Dua Tahun, Gedung DPR Banyak Berubah


HARI ini saya berkunjung ke Gedung DPR RI. Mestinya, temanku Dambo yang datang memenuhi undangan dari seorang anggota DPR, namun karena ia terlambat bangun, terpaksa saya yang datang menggantikannya. Maklumlah, saya dan Dambo berada dalam satu tim penyusunan buku. Sejak kuliah di Universitas Indonesia (UI), ini adalah kunjunganku yang pertama kalinya.

Terakhir saya berada di gedung ini sekitar dua tahun yang lalu, sewaktu masih tercatat sebagai wartawan kemudian staf ahli yang berseliweran di gedung dengan kubah hijau itu. Dalam rentang waktu dua tahun itu, ada perubahan yang cukup mencolok di gedung ini. Perubahan itu adalah kian banyaknya satuan keamanan atau satpam yang berjaga. Dulunya, pakaian satpam di gedung ini berupa pakaian safari berwarna agak gelap dengan pin khusus. Pernah sekali waktu, mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto datang memenuhi undangan diskusi. Ia mengenakan baju yang sama persis dengan baju satuan pengamanan di gedung itu. Wiranto sempat berseloroh, “Untunglah orang-orang di sini cukup mengenal saya. Sebab baju saya sama persis dengan baju satpam.” Semua orang yang mendengarnya langsung tertawa.

Dulunya, satuan pengamanan itu rata-rata adalah laki-laki dengan mengenakan baju safari dan pin khusus. Kini, banyak perempuan yang menjadi satpam dengan pakaian yang agak berbeda dengan satpam yang ada di luar. Mereka mengenakan pakaian berwarna biru dengan desain yang menarik. Saya melihat banyak satpam perempuan yang cantik-cantik. Pantas saja, temanku wartawan Kompas, Aco, berseloroh, “Sekarang sudah beda dengan dulu. Untungnya saya sudah menikah. Kalau tidak, saya bisa jatuh cinta setiap hari.” Hehehehe. Bisa saja dia.

Saat masuk ke gedung ini, saya mengenakan baju batik yang rapi serta ada identitas sebagai staf ahli. Makanya, ketika masuk kompleks gedung, banyak penjaga yang menghormat kepadaku. Saya sih asyik saja menerima pengormatan itu. Untuk sesaat saya merasa sebagai pejabat negara. Tempat pertama yang kukunjungi adalah press room atau tempat mangkal wartawan yang meliput di gedung ini. Dulunya, saya selalu nongkrong di tempat ini dan menikmati fasilitas telepon serta internet gratis. Di sini juga banyak sahabatku. Sayangnya, saat singgah di situ, tidak banyak wajah yang kukenal. Kata Aco, kebanyakan wartawan hanya bertugas selama enam bulan, dan setelah itu dipindahkan lagi ke tempat lain. Yah, pemindahan posko seperti ini adalah hal biasa di dunia jurnalistik. Bahaya juga bila wartawan terlalu lama di satu tempat. Selain bisa jenuh dan insting jurnalismenya kian lamban, ia bisa terlibat dalam praktik percaloan di instansi tempatnya posko dalam waktu yang lama.

Press room DPR terletak di lantai 1 Gedung Nusantara III. Saat memasuki press room, sedang digelar acara jumpa pers dan menghadirkan Ketua PKB Muhaimin Iskandar. Saya sempat singgah berjabat tangan dengan Muhaimin dan sejumlah stafnya. Ada beberapa orang yang stafnya yang masih mengenaliku saat menjadi wartawan. Saat itu, Muhaimin membawa nasi tumpeng dan mengajak wartawan makan bersama, merayakan kemenangan PKB versinya dalam pengadilan atas PKB versi Gus Dur. Saya tak terlalu tertarik mengikuti acara tersebut. Saya langsung ngeloyor pergi.

Selanjutnya adalah saya mengunjungi ruangan anggota Fraksi PAN DPR RI yaitu Arbab Paproeka. Kebetulan, staf ahlinya yang bernama Fiar adalah sahabatku saat masih kuliah di Unhas. Fiar meneleponku dan memintaku segera ke lantai 19 di ruangan Pak Arbab. Saya langsung menuju lift dan ke ruangan itu. Saya melihat bahwa penjagaan di DPR ini lebih ketat dibandingkan dua tahun lalu saat saya masih berkeliaran di gedung ini. Hampir di sepanjang lantai, ada staf keamanan yang berjaga dan menanyakan identitas tatkala hendak singgah ke lantai itu. Untunglah, mereka tidak menahanku karena kartu identitas sebagai staf ahli.

Saat tiba di ruangan Arbab, saya bertemu dengan seorang sekretaris cantik yang kemudian menyuruhku menunggu. Sekretaris tersebut hanya mengenakan rok selutut sehingga nampak kakinya yang putih bersih. Saat itu, saya sempat duduk dan berbincang dengannya. Saya berpikir, barangkali isu banyaknya kasus pelecehan seksual di gedung ini bisa terjadi karena banyaknya gadis cantik yang bekerja di sini. Sementara anggota DPR hidup bergelimang duit yang banyak, dan setiap hari masuk ruangan kemudian bertemu sekretaris cantik. Sebagai lelaki normal, pantas saja mereka gampang berubah jadi nafsu. Saya tak bermaksud menuduh kaum perempuan sebagai pemantik nafsu. Sama sekali tidak. Ini cuma dugaan sementara saja di saat itu.

Lama menunggu, temanku Fiar mengajakku singgah ke kafe di lantai 1. Ada dua kafe atau tempat makan di gedung ini. Yang pertama terletak di lantai 1 Gedung Nusantara 1 dan disebut Kafetaria Nusantara. Sedangkan satunya lagi adalah Pujasera, yang terletak di luar bangunan DPR, tak jauh dari masjid DPR.

Namun, kebanyakan anggota dewan lebih suka nongkrong di Kafetaria Nusantara. Tempatnya cukup mewah dan makanannya agak mahal. Makanya, para anggota dewan banyak yang singgah makan di situ. Saya dan teman-teman wartawan lebih suka menyebut kafe itu sebagai kafe calo sebab hampir tiap saat banyak anggota DPR yang duduk-duduk di situ bersama gubernur atau bupati. Saya mendapat banyak info bahwa praktik percaloan yang dilakukan anggota DPR bersama para gubernur banyak dibahas di kafe itu. Biasanya, mereka berkongkalikong untuk menaikkan anggaran DAU atau DAK daerah. Mereka juga membahas bagaimana cara menaikkan anggaran dinas atau departemen di daerah. Belakangan ini, kata beberapa teman wartawan, praktik percaloan itu tidak lagi di kafe itu. Banyak yang pindah ke hotel mewah yang tak jauh dari DPR, misalnya Plaza Senayan, Hotel Mulia, Hotel Sulthan, atau Hotel Ritz Carlton (tempat Al Amin tertangkap bersama Sekda Bintan).(*)

Jakarta, 21 Juli 2008
Pukul 19.00 wib


0 komentar:

Posting Komentar