Hebat!!! Fikriyah Lulus Cumlaude


AKHIRNYA teka-teki siapa mahasiswa Pasca Antrop tahun 2006 yang duluan lulus, terjawab sudah. Sahabatku Siti Fikriyah Khuriyati menjadi yang pertama lulus setelah mempertahankan tesisnya yang berjudul Produksi Identitas Simbolik Parlemen Indonesia. Yang luar biasa, ia tidak sekedar lulus, ia berhasil lulus dengan nilai tertinggi yaitu cumlaude. Saya salut karena prestasi besar itu dicapai Fikri dalam situasi di mana ia tidak melalaikan aktivitasnya di bidang lain. Itulah hebatnya Fikriyah.

Kemarin, Rabu (9/7) pukul 08.00 WIB, saya memasuki kampus UI Depok untuk menyaksikan momentum yang sangat penting bagi Fikri. Sejak awal, saya memang tidak mau melewatkan momentum itu. Bersama beberapa teman yaitu Dyah dan Andi, saya sengaja hadir dan memasuki ruang sidang. Saya agak terlambat masuk karena sidang uji tesis itu sudah dimulai sekitar 15 menit. Di dalam ruangan, Fikri duduk di hadapan para penguji yaitu Iwan Tjitradjaja, Achmad Fedyani Saifuddin (Afid), hingga penguji dari sosiologi yaitu Hanneman. Mereka menyimak alunan presentasi Fikriyah yang menguraikan pendekatan penelitian serta beberapa kesimpulannya.

Seperti halnya Malinowski yang dikepung gairah saat menjelaskan temuannya di Pulau Trobriand, Fikriyah juga dikepung semangat yang sama. Sebagai etnografer, ia mencatat dengan tekun bagaimana anggota parlemen mempraktikkan berbagai simbol dan kapital demi menegaskan dominasinya. “Mereka menggunakan berbagai simbol itu sebagai daya-daya kuasa demi melancarkan proses dominasi terhadap kelas sosial lainnya,“ katanya.

Saya memperhatikan para penguji menyimak presentasi itu sambil memberikan catatan. Pak Iwan kelihatanhya baru mulai membaca tesis Fikri. Ia juga membaca buku Pierre Bourdieu yang judul Language and Symbolic Power. Apalagi, Fikri beberapa kali menyatakan bahwa kutipannya terhadap Bourdieu banyak mengacu pada buku tersebut. Sementara Afid hanya menyimak presentasi itu. Ia tak banyak mencatat, namun lebih banyak mendengarkan.

Usai presentasi, selanjutnya adalah tanggapan dari para penguji. Pada ujian kali ini, para penyaksi sidang (supporter) tak punya kesempatan untuk menanggapi materi tersebut. Penanggap hanyalah para penguji. Pak Hanneman memberikan apresiasi terhadap karya tersebut. “Saya sudah membaca dengan baik tulisan Fikriyah. Bahasanya sangat mengalir. Saya serasa membaca sebuah novel yang memikat,” kata Hanneman yang kian membuat perasaan Fikriyah sesaat membuncah. “Namun ada beberapa catatan yang hendak saya berikan. Jadi, jangan merasa di atas dulu,” lanjutnya sambil tersenyum.

Hanneman memberi masukan agar riset ini mencantumkan kalimat bahwa fenomena reproduksi simbolik ini tak hanya terjadi di gedung DPR, melainkan juga terjadi di arena sosial yang lain. Ia juga memberi catatan tentang representasi. Bahwa, tak semua anggota DPR berprilaku sama dengan itu. “Selain itu, realitas yang disaksikan tidaklah monolitik. Variasi dan keunikan itu sebaiknya juga dipaparkan,” katanya.

Usai memberikan komentar, Hanneman langsung meninggalkan sidang. Selanjutnya, Iwan Tjitradjaja yang memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis. Dalam beberapa sidang tesis atau disertasi yang kuikuti, Iwan selalu memandang tesis seperti pohon yang dibangun dengan kokoh mulai dari akar hingga pucuk. Ia akan memperhatikan pertanyaan penelitian (research question), kemudian memperhatikan bangunan argumen dan terakhir ia akan memperhatikan kesimpulan. “Saya lihat di pertanyaan penelitian, kamu hendak mempersoalkan identitas simbolik anggota dewan, namun pada bagian nrasi dan kesimpulan, kata identitas sama sekali tidak dicantumkan. Kamu lebih banyak membahas soal simbol. Kenapa? Ini kan namanya tidak konsisten,” katanya. Kemudian Iwan juga mempersoalkan kutipan Bourdieu pada buku Language and Symbolic Power yang sama sekali tidak mengutip bagian tentang identitas. “Mestinya bagian itu yang banyak kamu kutip. Bukan pada bagian lain yang justru tidak relevan dan sangat jauh dari studi ini,” lanjutnya. Kemudian Iwan juga mempertanyan pemilihan responden. Katanya, harus dicantumkan alasan kuat mengapa kita memilih responden tertentu.

Bertubi-tubi Iwan memberikan pertanyaan. Di saat Fikri belum selesai menjawab, Iwan selalu memotong dengan pertanyaan baru. Dialognya cukup alot. Hingga akhirnya, Afid memotong dialog tersebut dengan mengatakan,”Nantilah dilihat lagi. Persoalan besar bagi dunia antropologi kontemporer adalah persoalan representasi. Ini yang harus diperhatikan dan dijelaskan dengan argumentasi yang kuat. Antropologi berupaya membangun penjelasan atas satu fenomena yang kecil, namun isunya adalah isu besar. Tanggung jawab kita adalah memberikan refleksi yang kuat atas fenomena itu.”

Usai pernyataan Afid, sidang ditutup. Fikri dan semua supporter keluar ruangan. 10 menit kemudian diundang lagi masuk ruangan. Iwan lalu memberikan pernyataan, ”Setelah kami menguji tesis dan memperhatikan data masa studi serta nilai Fikriyah selama kuliah yang sangat tinggi yaitu 3,71, kami memutuskan bahwa tesis ini dinyatakan lulus dan mendapatkan nilai cumlaude. Ada beberapa tingkatan kelulusan. Mulai dari memuaskan, sangat memuaskan, hingga cumlaude. Nilai cumlaude akan diberikan ketika mahasiswa mencapai IPK di atas 3,70. Atas dasar itu, kami memutuskan Fikri mendapatkan nilai cumlaude pada ujian kali ini,” kata Iwan.

Selanjutnya, ruang sidang dipenuhi tepuk tangan. Saya datang menyalami dan memeluk Fikri. Kebahagiaan memenuhi ruangan. Satu langkah besar telah ditorehkan sahabatku ini. Di tengah suasana ramai tersebut, saya tiba-tiba merasa kesunyian. Jujur, saya iri dengan Fikri.(*)


Jakarta 10 Juli 2008
www.timurangin.blogspot.com
www.yusrandarmawan.multiply.com


0 komentar:

Posting Komentar