HULK adalah raksasa hijau yang kesepian. Dia selalu sendirian ketika menjadi sasaran serbuan militer Amerika Serikat (AS). Hampir setiap saat, militer berupaya membunuhnya dengan beragam cara, baik dibom, ditembak, hingga dihujani rudal dari udara. Tetapi Hulk selalu berusaha lari dan lari. Ia memang membunuh militer, namun semua itu dilakukannya demi menyelamatkan diri dari hujan peluru yang diarahkan kepadanya.
Apakah ia menakutkan? Mungkin. Namun saya lebih sepakat jika ia yang sesungguhnya berada dalam iklim ketakutan. Orang di sekitarnyalah yang sesungguhnya seram. Saat berteriak, ia tidak sedang mengancam. Ia hanya melepaskan rasa takutnya kepada sekeliling. Seperti halnya seekor gorila yang berteriak ketika terancam, Hulk seakan mendendangkan keyakinan purba bahwa manusia juga bisa berteriak di saat nyawanya dalam bahaya. Untuk itu, manusia akan mengeluarkan semua daya dan pertahanan terbaik pada dirinya.
Film The Incredible Hulk yang diperankan Edward Norton dan Liv Tyler itu kusaksikan dengan perasaan berdebar. Karakter tokoh komik ciptaan Stan Lee dari Marvel itu disajikan dengan visualisasi yang memukau. Rasa terpengarah dan sedih beraduk menjadi satu dalam diriku saat menyaksikan film ini di Mal Atrium, Senen, Jakarta, Minggu (6/10). Saya membayangkan betapa sedihnya menjadi ilmuwan biologi molekuler Dr Bruce Banner. Ia tak bisa lagi menenggelamkan diri dalam dunia ilmu sebagaimana profesinya sebagai peneliti dan pengajar. Ketika menjadi kelinci percobaan dari proyek yang dijalankan militer, tubuhnya tercemar oleh radiasi gamma hingga bisa menjelma jadi sosok monster hijau ketika marah. Militer gelisah dan tak mau proyek ambisius itu diketahui orang banyak. Ditambah dengan ambisi sejumlah jenderal yang tak mau kariernya kandas kalau proyek “Hulk” ini terungkap. Maka hampir setiap saat Bruce dicari-cari, kemudian diserang hingga kemarahannya memuncak. Militer juga hendak mengambil sampel darahnya untuk dijadikan senjata biologis baru demi mencetak prajurit hebat yang perkasa. Tapi Bruce bukanlah militer. Ia adalah ilmuwan yang menolak dirinya dijadikan alat pemusnah massal. Kesadaran sebagai ilmuwan dan kecintaan pada manusia telah menjadikannya sebagai sasaran pengejaran militer.
Mulailah ia menjalani hari-hari yang sulit. Di saat terdesak dan emosinya memuncak, ia akan menjadi raksasa hijau. Kesadarannya hanya satu yaitu bagaimana bisa melepaskan diri dari situasi yang tidak mengenakkannya. Tubuhnya memang besar. Namun apalah dayanya jika setiap saat terus dihujani dengan senjata canggih. Hidupnya bagai seorang pesakitan yang terus dikejar-kejar.
Sewaktu saya masih kecil, kisah Hulk hampir tiap minggu saya saksikan di televisi. Saat itu, saya tidak paham apa yang sesungguhnya menjadi sebab sehingga ia bisa bertransformasi menjadi raksasa hijau dan kemudian dikejar-kejar. Sebagai anak kecil, saya kadang ragu apakah Hulk seorang hero ataukah penjahat. Jika ia hero, maka kenapa ia harus dikejar setiap saat? Bukankah ia akan membawa kedamaian bagi seluruh alam semesta dan melindungi semua umat manusia? Saya kerap menanyakan itu dan tidak mendapatkan jawaban yang memadai. Dulunya, saya juga bingung kenapa dirinya harus dikejar-kejar. Apakah ia jahat?
Saya tak sempat menanyakan itu. Seperti halnya semua orang yang menyaksikan itu, saya ikut bersorak ketika melihat dirinya yang pontang-panting berusaha menyelematkan diri. Saya ikut berdecak kagum saat menyaksikan aksi-aksinya yang merobek-robek kendaraan lapis baja, membengkokkan senjata besi, hingga menghancurkan gedung dengan sekali tinju. Namun, menyaksikan film The Incredible Hulk itu membuat saya kembali menyaksikan sosok raksasa hijau ini dengan cara yang berbeda. Dalam tubuh yang perkasa itu, sesungguhnya terdapat jiwa yang selalu didera rasa sedih. Keperkasaan Hulk hanyalah sisi lain dari kesedihan dan kesendiriannya dalam menapaki hidup. Ia hidup dalam pelarian, yang ketika persembunyiannya diketahui, maka berdatanganlah militer untuk berupaya membunuhnya.
Kesedihan Hulk adalah kesedihan yang tak terpermanai. Ia adalah dampak dari sains modern yang selalu abai membaca keakanan dari tindakan hari ini. Hulk adalah efek dari keserakahan dan ambisi manusia untuk menguasai dan menaklukan sesamanya. Kegandrungan bangsa-bangsa akan kejayaan dan kuasa, menyebabkan mereka berlomba-lomba menciptakan senjata pemunah massal sehingga bisa mencatatkan dirinya sebagai bangsa nomor satu. Sains modern lahir sebagai abdi setia keserakahan manusia demi menaklukan semesta dan menancapkan kuasa. Sains modern tidak menjadi abdi yang setia dan mengabdi pada kemanusiaan. Sains modern menjadi neraka bagi manusia lainnya. Gumaman Bapak Sains Modern, Rene Descartes, yang berbunyi Cogito Ergo Sum (aku ada karena aku berpikir) menjadi awal dari neraka bagi manusia yang tidak mengeuasai sains. Kembali pada film Hulk, teriakan Hulk menjadi nyanyi sedih dan sunyi terhadap keangkuhan manusia.
Menyaksikan Hulk, saya seakan menyaksikan kisah Frankenstein, sosok monster yang lahir dari novelis Inggris, Mary Shelley, pada tahun 1818. Meski sama bertubuh besar dan raksasa, namun kesedihan Hulk tak seberapa jika dibandingkan kesedihan Frankenstein. Terlahir dari percobaan sains dari ilmuwan eksentrik bernama Victor Frankenstein, monster yang diberi nama sama dengan penciptanya itu kemudian tidak diakui sebagai mahluk yang berjalan di atas bumi. Monster Frankenstein tercipta dalam percobaan atau ketidakterdugaan. Sang ilmuwan hanya ingin membuktikan tesisnya bahwa mahluk hidup bisa tercipta ketika cabikan daging busuk yang dirangkai menjadi mahluk dan kemudian dialiri listrik. Ketika mahluk itu benar-benar lahir, mahluk itu kemudian bertanya ke sekelilingnya: siapa dirinya dan untuk apa ia diciptakan.
Sayang sekali, tak ada yang mau memberikan jawaban. Tubuh busuk itu langsung dicap sebagai monster, meskipun sang monster tak paham apa makna monster. Ia hanya bertanya siapa dirinya dan untuk apa diciptakan. Ia sedih ketika hinaan dan cacian ditujukan kepadanya. Tentang penciptaan dan penciptaan dirinya, Sang Monster yang antara lain membaca Goethe dan Milton itu, memang tak tahu apa-apa. Tetapi, ia tahu bahwa ia tak berteman, tanpa hak milik, bahkan tanpa sepotong nama. Ia hanyalah sebentuk makhluk dengan sosok rusak yang memuakkan. Ia bukan makhluk yang serupa manusia. "Tak ada yang kulihat dan kudengar makhluk yang serupa aku. Apakah aku seekor monster, najis di muka bumi, yang membuat semua orang lari menjauh, makhluk yang ditampik dengan muak oleh semua umat?."
Bagai Adam ketika pertama kali diciptakan, si monster tak punya kaitan apa pun dengan segenap ciptaan yang ada. Ia sungguh makhluk yang sama sekali lain. Tetapi, keadaan Adam sangat jauh berbeda dengan sang Monster dalam semua aspek lainnya. Adam lahir dari tangan Tuhan sebagai makhluk sempurna, bahagia dan sejahtera, dengan hak yang nyaris tak terbatas atas apa saja di Taman Firdaus. Sementara sang monster tercipta sebagai makhluk celaka, menderita, dan benar-benar penjelmaan segala yang busuk.
Tentang penciptaan dan penciptaan dirinya, Sang Monster yang antara lain membaca Goethe dan Milton itu, memang tak tahu apa-apa. Tetapi, ia tahu bahwa ia tak berteman, tanpa hak milik, bahkan tanpa sepotong nama. Ia hanyalah sebentuk makhluk dengan sosok rusak yang memuakkan. Ia bukan makhluk yang serupa manusia. "Tak ada yang kulihat dan kudengar makhluk yang serupa aku. Apakah aku seekor monster, najis di muka bumi, yang membuat semua orang lari menjauh, makhluk yang ditampik dengan muak oleh semua umat?."
Bagai Adam ketika pertama kali diciptakan, si monster tak punya kaitan apa pun dengan segenap ciptaan yang ada. Ia sungguh makhluk yang sama sekali lain. Tetapi, keadaan Adam sangat jauh berbeda dengan sang Monster dalam semua aspek lainnya. Adam lahir dari tangan Tuhan sebagai makhluk sempurna, bahagia dan sejahtera, dengan hak yang nyaris tak terbatas atas apa saja di Taman Firdaus. Sementara sang monster tercipta sebagai makhluk celaka, menderita, dan benar-benar penjelmaan segala yang busuk.
Kurang lebih seribu tahun yang silam, penyair sufi Abul Majid Majdud Sanai dan Husain ibnu Mansyur Al-Hallaj menulis sajak-sajak tentang Sang Iblis yang mengeluh dipermainkan Tuhan. Iblis menjadi korban dari cinta dan tauhidnya pada Allah yang melemparkannya ke neraka. Monster Frankenstein juga menyatakan kesedihannya karena ditolak oleh penciptanya dan ditampik oleh masyarakat sekitarnya. Manusialah dengan segala prasangka piciknya, yang terus-menerus menyudutkan si makhluk hingga jadi monster. Kita bisa merasakan simpati pada monster buruk itu, ketika ia meminta kepada Victor, sang Bapak sekaligus penciptanya, agar diberi pasangan yang sama buruknya seperti dirinya. Mereka akan memencilkan diri ke tempat yang tak diperuntukkan bagi manusia.
Ketika Victor membatalkan penciptaan Hawa bagi si Adam yang mengerikan itu, si makhluk jadi-jadian dengan sengit membalas: untuk menularkan penderitaan yang dialaminya kepada penciptanya. Satu persatu orang-orang yang dicintai Victor mati dibunuh oleh si Monster. Victor pun menyiapkan pembalasan dan mengejar si monster sampai ke Kutub Utara yang tak pernah dijelajahi manusia. Ketika Victor akhirnya meninggal akibat perburuan itu, si monster juga bunuh diri dalam penyesalan yang tak tepermanai. Pergulatan simetri antara hak-hak sang makhluk dan kewajiban sang pencipta, berakhir sebagai saling ketergantungan mutlak antara keduanya, antara si makhluk dan si pencipta. Begitu mutlaknya hingga hanya kehancuran bersama yang mengakhirinya.
Frankenstein dan Hulk sama-sama mahluk yang kesepian dan terbuang dari dunia manusia yang mengklaim dirinya sebagai mahluk mulia. Pertanyaan yang berdenyut dalam diriku adalah adakah tempat bagi sisi lain di luar ego dan keangkuhan kita sebagai manusia????
Apakah ia menakutkan? Mungkin. Namun saya lebih sepakat jika ia yang sesungguhnya berada dalam iklim ketakutan. Orang di sekitarnyalah yang sesungguhnya seram. Saat berteriak, ia tidak sedang mengancam. Ia hanya melepaskan rasa takutnya kepada sekeliling. Seperti halnya seekor gorila yang berteriak ketika terancam, Hulk seakan mendendangkan keyakinan purba bahwa manusia juga bisa berteriak di saat nyawanya dalam bahaya. Untuk itu, manusia akan mengeluarkan semua daya dan pertahanan terbaik pada dirinya.
Film The Incredible Hulk yang diperankan Edward Norton dan Liv Tyler itu kusaksikan dengan perasaan berdebar. Karakter tokoh komik ciptaan Stan Lee dari Marvel itu disajikan dengan visualisasi yang memukau. Rasa terpengarah dan sedih beraduk menjadi satu dalam diriku saat menyaksikan film ini di Mal Atrium, Senen, Jakarta, Minggu (6/10). Saya membayangkan betapa sedihnya menjadi ilmuwan biologi molekuler Dr Bruce Banner. Ia tak bisa lagi menenggelamkan diri dalam dunia ilmu sebagaimana profesinya sebagai peneliti dan pengajar. Ketika menjadi kelinci percobaan dari proyek yang dijalankan militer, tubuhnya tercemar oleh radiasi gamma hingga bisa menjelma jadi sosok monster hijau ketika marah. Militer gelisah dan tak mau proyek ambisius itu diketahui orang banyak. Ditambah dengan ambisi sejumlah jenderal yang tak mau kariernya kandas kalau proyek “Hulk” ini terungkap. Maka hampir setiap saat Bruce dicari-cari, kemudian diserang hingga kemarahannya memuncak. Militer juga hendak mengambil sampel darahnya untuk dijadikan senjata biologis baru demi mencetak prajurit hebat yang perkasa. Tapi Bruce bukanlah militer. Ia adalah ilmuwan yang menolak dirinya dijadikan alat pemusnah massal. Kesadaran sebagai ilmuwan dan kecintaan pada manusia telah menjadikannya sebagai sasaran pengejaran militer.
Mulailah ia menjalani hari-hari yang sulit. Di saat terdesak dan emosinya memuncak, ia akan menjadi raksasa hijau. Kesadarannya hanya satu yaitu bagaimana bisa melepaskan diri dari situasi yang tidak mengenakkannya. Tubuhnya memang besar. Namun apalah dayanya jika setiap saat terus dihujani dengan senjata canggih. Hidupnya bagai seorang pesakitan yang terus dikejar-kejar.
Sewaktu saya masih kecil, kisah Hulk hampir tiap minggu saya saksikan di televisi. Saat itu, saya tidak paham apa yang sesungguhnya menjadi sebab sehingga ia bisa bertransformasi menjadi raksasa hijau dan kemudian dikejar-kejar. Sebagai anak kecil, saya kadang ragu apakah Hulk seorang hero ataukah penjahat. Jika ia hero, maka kenapa ia harus dikejar setiap saat? Bukankah ia akan membawa kedamaian bagi seluruh alam semesta dan melindungi semua umat manusia? Saya kerap menanyakan itu dan tidak mendapatkan jawaban yang memadai. Dulunya, saya juga bingung kenapa dirinya harus dikejar-kejar. Apakah ia jahat?
Saya tak sempat menanyakan itu. Seperti halnya semua orang yang menyaksikan itu, saya ikut bersorak ketika melihat dirinya yang pontang-panting berusaha menyelematkan diri. Saya ikut berdecak kagum saat menyaksikan aksi-aksinya yang merobek-robek kendaraan lapis baja, membengkokkan senjata besi, hingga menghancurkan gedung dengan sekali tinju. Namun, menyaksikan film The Incredible Hulk itu membuat saya kembali menyaksikan sosok raksasa hijau ini dengan cara yang berbeda. Dalam tubuh yang perkasa itu, sesungguhnya terdapat jiwa yang selalu didera rasa sedih. Keperkasaan Hulk hanyalah sisi lain dari kesedihan dan kesendiriannya dalam menapaki hidup. Ia hidup dalam pelarian, yang ketika persembunyiannya diketahui, maka berdatanganlah militer untuk berupaya membunuhnya.
Kesedihan Hulk adalah kesedihan yang tak terpermanai. Ia adalah dampak dari sains modern yang selalu abai membaca keakanan dari tindakan hari ini. Hulk adalah efek dari keserakahan dan ambisi manusia untuk menguasai dan menaklukan sesamanya. Kegandrungan bangsa-bangsa akan kejayaan dan kuasa, menyebabkan mereka berlomba-lomba menciptakan senjata pemunah massal sehingga bisa mencatatkan dirinya sebagai bangsa nomor satu. Sains modern lahir sebagai abdi setia keserakahan manusia demi menaklukan semesta dan menancapkan kuasa. Sains modern tidak menjadi abdi yang setia dan mengabdi pada kemanusiaan. Sains modern menjadi neraka bagi manusia lainnya. Gumaman Bapak Sains Modern, Rene Descartes, yang berbunyi Cogito Ergo Sum (aku ada karena aku berpikir) menjadi awal dari neraka bagi manusia yang tidak mengeuasai sains. Kembali pada film Hulk, teriakan Hulk menjadi nyanyi sedih dan sunyi terhadap keangkuhan manusia.
Teringat Frankenstein
Menyaksikan Hulk, saya seakan menyaksikan kisah Frankenstein, sosok monster yang lahir dari novelis Inggris, Mary Shelley, pada tahun 1818. Meski sama bertubuh besar dan raksasa, namun kesedihan Hulk tak seberapa jika dibandingkan kesedihan Frankenstein. Terlahir dari percobaan sains dari ilmuwan eksentrik bernama Victor Frankenstein, monster yang diberi nama sama dengan penciptanya itu kemudian tidak diakui sebagai mahluk yang berjalan di atas bumi. Monster Frankenstein tercipta dalam percobaan atau ketidakterdugaan. Sang ilmuwan hanya ingin membuktikan tesisnya bahwa mahluk hidup bisa tercipta ketika cabikan daging busuk yang dirangkai menjadi mahluk dan kemudian dialiri listrik. Ketika mahluk itu benar-benar lahir, mahluk itu kemudian bertanya ke sekelilingnya: siapa dirinya dan untuk apa ia diciptakan.
Sayang sekali, tak ada yang mau memberikan jawaban. Tubuh busuk itu langsung dicap sebagai monster, meskipun sang monster tak paham apa makna monster. Ia hanya bertanya siapa dirinya dan untuk apa diciptakan. Ia sedih ketika hinaan dan cacian ditujukan kepadanya. Tentang penciptaan dan penciptaan dirinya, Sang Monster yang antara lain membaca Goethe dan Milton itu, memang tak tahu apa-apa. Tetapi, ia tahu bahwa ia tak berteman, tanpa hak milik, bahkan tanpa sepotong nama. Ia hanyalah sebentuk makhluk dengan sosok rusak yang memuakkan. Ia bukan makhluk yang serupa manusia. "Tak ada yang kulihat dan kudengar makhluk yang serupa aku. Apakah aku seekor monster, najis di muka bumi, yang membuat semua orang lari menjauh, makhluk yang ditampik dengan muak oleh semua umat?."
Bagai Adam ketika pertama kali diciptakan, si monster tak punya kaitan apa pun dengan segenap ciptaan yang ada. Ia sungguh makhluk yang sama sekali lain. Tetapi, keadaan Adam sangat jauh berbeda dengan sang Monster dalam semua aspek lainnya. Adam lahir dari tangan Tuhan sebagai makhluk sempurna, bahagia dan sejahtera, dengan hak yang nyaris tak terbatas atas apa saja di Taman Firdaus. Sementara sang monster tercipta sebagai makhluk celaka, menderita, dan benar-benar penjelmaan segala yang busuk.
Tentang penciptaan dan penciptaan dirinya, Sang Monster yang antara lain membaca Goethe dan Milton itu, memang tak tahu apa-apa. Tetapi, ia tahu bahwa ia tak berteman, tanpa hak milik, bahkan tanpa sepotong nama. Ia hanyalah sebentuk makhluk dengan sosok rusak yang memuakkan. Ia bukan makhluk yang serupa manusia. "Tak ada yang kulihat dan kudengar makhluk yang serupa aku. Apakah aku seekor monster, najis di muka bumi, yang membuat semua orang lari menjauh, makhluk yang ditampik dengan muak oleh semua umat?."
Bagai Adam ketika pertama kali diciptakan, si monster tak punya kaitan apa pun dengan segenap ciptaan yang ada. Ia sungguh makhluk yang sama sekali lain. Tetapi, keadaan Adam sangat jauh berbeda dengan sang Monster dalam semua aspek lainnya. Adam lahir dari tangan Tuhan sebagai makhluk sempurna, bahagia dan sejahtera, dengan hak yang nyaris tak terbatas atas apa saja di Taman Firdaus. Sementara sang monster tercipta sebagai makhluk celaka, menderita, dan benar-benar penjelmaan segala yang busuk.
Kurang lebih seribu tahun yang silam, penyair sufi Abul Majid Majdud Sanai dan Husain ibnu Mansyur Al-Hallaj menulis sajak-sajak tentang Sang Iblis yang mengeluh dipermainkan Tuhan. Iblis menjadi korban dari cinta dan tauhidnya pada Allah yang melemparkannya ke neraka. Monster Frankenstein juga menyatakan kesedihannya karena ditolak oleh penciptanya dan ditampik oleh masyarakat sekitarnya. Manusialah dengan segala prasangka piciknya, yang terus-menerus menyudutkan si makhluk hingga jadi monster. Kita bisa merasakan simpati pada monster buruk itu, ketika ia meminta kepada Victor, sang Bapak sekaligus penciptanya, agar diberi pasangan yang sama buruknya seperti dirinya. Mereka akan memencilkan diri ke tempat yang tak diperuntukkan bagi manusia.
Ketika Victor membatalkan penciptaan Hawa bagi si Adam yang mengerikan itu, si makhluk jadi-jadian dengan sengit membalas: untuk menularkan penderitaan yang dialaminya kepada penciptanya. Satu persatu orang-orang yang dicintai Victor mati dibunuh oleh si Monster. Victor pun menyiapkan pembalasan dan mengejar si monster sampai ke Kutub Utara yang tak pernah dijelajahi manusia. Ketika Victor akhirnya meninggal akibat perburuan itu, si monster juga bunuh diri dalam penyesalan yang tak tepermanai. Pergulatan simetri antara hak-hak sang makhluk dan kewajiban sang pencipta, berakhir sebagai saling ketergantungan mutlak antara keduanya, antara si makhluk dan si pencipta. Begitu mutlaknya hingga hanya kehancuran bersama yang mengakhirinya.
Frankenstein dan Hulk sama-sama mahluk yang kesepian dan terbuang dari dunia manusia yang mengklaim dirinya sebagai mahluk mulia. Pertanyaan yang berdenyut dalam diriku adalah adakah tempat bagi sisi lain di luar ego dan keangkuhan kita sebagai manusia????
Jakarta 10 Juli 2008
www.timurangin.blogspot.com
www.yusrandarmawan.multiply.com
www.timurangin.blogspot.com
www.yusrandarmawan.multiply.com
0 komentar:
Posting Komentar