Jika Anda pendukung yang setiap hari posting kritik, serangan,
hingga kecaman kepada Presiden Jokowi, bagaimana perasaan Anda melihat Anies
bertemu Gibran Jokowi?
Jika Anda pendukung Anies yang setiap hari berteriak
anti-oligarki, bagaimana pula perasaan Anda saat melihat Anies bersama Surya
Paloh saling canda dan riang gembira saat bicara pilpres?
Saya teringat akademisi Simon Philpott. Dalam buku berjudul
Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism, and Identity, dia
mengatakan dunia politik Indonesia laksana kuburan bagi para pengamat dan
ilmuwan yang tekun mengamatinya.
Banyak asumsi dan prediksi yang kemudian tidak terbukti
realitasnya. Banyak pula hal-hal baru yang tiba-tiba memotong di tengah jalan,
lalu mengambil alih kendali wacana politik.
Di Amerika Serikat, sejak zaman dulu, politik di sana hanya
mengenal dialektika antara Partai Republik dan Partai Demokrat. Mereka ibarat
minyak dan air yang bersaing, dan saling mencari keseimbangan baru.
Di Indonesia, kita sering melihat politik anti-tesis, lalu
seiring waktu, ujung-ujungnya adalah kompromi. Kita sering melihat dua kubu
berbeda dan membelanya setengah mati, namun di akhir fragmen politik, dua kubu
akan bertaut dan berbagi peran.
Kita menyimpan banyak catatan. Dulu, di awal Pak Jokowi
menjabat, politik kita terbagi dua kubu, yakni Koalisi Kebangsaan dan Koalisi
Kerakyatan. Setelah keduanya bubar, muncul lagi Koalisi Indonesia Hebat dan
Koalisi Merah Putih. Setelah itu muncul perseteruan antara Jokowo vs Prabowo,
yang kemudian berakhir damai.
Elite politik hari ini tak jauh beda dengan elite politik
sebelumnya. Mereka boleh berbeda gagasan, tetapi selalu berusaha mencari titik
temu. Menurut sosiolog Emannuel Subangun, politik kita serupa pasar, di mana
semua pihak saling menjajakan dagangan, lalu saling barter.
Hal yang sama bisa ditafsir dari pertemuan antara Anies
Baswedan dengan Gibran Rakabuming Raka. Pertemuan menarik sebab Anies sempat
disebut seorang politisi sebagai anti-tesis Jokowi. Anies dianggap membawa
harapan baru sebab dianggap membawa langgam politik yang berbeda dengan Jokowi.
Pendukung Anies di media sosial adalah mereka yang sangat
kritis pada Jokowi. Banyak di antara mereka adalah pendukung Prabowo yang
kemudian tidak rela melihat jenderal itu menerima pinangan Jokowi untuk menjadi
Menteri.
Namun real politics Indonesia tidaklah sederhana melihat
perdebatan netizen di media sosial yang sibuk mempolarisasi. Para politisi sama
paham kalau politik memang harus mencari titik temu, bukan asal melempar benci
pada orang lain. Apa yang bisa ditafsirkan dari pertemuan Anies Baswedan dan
Gibran?
Pertama, pertemuan Anies Baswedan dan Gibran Jokowi bisa
dilihat dari logika pasar yang disebutkan Emannuel Subangun. Keduanya sama-sama
politisi yang coba memasarkan diri. Keduanya beririsan kepentingan.
Anies Baswedan menyadari benar kalau untuk memenangkan
pilpres, dia mesti bisa menggenggam Jawa. Titik lemahnya adalah tidak begitu
populer di kalangan pemilih dari latar etnik Jawa.
Kalimat “Jawa adalah koentji” masih relevan hingga sekarang.
Dia mesti sering mendatangi simpul-simpul peradaban Jawa, bertemu banyak elite
politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan mencari titik temu.
Dengan mendatangi elite politik Jawa Tengah bisa menjadi modal
kuat untuk mendatangi diaspora Jawa di seluruh Indonesia, yang jika bersatu
bisa memenangkan arena pilpres.
Dia mesti berlari lebih kencang untuk bisa sejajar dengan
Gandjar Pranowo yang sudah identik dengan pemilih basis etnik Jawa. Kekuatan
pemilih dari basis etnik Jawa ini sukses mengantarkan Jokowi memenangkan
kompetisi pilpres dua periode.
Kedua, Anies menyadari kalau ada sentimen negatif di kalangan
pendukung Jokowi terhadap dirinya. Ini terkait dengan polarisasi di DKI
Jakarta. Sentimen negatif itu harus dihilangkan dengan cara sering bertemu
mereka yang punya afiliasi langsung dengan Presiden Jokowi.
Anies tahu dia mesti berbaik-baik dengan Presiden Jokowi dan
pendukungnya, jika ingin menambah pundi-pundi dan bekal suara menuju arena
pilpres. Dia tidak mungkin hanya menjaga basis massa fanatiknya di DKI. Dia
harus lincah bergerak dan menemui banyak elite politik dan massa di berbagai
daerah.
Ketiga, negosiasi politik. Di zaman kerajaan, negosiasi akan
berjalan lancar jika Anda membawa persembahan, bisa berupa benda-benda
berharga, bisa pula dengan membawa putri raja untuk dinikahkan.
Anies paham logika ini. Dia tak mungkin datang ke Solo untuk
menemui Gibran jika tidak membawa satu tawaran. Banyak kalangan yang
memprediksi kalau Anies akan membuka ruang agar kartu Jokowi tetap hidup,
meskipun sudah tidak menjabat sebagai presiden.
Sebagaimana pemimpin di masa kerajaan, kepentingan Jokowi
adalah keberlanjutan dan kelanggengan dinasti. Dua hal tadi menjadi amunisi
bagi Anies untuk mendapatkan atensi dari Presiden Jokowi.
Banyak yang menduga, Anies akan menawarkan Gibran semua sumber daya untuk menduduki kursi DKI 1. Bagi kubu Jokowi, tawaran ini tentu tidak mungkin ditampik. Sebab dengan menduduki kursi DKI 1, maka satu kaki sudah memijak di arena pilpres. Dengan menjadi DKI 1, maka semua mata anak bangsa akan fokus mengawasi sehingga popularitas bisa dikatrol dengan cepat.
Jika tawarannya bersambut, maka keduanya bisa sama-sama
menangguk keuntungan. Jalan Anies ke kursi RI-1 akan semakin lapang. Jalan
Jokowi untuk menjaga napasnya di dunia politik melalui anak dan menantu juga
berjalan lancar, dan regenerasi kepemimpinan nasional juga bisa segera
berjalan.
Pilpres 2024 memang menarik. Sebab ini pilpres terakhir bagi
para pemain lama di jagat politik Indonesia. Ini pilpres terakhir bagi politisi
sepuh seperti SBY, Megawati, Jusuf Kalla, Surya Paloh, hingga Prabowo Subianto.
Pilpres ini adalah transisi untuk mempersiapkan generasi baru yang akan
mewarnai politik Indonesia masa depan.
Bagi kita, kalangan akar rumput, pilpres ini harus dilihat
sebagai tontonan menarik. Sebagaimana kata sosiolog Emannuel Subangun, politik
kita ibarat pasar di mana para politisi saling barter barang dagangan. Politisi
sibuk dagang sapi.
Makanya, tak perlu baper. Tak perlu tengkar. Tak perlu teriak-teriak
mendukung calon presiden hanya karena ideologi dan kesamaan visi. Lagi-lagi,
ini pasar buah di mana para politisi adalah pedagang yang mengklaimnya buahnya
terbaik, namun diam-diam isinya sudah busuk.
Kita menjadi penyaksi, yang diam-diam mencatat, sembari
memelihara harapan agar Ïbu pertiwi tidak sedang bersusah hati. Kita menjaga
agar agar air mata Ibu Pertiwi tidak semakin berlinang melihat anak bangsa
saling jegal demi kekuasaan.
0 komentar:
Posting Komentar