Melewatkan Hari di KM Labobar


AKHIRNYA saya berangkat juga ke Jakarta dengan menggunakan kapal KM Labobar. Mahalnya tiket pesawat terbang, membuat saya tidak punya banyak pilihan moda transportasi untuk mencapai Jakarta. Meskipun biasanya saya selalu naik pesawat terbang, kali ini saya terpaksa harus berangkat dengan kapal laut. Itupun mengambil kelas ekonomi. Saya agak stres membayangkan bagaimana repotnya saya berdesakan naik kapal, bergegas-gegas mencari tempat berbaring, hingga bersikut-sikutan dengan buruh atau calo ketika menemukan satu tempat strategis. Yah, semuanya demi mendapatkan tempat nyaman untuk merebahkan diri selama di perjalanan.

Kalau pelayaran dengan jarak dekat seperti Bau-Bau, bagiku tidak masalah jika harus berbaring di lorong-lorong kapal, namun ini adalah pelayaran yang agak jauh dan menempuh waktu sekitar tiga hari dua malam. Semua keping kenyataan itu menjadi beban yang menggelayut di pikiranku. Saya jadi ragu melangkah. Namun, saya tak punya banyak pilihan. Tak mungkin harus menunda waktu keberangkatan, sementara keperluanku sangat mendesak di Jakarta. Terpaksa, saya harus bisa berdamai dengan situasi yang ada.

Saya menuju Pelabuhan Makassar pada pukul 04.00 subuh. Suasana pelabuhan sangat ramai dan riuh dengan ribuan orang yang kemudian bergegas masuk ke dalam kapal. Ribuan orang berdesakan di pintu masuk yang sempit untuk memasuki lambung kapal. Saya teringat dosenku yang tuna netra yaitu almarhum Mansyur Semma. Dia selalu mengeluh setiap mau naik Pelni. Katanya, sangat tidak nyaman berdesak-desakan dengam ribuan orang termasuk buruh, apalagi buruh Makassar terkenal suka melabrak siapapun yang menghalangi jalannya. Mereka yang menjadi buruh itu juga berprofesi sebagai calo tempat tidur, bahkan berdagang makanan atau barang keperluan para penumpang. Kata dosenku, sejak dulu penumpang tidak nyaman dengan situasi itu. Sementara Pelni sering mengabaikan keluhan semua calon penumpang tentang betapa tidak nyamannya berjejal naik dengan ribuan orang ke dalam kapal dan setiap saat harus menjaga dompet kalau-kalau berpindah ke tangan pencuri. Itulah cerita umum bagi mereka yang menggunakan jasa Pelni.

Saya naik kapal KM Labobar ini dengan rasa waswas karena tidak tahu harus merebahkan badan di mana. Untunglah, saat berada di kapal, temanku Dambo berhasil melobi seorang anak buah kapal (ABK) agar mengizinkan kami tidur di kamarnya. Tentu saja dengan konsekuensi kami harus membayar biaya sewa sebesar Rp 750 ribu untuk dua ranjang sepanjang perjalanan. Kami bersedia membayar sebab kamarnya adalah kamar setara kelas 2, yang di dalamnya terdapat televisi, wastafel, disepenser, serta ruang yang nyaman dan ber-AC. Sementara si ABK itu juga merasa girang sebab bisa mendapatkan penghasilan tambahan dalam perjalanan ini. Maka mulailah saya melewati hari dengan berbaring nyaman di ranjang sembari memeluk guling dan membaca buku. Semoga menjadi perjalanan yang menyenangkan.(*)

2 Juli 2008, Pukul 22.00
Saat berada di tengah laut, di KM Labobar


0 komentar:

Posting Komentar