Merasa Tertipu Saat Nonton Film Hancock




BARU tiba di Jakarta, saya sudah tak tahan ingin nonton film. Di Kota Makassar, pemutaran film sangat lambat kurasa. Di saat film Hulk sudah akan diturunkan dari banyak bioskop di Jakarta, Makassar belum juga memutar film ini. Saya memutuskan untuk menyaksikan film ini dan berimajinasi bagaimana rasanya menjadi seorang pria yang sanggup berubah menjadi raksasa hijau Hulk yang kebal dengan tembakan, kuat sekuat baja dan tak tertembus peluru.

Sayangnya, saat tiba di bioskop Megaria –yang terletak di dekat Stasiun Cikini--, ternyata film Hulk sudah diturunkan karena sudah cukup lama tayang di situ. Film yang sedang diputar, salah satunya adalah film yang dibintangi Will Smith dan berjudul Hancock. Saya ingat dengan resensi film ini di satu harian sehingga kemudian memutuskan untuk menyaksikannya. Resensi itu mengatakan bahwa film ini adalah film tentang seorang superhero yang unik.

Disebutkan bahwa film ini menampilkan seorang superhero yang berbeda dengan lazimnya film superhero. Biasanya, seorang superhero menjalani kehidupan sebagai pria yang tampan misalnya Superman atau Spiderman, atau sebagai pria kaya seperti Iron Man atau Batman. Namun Hancock sangat berbeda dengan semua film tersebut. Hancock –yang diperankan Will Smith—hanyalah seorang pengangguran yang kumuh dan saban hari tidur di pinggir jalan. Jika seorang superhero dirindukan dan diteriaki secara histeris dalam setiap kemunculannya, tidak dengan Hancock. Dia dibenci dan selalu dimaki ketika melakukan aksi sebab merusak apa yang ada di sekelilingnya.

Pakaiannya kotor dan hidup menggelandang. Di saat mengatasi tindak kriminalitas, ia tidak santun dan tidak pernah menganggap dirinya sedang membantu polisi atau masyarakat. Ia melakukannya karena ingin bersenang-senang sehingga kadang menimbulkan kerusakan di sekitarnya. Hancock juga sangat bengal dan tidak peduli bagaimana penampilannya ketika beraksi. Bahkan, pernah ditampilkan adegan ketika ia sedang memadamkan kebakaran dalam keadaan nyaris bugil karena pakaiannya terbakar. Dalam keadaan bugil itu, ia datang ke tempat anak-anak yang sedang antri membeli es krim, kemudian menyerobot begitu saja secara kurang ajar. Itulah Hancock, seorang highlander yang hidup abadi di sepanjang zaman.

Dalam film, dikisahkan pertemuan Hancock dengan seorang pria yang menjadi konsultan public relation yang kerap mengemas pencitraan sesuatu dengan lebih baik. Nah, pria ini kemudian memoles Hancock sedemikian rupa sehingga menjadi superhero yang dicintai publik. Belakangan, ternyata Hancock tidak sendirian. Dia sesungguhnya punya istri yang juga memiliki kesaktian yang sama. Istrinya ini dikisahkan sudah menikah pula dengan konsultan citranya tersebut. Cukup menarik kan?

Sebelum menyaksikan film ini, saya sempat memperhatikan pengunjung bioskop yang mengerumuni posternya. Poster itu menampilkan Hancock dengan wajah close up dan memenuhi poster. Ia mengenakan kacamata dengan lensa yang cukup besar dan nyaris memenuhi seluruh wajahnya. Yang membuatku tersentak adalah pada dua sisi kacamata itu, terdapat bayangan Tugu Selamat Datang atau patung dua orang siswa sekolah yang terletak di tengah Bundaran Hotel Indonesia (gambar yang tampil di blog ini tidak sama dengan yang saya lihat di bioskop). Beberapa orang yang menyaksikan film itu merasa penasaran dan berharap ada adegan yang menampilkan perkelahian Hancock di atas monumen di pusat keramaian Jakarta itu.

Sayang sekali, hingga akhir film, tak ada juga gambar tugu tersebut. Saya menduga, pemasangan gambar tersebut demi stratagi promosi dan mendongkrak popularitas film tersebut di Indonesia. Namun, itu kan sama saja dengan membohongi publik yang penasaran. Itu sama dengan meletakkan hal yang membangkitkan kepenasaranan, namun hingga akhir film, kepenasaranan itu ternyata hanyalah sebuah tipuan belaka. Sebagai penonton saya merasa tertipu.

Film ini sangat menarik jika dilihat dari sisi special effect. Hanya saja jika dilihat dari bangunan cerita, tampaknya biasa saja. Tak banyak penjelasan mengapa dan bagaimana Hancock mendapatkan kekuatannya. Asal-usulnya juga tidak jelas. Apakah ia jatuh dari planet lain, digigit serangga tertentu, ataukah karena mendapatkan kekuatan dari benda mistik tertentu. Meskipun berupaya menggali konflik psikologi, namun film ini bagiku gagal memukau seperti halnya serial Smallville. Film ini agak tanggung sebab berada di tengah-tengah antara komik ala Hulk atau pergulatan psikologi yang seperti Spiderman 2. Film ini ibarat gado-gado yang gurih demi memuaskan selera pasar akan film yang sarat dnegan adegan terbang dan aksi menakjubkan.(*)


4 Juli 2007, Pukul 21.10 malam


0 komentar:

Posting Komentar