yang nampak santun, namun sesungguhnya penuh dengan intrik. Temanku itu harus bekerja keras demi memastikan dukungan senior dan bantuan finansial.
Sekali lagi, saya tidak sedang emosi. Saya mengakui kalau di HMI ada banyak warna dan aliran politik. Tak hanya mereka yang jadi provokator dan melakukan demo bayaran, ada juga jalan aktivis yang senyap seperti yang dipilih oleh Nurcholish Madjid, maupun aktivis Munir. Namun, mereka yang senyap itu tidak pernah sesumbar meneriakkan posisinya sebagai kader HMI. Mereka yang jauh dari hiruk-pikuk politik itu lebih memilih jalan yang sunyi yang jauh dari deru kekuasaan negeri ini. Sepertinya, warga HMI sudah mulai jauh dengan spirit kebangsaan dan kerakyatan yang semestinya mereka kobarkan. Mereka tak lagi bergetar mendengar tangis lirih orang kebanyakan. Mereka sudah keenakan dengan teduhnya beringin kekuasaan. Mereka sudah kehilangan visi besar untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, sebagaimana tujuan HMI yaitu “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang berlandaskan Islam serta bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT”. Yah, tujuan itu didengungkan oleh setiap warga HMI dalam semua acara, mulai dari basic training, hingga acara lainnya. Tujuan itu tidak lebih dari tujuan yang tercantum dalam anggaran organisasi, menjelma menjadi visi yang kaku, tanpa ikhtiar luar biasa untuk mempraksiskannya pada dunia realitas. Tanpa ikhtiar untuk menjadi rasul dan mewujudkan kerajaan Tuhan di muka bumi. Pantas saja jika beberapa tahun sebelum meninggal, Nurcholish Madjid sempat berujar, “Sudah saatnya HMI dibubarkan.” Kayaknya, saya sepakat dengan itu. Tak cuma dulu, bahkan sampai sekarang saya masih sepakat.(*)
Saya akan mengisahkannya secara singkat. Dua hari yang lalu, ratusan anggota HMI asal Sulawesi Selatan yang hendak berangkat ke Palembang, terlibat insiden perkelahian dengan security di Pelabuhan Makassar. Mereka berkelahi karena kapal Pelni –yang semestinya mereka tumpangi—tiba-tiba berangkat lebih cepat dari jadwal.
Betapa tidak, anggota HMI itu ngotot meminta potongan biaya tiket dengan dalih mengantongi surat keringanan dari pihak Dephub. Sementara pihak PT Pelni tidak mau menurunkan biaya tiket sesuai dengan permintaan mahasiswa. Pelni ingin mahasiswa membayar Rp 70 juta –sesuai dengan ketentuan diskon kapal--, tetapi pihak mahasiswa ngotot ingin membayar hanya Rp 20 juta. Pihak kapal yang tak mau rugi dengan itu, terpaksa berangkat lebih cepat dari jadwal sembari ketakutan karena anak HMI mengancam akan memboikot kapal. Anak HMI mengamuk. Mereka lalu berkelahi dengan security pelabuhan.
Menurut informasi, beberapa bagian kapal tersebut sempat tergores karena kapal memaksakan pergi, tanpa arahan dari kapal pandu. Ternyata, pihak kapal merasa ketakutan karena ratusan anak HMI sudah memenuhi pelabuhan dan ngotot hendak ikut kapal, meskipun tidak memiliki biaya yang memadai. Mereka takut disabotase. Saya mendengar cerita sedih dari banyak penumpang transit yang tertinggal kapal. Malah, ada penumpang yang meninggalkan ibunya yang sedang sakit di atas kapal dan tak bisa naik kapal lagi sebab kapal langsung berangkat. Apakah ini semata kesalahan pihak kapal? Saya kira tidak. Siapapun akan takut melihat massa mahasiswa yang beringas dengan jumlah ratusan dan bergerak dengan tuntutan. Siapapun akan gentar menyaksikan massa mahasiswa sedang beringas dan memaksakan sesuatu. Bukannya meneriakkan kepentingan rakyat, namun mahasiswa itu sedang menunjukkan perilakunya yang menabrak segala aturan dan merobohkan nilai yang semestinya dia bela. Inikah potret negeri ini dan calon pemimpinnya?
Setiap mendengar kepingan kenyataan tentang HMI, saya selalu merasa sedih. Betapa tidak, sebuah organisasi yang mengklaim dirinya sebagai intelektual, selalu saja berbuat onar dengan dalih atas nama kepentingan orang banyak. Sebuah organisasi yang menyebut dirinya bernapaskan Islam, namun semua tindakannya seakan sangat jauh dari semangat kedamaian Islam yang dihembuskan Rasulullah nun di beberapa abad sebelumnya. Sebuah organisasi yang katanya punya sejarah melahirkan intelektual Islam, bisa bertindak seperti preman yaitu menyandera kapal, menyulitkan begitu banyak rakyat yang hendak menggunakan kapal tersebut, menebar teror dan ketakutan, dan di saat bersamaan, masih mengklaim dirinya sebagai pembawa hati nurani rakyat Inikah potret HMI? Inikah potret buram dari organisasi Islam di Indonesia?
Saya selalu sedih setiap membaca berita tentang perilaku warga HMI. Insiden di Kota Makassar kemarin hanyalah kepingan kecil dari berbagai cerita miring tentang warga HMI. Organisasi ini punya banyak andil dalam setiap demonstrasi (kemudian mengajukan proposal minta duit), menjadi kaki tangan politisi, ikut dalam kisruh politik di daerah, hingga praktik kotor di organisasi mahasiswa. Dulunya, organisasi ini punya kebanggaan pada sejumlah intelektual yang rahim dari HMI. Namun seberapa banyak jumlah mereka dibandingkan mayoritas massa mengambang lainnya? Berapa banyak mereka yang menekuni dunia ilmiah jika dibandingkan mereka yang menghamba pada ketiak para penguasa? Seberapa banyak intelektual dan kaum terpelajar dibanding mereka yang membebek pada penguasa dan sibuk mengincar proyek demi mengenyangkan perutnya sendiri?
Saya tidak sedang emosional. Saya sedang mengeluarkan luapan kekesalan saya. Sebagai orang yang dibesarkan di organisasi itu, saya bisa merasakan tarikan yang sangat kuat organisasi ini ke dunia politik. Bersentuhan dengan dunia politik, membuat anak HMI seakan-akan punya power besar untuk menerabas semua struktur dan aturan yang berlaku di negeri ini. Seolah-olah semua pembuat peraturan di negeri ini adalah anak HMI sehingga mereka merasa memiliki kewenangan untuk melakukan sesuatu sekehendaknya. Akhirnya, mereka mengidap kepribadian yang paradoksal: di satu sisi berteriak keadilan, di sisi lain selalu melakukan penindasan.
Saya cukup lama bergaul dengan teman-teman yang aktif di Pengurus Besar (PB) HMI. Setiap ketemu mereka, saya selalu merasa risih. Saya tidak lagi merasakan aroma intelektualitas dan spiritualitas. Bahasa intelek dan spiritual seakan menjadi nyanyi sunyi di kalangan kader HMI. Mereka selalu membanggakan dirinya yang dekat dengan pejabat A atau dekat dengan elite politik tertentu. Mereka bangga dengan abangnya yang jadi anggota DPR. Mereka seakan sinis dengan banyak aktivis yang menerjunkan dirinya ke grass root dan merasakan denyut nadi kehidupan rakyat banyak. Momentum kongres HMI adalah momentum yang paling binal di mataku. Pembicaraan tentang masa depan organisasi menjadi tidak penting sebab ditutupi oleh wacana alot siapa yang akan menjadi ketua. Uang sogok beredar. Strategi elite politik memasuki lapisan semua kandidat ketua. Uang digelontorkan demi memenangkan kandidat tertentu.
Selama beberapa minggu di Jakarta untuk menyelesaikan studi, saya tinggal di rumah teman yang akan bersaing menjadi ketua PB HMI. Setiap hari saya mendengar cerita temanku tentang upayanya menjadi ketua. Ia harus menemui banyak alumni HMI yang terjun ke dunia politik untuk memastikan langkahnya sekaligus memastikan akan mendapatkan bantuan dana segar. Ia membutuhkan anggaran sekitar miliaran rupiah untuk menyogok semua cabang agar menjatuhkan pilihan hanya kepada dirinya. Ia sering bercerita betapa pragmatisnya kader HMI di daerah. “Masak, untuk mendapatkan surat dukungan dari satu cabang, saya harus menyiapkan uang untuk menanggung biaya tiket pesawat pulang balik dari 10 pengurus cabang, kemudian biaya kontrak sekretariat serta anggaran pengadaan komputer. Apakah itu bukan namanya pragmatis? Di mana saya harus dapat uang?” keluhnya kepadaku.
Ia bercerita bagaimana sulitnya menembus jaringan kelompok Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI). Didukung Jusuf kalla, itu sama dengan didukung kelompok dengan dana besar yang cukup untuk memenangkan kongres. Ternyata, ia kalah cepat dibandingkan dengan kandidat lain. Ia lalu melobi Aksa Mahmud (Wakil Ketua MPR RI). Namun seorang teman yang menjadi Staf Ahli DPR dan asisten pribadi Aksa seakan merintangi langkahnya. Aksesnya ke sejumlah anggota dewan seakan “terkunci” oleh teman yang ada di DPR. Ia berpaling ke Fadel Muhammad. Fadel bersedia membantu dengan syarat namanya diwacanakan sebagai calon presiden. Temanku juga melobi ke Cikeas (kubu Presiden SBY), dan disetujui dengan syarat siap memotong semua garis hubungannya dengan kelompok Jusuf Kalla. Malah, temanku juga harus siap membocorkan apa rencana Jusuf Kalla. Belakangan, Aksa mengucurkan dana Rp 20 juta sebagai dana awal. Peta politik dukungan kandidat kemudian berubah. Inilah dunia politik Indonesia yang penuh silang sengkarut dan adu siasat dalam politik kebudayaan yang nampak santun, namun sesungguhnya penuh dengan intrik. Temanku itu harus bekerja keras demi memastikan dukungan senior dan bantuan finansial.
Sekali lagi, saya tidak sedang emosi. Saya mengakui kalau di HMI ada banyak warna dan aliran politik. Tak hanya mereka yang jadi provokator dan melakukan demo bayaran, ada juga jalan aktivis yang senyap seperti yang dipilih oleh Nurcholish Madjid, maupun aktivis Munir. Namun, mereka yang senyap itu tidak pernah sesumbar meneriakkan posisinya sebagai kader HMI. Mereka yang jauh dari hiruk-pikuk politik itu lebih memilih jalan yang sunyi yang jauh dari deru kekuasaan negeri ini. Sepertinya, warga HMI sudah mulai jauh dengan spirit kebangsaan dan kerakyatan yang semestinya mereka kobarkan. Mereka tak lagi bergetar mendengar tangis lirih orang kebanyakan. Mereka sudah keenakan dengan teduhnya beringin kekuasaan. Mereka sudah kehilangan visi besar untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, sebagaimana tujuan HMI yaitu “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang berlandaskan Islam serta bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT”. Yah, tujuan itu didengungkan oleh setiap warga HMI dalam semua acara, mulai dari basic training, hingga acara lainnya. Tujuan itu tidak lebih dari tujuan yang tercantum dalam anggaran organisasi, menjelma menjadi visi yang kaku, tanpa ikhtiar luar biasa untuk mempraksiskannya pada dunia realitas. Tanpa ikhtiar untuk menjadi rasul dan mewujudkan kerajaan Tuhan di muka bumi. Pantas saja jika beberapa tahun sebelum meninggal, Nurcholish Madjid sempat berujar, “Sudah saatnya HMI dibubarkan.” Kayaknya, saya sepakat dengan itu. Tak cuma dulu, bahkan sampai sekarang saya masih sepakat.(*)
Telaga Safar, Makassar, 29 Juli 2008
Saat lagi ngobrol lucu-lucu sama Dwi
Saat lagi ngobrol lucu-lucu sama Dwi
0 komentar:
Posting Komentar