Semangkuk pallubasa itu dihidangkan di depan saya, di Warung Pallubasa Serigala, Kelapa Gading, Jakarta. Saya menghirup aroma yang amat akrab di hidung.
Saat mencobanya sesendok, pikiran saya melayang ke masa kecil, saat nenek menyajikan nasu wolio, olahan ayam khas Buton. Saya mengenali rasa kelapa goreng yang disanggrai. Hampir sama.
Pallubasa disajikan di mangkuk serupa coto makassar, tapi rasanya sangat beda. Jika coto makassar menggunakan bumbu kacang tanah yang dihaluskan, pallubassa menggunakan kelapa yang disanggrai.
Saat mencoba sesendok lagi, pikiran saya seakan terlempar ke Jalan Serigala, Makassar, hampir 20 tahun silam. Saat itu, saya harus antri di warung kaki lima demi menikmati pallubasa yang otentik. Setiap hari orang-orang antri demi mendapatkan seporsi kuliner nikmat berupa jeroan sapi yang empuk dan lembut di lidah.
Saya menatap pallubasa di hadapan saya. Seorang kawan pernah bercerita, dahulu pallubasa adalah kuliner murah milik rakyat jelata. Yang menikmati pallubasa adalah para pekerja, para buruh, kuli bangunan, tukang becak, dan mereka yang berpeluh keringat saat beraktivitas.
Mengapa murah? Sebab inti dari kuliner ini bikanlah campuran isi atau daging yang mahal-mahal. Bagian dari sapi yang membentuk semesta pallubasa adalah bagian yang tidak dibutuhkan oleh pemilik sapi.
Bagian itu diberikan pada pemotong sapi sebagai jatah atau upah (tawana papolonga). Biasanya adalah bakal susu (kandala po), baluta atau darah sapi. Baluta merupakan darah sapi yang saat disembelih, ditampung dalam batang bambu, kemudian dibekukan.
Bagian lainnya adalah payudara sapi, biji pelir sapi, usus lurus atau parru lambusu, latto-latto atau bagian daging yang bercampur dengan tulang rawan, dan gantungan jantung.
Daging yang tak diinginkan ini, kemudian diolah oleh para papolong atau pemotong sapi. Mereka menambahkan berbagai rempah serta bumbu kelapa goreng sehingga melahirkan kuliner yang otentik dan rasanya akrab di lidah.
Namun yang namanya rasa tak pernah bisa dibagi-bagi dalam kasta. Makanan yang tadinya murah, sontak menjadi buah bibir banyak kalangan. Kini, semua orang bisa mengonsumsi Pallubasa. Kuliner ini sudah bisa dinikmati di hotel berbintang, malah pernah tampil di ajang Indonesian Master Chef.
Saat hendak menyendok ketiga kalinya, sayup-sayup saya mendengar alunan musik jazz dari warung sebelah. Dahulu, jazz adalah musik khas pekerja Afro-American, yang dibuat di sela-sela kerja paksa. Musik menjadi ruang bagi para budak kulit hitam untuk sejenak melupakan getirnya hari-hari yang dijalani.
Saya membayangkan para papolong atau pemotong sapi yang menciptakan kuliner pallubasa ini. Mereka punya kreativitas setingkat dewa saat meramu bahan yang biasa ini menjadi kuliner hebat. Mengolah kuliner adalah ruang pelepasan, di mana mereka sejenak berekspresi dan mengeluarkan segenap daya cipta.
Biarpun hari ini pallubasa bersalin rupa menjadi kuliner khas di tempat mahal, bahkan berkelana hingga Jakarta, Singapura, Malaysia, juga Australia, tetap saja ada jejak keringat, aroma tubuh pekerja penuh keriangan, serta senandung saat mengolah hal sederhana.
Para maestro bukan mereka yang mengolah resep dengan barang mahal, tetapi mereka yang sentuhan jemarinya bisa mengubah hal biasa menjadi luar biasa. Kuliner bukan soal mewah tidaknya bahan, tetapi kejeniusan dalam mengolah bahan yang ada, memberinya sentuhan rasa, meninggalkan jejak abadi di lidah.
Kembali, saya hendak menyendok sesendok kuah pallubassa. Sayup-sayup ada suara Louis Amstrong yang suaranya serak-serak basah. Dia berkata: “And I think to myself. What a wonderful world.” Bagi orang kreatif dan berpikir damai, dunia akan selalu indah.
Tanpa
berpikir lagi, sesendok kuah Pallubasa masuk ke dalam mulut. Ada rasa bahagia
saat menikmati kuliner lezat ini. Ada berbagai kenangan yang hadir lalu
beranjak. Hmm… Nyamanna!
0 komentar:
Posting Komentar