Saat Mundur dari PNS

 


“Ko sudah gila kah?”

Suara kawan itu masih mengiang di ponsel. Di daerah, orang rela membayar ratusan juta demi profesi itu. Bahkan banyak yang rela jadi honorer bertahun-tahun, tanpa ada kejelasan apakah diangkat jadi pegawai ataukah tidak. Tapi saya justru memilih haluan lain.

“Ko ada masalah kah?” kata kawan itu. Dia kaget saat saya menjawab tidak ada. Semuanya baik saja. Karier dan kerjaan bagus. Malah bisa dibilang keren. Saya pun selalu sukses dan memberikan nilai tambah di penugasan apapun.

Kata kawan itu, kalaupun ada masalah, bisa malas-malasan, kayak pejabat yang di-nonjob. Gaji lancar, meskipun tak ada tunjangan. Begitu pimpinan berganti, bisa kembali naik jabatan.

Teman itu tidak paham kalau mumpung masih muda, saatnya melakukan banyak kegilaan2 dalam hidup. Kelak, ketika tua dan mapan, maka sudah tidak mungkin melakukan hal-hal gila. Dan keputusan ini adalah keputusan paling gila dalam hidup.

Yang paling sulit adalah meyakinkan orangtua dan keluarga di kampung. Sebab bagi mereka, menjadi pegawai bukan sekadar jaminan masa kini dan masa tua, tapi juga status sosial dan prestise. Terpandang.

Butuh waktu untuk meyakinkan banyak orang, sama halnya butuh waktu untuk meyakinkan diri sendiri. Namun keputusan tetap harus diambil sebab hidup harus terus bergerak.

Entah kenapa, saya ingin lebih banyak di rumah. Dunia luar menjadi tidak menantang. Saya jenuh dengan rutinitas. Ingin melakukan hal-hal yang selama bertahun-tahun tidak dilakukan karena terjebak rutinitas. Misalnya, bangun kesiangan, liburan di hari kerja, memandikan anak, juga masak-masak.

Saya ingin menikmati kebebasan saat bangun pagi, tanpa harus fokus menyelesaikan list pekerjaan. Saya ingin menjalankan banyak hobi, tanpa harus terbelenggu pekerjaan. Misalnya pergi memancing, urus kucing, merawat tanaman, atau memelihara ayam hutan.

“Trus ko kerja apa nanti?” tanya kawan itu.

“Saya mau fokus urus kucing,” jawabku,

“Ko benar-benar sudah gila.”


0 komentar:

Posting Komentar