Lagu Gaby dan Fenomena Masyarakat Desas-Desus

AKHIRNYA kontroversi lagu berjudul “Jauh” yang dinyanyikan oleh Gaby berakhir sudah. Ternyata lagu itu adalah milik band Caramel asal Kota Makassar. Sementara mistik, horor, serta cerita seram yang mengiringi kehadiran lagu itu adalah isapan jempol belaka. Bahkan penyanyi lagu itu yang dikabarkan tewas bunuh diri, ternyata masih segar bugar dan tampil di hadapan semua pemirsa televisi.

Seingatku, lagu ini diklaim oleh tiga band dari kota berbeda. Selain Caramel dari Makassar, lagu ini juga diklaim band Caramel asal Kota Surabaya, dan satu band lagi asal Kota Depok. Masing-masing mengklaim setelah sebelumnya lagu itu hadir di internet melalui satu situs musik. Tanpa identitas yang jelas, lagu itu langsung diklaim banyak orang dan kemudian bermunculanlah berbagai cerita mistik.

Publik seketika heboh. Semua penasaran siapa yang sesungguhnya pemilik asli lagu ini. Bahkan, banyak penyanyi yang mengklaim bahwa suara yang menyanyikan lagu itu di internet adalah suaranya sendiri. Kemudian, di internet bertaburan pula berbagai cerita gosip tentang tewasnya sang penyanyi karena bunuh diri setelah kekasihnya pergi entah ke mana. Banyak penyanyi yang mengaku dihantui ketika menyanyikan lagu itu. Hampir setiap hari, tayangan berita infotainment menampilkan cerita lagu ini disertai wawancara dengan banyak pihak. Bahkan, ditampilkan pula kesaksian dari paranormal serta banyak dukun atau “orang pintar” yang mengklaim telah berbincang dengan ruh gadis yang tewas tersebut.

Ternyata, semua itu hanyalah isapan jempol semata. Kemarin, penyanyi lagu itu Gaby –yang ternyata bernama Abe— serta pengarang lagu Pay, menggelar jumpa pers bersama pakar telematika Roy Suryo dan memastikan bahwa lagu itu memang dinyanyikan oleh Abe. Teknologi telekomunikasi sanggup mendeteksi suara seseorang yang tampil di format audio, kemudian menentukan siapa sesungguhnya yang memiliki suara identik dengan itu. Artinya, meskipun ada tiga yang mengkalim sebagai penyanyinya, namun hanya ada satu yang berkata benar. Teknologi sanggup memastikan itu.

Saya mencatat ada tiga fenomena menarik seputar lagu ini yang menarik untuk dibahas. Pertama, jauhnya Kota Makassar dari pusat gosip telah meminggirkan wacana Abe dan Pay (keduanya adalah mahasiswa STMIK Dipanegara) sebagai pemilik asli lagu ini. Meskipun mereka punya bukti kuat, namun orang seakan tidak perduli dengan itu dan terus mengembangkan beragam spekulasi. Kota Makassar memang sangat jauh dari pusat gosip infotainment. Makanya, dalam semua liputan tentang lagu ini, Pay dan Abe jarang sekali diwawancarai sehingga kebenaran versi mereka menajdi senyap oleh kontroversi dan pengakuan berlebihan dari band atau penyanyi lainnya.

Yang paling sering dibicarakan adalah band Caramel asal Surabaya. Mereka mengklaim lagu itu diciptakan oleh Gaby, seorang gadis asal Malang yang kemudian bunuh diri. Setiap kali diwawancarai, mereka sangat yakin kalau itu adalah lagu ciptaannya. Tak hanya itu, meskipun lagu itumasih kontroversial, mereka berani membuat videoklip dan menyanyikan lagu itu secara terbuka. Jika kita iseng mengetikkan lagu “jauh” dan “gaby” di google, maka muncullah rratusan artikel yang kebanyakan ddominasi oleh versi mereka. Sementara band asal makassar seakan tak berdaya menghadapi luapan informasi yang tak berpihak pada mereka. Untunglah Pay dan Abe (kata temanku, nama aslinya adalah Andi Besse) tidak kehilangan akal. Mereka mendatangi Jakarta dan menemui Roy Suryo agar bisa dipastikan bahwa yang menyanyikan lagu itu di internet adalah mereka. Kebenaran itu kemudian terkuak. Menurutku, fenomena ini menjelaskan bahwa dalam skala gosip dan rumor, seakan ada daerah yang kemudian menjadi sentrum (pusat) dan ada daerah yang menjadi periferi (pinggiran). Daerah yang menjadi pusat itu adalah daerah yang di dalamnya banyak industri media massa yang mereproduksi kenyataan baru. Pada daerah itulah, wacana diproduksi kemudian dikendalikan, sehingga mensenyapkan pemilik wacana sesungguhnya yang berada di pinggiran. Inilah fenomena pertama yang kucatat.

Kedua, teknologi internet telah menghadirkan satu ruang virtual di mana antara fakta dan fiksi menjadi sukar dibedakan. Teknologi internet telah memutus batas pembeda antar masyarakat sehingga isu yang ada pada satu wilayah, bisa dengan gampangnya dicaplok oleh seseorang pada wilayah lain. Masyarakat kita bergeser ke era internet di mana sesuatu dengan gampang dimanipulasi, tanpa identitas yang jelas. Fenomena ini sudah dicatat para pemikir sosial pada era 1960-an. Di kalangan ilmuwan komunikasi, banyak teori yang bisa menjelaskan tentang dampak media massa, misalnya dari McComb, Rogers, ataupun Schramm. Mereka sudah memprediksi bahwa di tengah kepungan informasi di era ini, maka masyarakat bisa semaput (pingsan) dan susah membedakan mana fiksi dan mana realitas. Di saat menyaksikan film Titanic, hampir semua orang menangis tersedu-sedu, sementara di saat melihat korban tsunami Aceh, tak satupun bulir air mata menetes. Kita dengan gampangnya terseret dalam logika media sehingga kehilangan lensa dalam membedakan mana yang real. Itulah dampak media.

Ketiga, masyarakat kita memang masyarakat yang sangat suka dengan desas-desus. Masyarakat kita adalah masyarakat yang paling mudah percaya dengan klenik. Meskipun kata sosiolog Augusto Compte, kita telah memasuki era digital atau era penaklukan nalar atas mitos dan agama, namun dalam hal tertentu, peta kognitif masyarakat kita masih saja dipandu oleh mitos. Makanya, di era digital seperti ini, dukun dan paranormal masih menjadi sentrum kebenaran. Kebenaran adalah sesuatu yang lahir dari tindakan merapal mantra, mengklaim bertemu dengan arwah, ataupun membakar kemenyan sambil memejamkan mata dan sesaat kemudian tersadarkan diri dan mengaku mendapatkan wangsit. Perjalanan masyarakat kita ke arah rasionalitas seakan tidak sampai-sampai ketika mitos dan klenik masih bercampur baur. Barangkali inilah uniknya masyarakat kita. Dalam hal tertentu rasional, namun dalam banyak hal lain masih setia dengan klenik alias ramalan-ramalan.

Sebenarnya, situasi ini sangat menguntungkan mereka yang berprofesi sebagai dukun atau paranormal. Jika dulunya mereka identik dengan tradisionalitas, kini mereka hadir dengan kemasan modern. Kliennya mulai dari artis sampai pejabat. Bisnisnya tak cuma meneropong secara spiritual seseorang di alam arwah, namun juga menyewakan jin, tuyul, serta setan yang bisa menjagai seseorang ketika tidur agar hartanya aman. Ini adalah tanda bahwa masyarakat kita mulai sakit dan selalu didera rasa cemas. Ini gejala skizofrenia yang kian parah di era milenium. Fenomena lagu “Gaby” ini adalah cerminan dari realitas wajah masyarakat kita yang sesungguhnya. Masyarakat yang mudah dihajar oleh sensasi dan fiksi yang melimpah-ruah.(*)


0 komentar:

Posting Komentar