Ada capres yang membanggakan stadion. Ada capres yang
membanggakan jembatan penyeberangan, lalu merasa pantas berada di posisi puncak
republik. Namun sosok satu ini benar lain dari yang lain. Dia bukan penata
kata. Dia pekerja keras.
Dia tak pernah memamerkan apa yang dibangunnya. Hari-harinya
adalah bekerja dan bekerja, tanpa melakukan lobi politik. Hasil kerjanya
terbentang nyata dari Sabang sampai Merauke, pada jalan-jalan dan jembatan yang
digunakan semua anak bangsa.
Dia pun menolak untuk tampil seperti pejabat. Dia tampil
seperti pegawai biasa dengan keringat mengucur deras dan membasahi baju
putihnya. Di acara resmi kenegaraan yang menghadirkan pemimpin dunia, dia hanya
tampil bak fotografer yang menyandang kamera.
Jika tolok ukurnya adalah kinerja, maka tak ada orang sepantas
dirinya untuk memimpin republik ini. Dia, Basuki Hadimuljono.
Dia menjalani masa remaja yang terus bergerak mengikuti
ayahnya, seorang anggota militer. Dia tumbuh di beberapa kota, mulai Palembang
hingga Papua, lalu Surabaya. Setelah itu dia belajar di Universitas Gadjah Mada
(UGM).
Dia pun menjalani karier sebagai pegawai negeri sipil di
Kementerian PU. Kariernya terus menanjak hingga menduduki beberapa posisi
penting di kementerian. Dia lalu melanjutkan studi magister hingga doktor di
Colorado State University. Beberapa tahun setelah kembali ke tanah air, dia
menjadi dirjen termuda di Kementerian PU.
“Waktu itu umur 48, di PU. Padahal waktu itu kan di PU banyak
sekali para senior saya yang jago-jago, tapi Pak Menteri Alm. Pak Soenarno
waktu itu menunjuk saya sebagai Dirjen Sumber Daya Air,” katanya dalam satu
podcast.
Posisi ini tak membuat Basuki jumawa lalu abai dengan sekelilingnya.
Nurani kemanusiaannya kian terasah saat mendapat tugas untuk menangani berbagai
bencana di Indonesia. Jiwa kepemimpinannya kian matang saat harus menangani
bencana yang membuat banyak orang kehilangan rumah hingga nyawa.
“Yang berkesan buat saya selain sebagai direktur jenderal
termuda, saya ditunjuk pada saat adanya bencana-bencana, pasti sebagai tim atau
ketua tim. Menangani disaster itu harus dengan love, dengan cinta. Apapun, mau
kompetensi, mau macam-macam, tapi terakhir, love. Harus menangani disaster
dengan love. Kalau enggak, pasti tewas kita,” ujarnya.
Pengalaman menghadapi bencana ini membuat dirinya selalu cepat
mengeksekusi apapun keputusan. Dia tak pernah menunggu dan menunggu. Dia
bergerak, menjalankan semua amanah, lalu membiarkan orang lain menilai
karyanya.
Saat ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri PUPR, dia pun tetap menjadikan posisi itu sebagai ranah untuk bekerja. Dia tak punya waktu untuk ketemu banyak orang dan memamerkan apa yang dia lakukan. Dia memilih bekerja dalam senyap.
Dari semua anak buah Jokowi di periode pertama dan kedua,
Basuki Hadimuljono adalah salah satu menteri favorit saya. Dia tipe yang tidak
banyak ngomong. Dia juga figur yang tenang. Dia tidak punya ambisi politik.
Pernah, saya melihatnya makan di satu tempat makan di Terminal
3, Bandara Soekarno Hatta. Dia duduk tenang di sudut, seorang diri. Tidak
terlihat satu pun staf yang mendampinginya. Padahal di kampung saya, seorang
kepala daerah selalu membawa “pasukan” dan “dayang-dayang” ke mana-mana.
Basuki tidak pernah gila hormat. Dia tidak peduli disapa apa
tidak oleh orang-orang. Saya yakin dia lebih suka tidak dikenali. Sebab dengan
cara itu, dia bebas melakukan apa pun. Saat saya menyapa dan mengajaknya
berfoto di bandara, wajahnya terlihat kurang nyaman.
Dia menuntaskan banyak hal. Sebagai Panglima Infrastruktur
Indonesia, dia hadir di mana-mana. Dia muncul di peresmian jalan tol,
pelabuhan, jembatan, hingga perumahan.
Saya pernah melihat tayangan peresmian infrastruktur. Dia
tidak duduk di jajaran menteri yang sedang mengelilingi presiden. Dia memegang
kamera dan jongkok bersama para fotografer. Dia sangat membumi.
Padahal, kalau dia mau, posisi duduknya lebih tinggi dari
gubernur dan bupati. Dia harusnya duduk di jajaran pejabat, menerima kalungan
bunga, juga diberi kesempatan untuk sambutan-sambutan.
Anehnya, dia tak suka sambutan. Saya jarang menyaksikan
dirinya berbicara panjang dan cerita semua rencana-rencananya di layar kaca.
Kalau dia diwawancarai, kalimatnya selalu ringkas. Dia tipe orang yang seakan
ingin berkata “Jangan lihat ucapanku, lihat kerjaku.”
Publik tahu prestasinya. Salah satu yang melekat di benak publik
adalah pembangunan tol trans Jawa yang menghubungkan Merak hingga Banyuwangi.
Berkat kesuksesannya, dia dijuluki Daendels baru, seorang Gubernur Jenderal
Hindia Belanda yang memerintahkan pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan.
Saat perhelatan G20 yang menghadirkan pemimpin negara-neara
terkaya, Basuki memilih penampilan seperti ajudan sembari membawa kamera. Dia
tidak terlihat seperti Menteri yang sibuk menyambut kepala negara. Dia memilih
untuk senyap, setelah kerja-kerjanya menyiapkan perhelatan itu kelar.
Padahal, dia adalah bagian dari Dream Team di kabinet Jokowi,
bersama Retno Marsudi dan Sri Mulyani, yang sukses menggelar acara dan
menghadirkan pemimpin dunia
Dia tetap tak ingin tampil di momen yang harusnya membuat
dirinya terus benderang disorot kamera. Dia adalah Basuki yang memilih jadi
orang biasa, yang menyorotkan cahaya kamera ke orang lain.
Tahun 2024, Indonesia akan menghelat pemilihan presiden.
Indonesia akan memilih putra terbaik bangsa yang akan membawa kemudi bangsa ini
ke arah kesejateraan. Indonesia akan memilih nakhoda, sosok yang diharapkan
punya integritas dan rekam jejak hebat untuk membawa bangsa ini melesat maju.
Jika integritas rekam jejak yang menjadi patokan dalam menilai
seseorang, maka Basuki harus ditempatkan di posisi puncak. Basuki ibarat
permata bangsa yang berkilau karena kerja keras, bukan karena koneksi dan
kedekatannya dengan pemimpin politik.
Jika rekam jejak yang jadi tolok ukur menilai seseorang, maka
capres manapun akan minder jika disandingkan dengan kerja-kerja Basuki. Dia tak
perlu menata kata, cukup meminta orang lain untuk berkeliling dan melihat
sendiri seperti apa definisi kerja keras.
Namun, dalam sistem yang menjadikan partai politik sebagai
pusat gravitasi politik, Basuki mungkin tak masuk hitungan. Negeri ini lebih
suka melihat batu koral yang disepuh seolah permata, ketimbang intan mutiara
yang kemilau di dasar lautan.
Jika kelak meninggalkan kementerian, dia merasa akan memiliki
banyak waktu untuk menjalankan hobinya dalam bermusik. “Working hard, playing
hard. Main band, main drum khususnya, itu bukan hanya hiburan buat saya tapi
kayak olahraga buat saya,” tuturnya.
Basuki telah meninggalkan satu legacy berharga kepada seluruh
anak bangsa. Dia menjadi teladan tentang sosok yang tidak sibuk menata kata,
melainkan bekerja. Dia menjadi legenda yang kelak akan dikisahkan generasi mendatang
tentang sosok pekerja, yang menolak untuk disanjung.
Dia menjadi satu kembang indah di taman persada negeri yang
akan selalu menjadi “pusaka abadi dan jaya, selalu dipuja-puja bangsa.”
1 komentar:
Apakah bliau yang di sanjung sama pak jokowi ttg rambut putih dan berkerut. Semoga
Posting Komentar