“Imagination is more important than knowledge.”
Kalimat ini datang dari fisikawan besar Albert Einstein. Imajinasi dipupuk dengan mitos, dongeng, fiksi, juga sastra. Imajinasi lahir dari dongeng-dongeng pengantar tidur, dari kisah-kisah petualangan, juga dari jawaban mitos atas fenomena alam.
Sebagian orang menganggap imajinasi hanya menghabiskan waktu. Tapi lihatlah sejarah peradaban. Imajinasi selalu mendahului penciptaan sains. Sebelum manusia membuat pesawat, pernah ada orang yang mengkhayal tentang benda terbang yang dikemudikan manusia.
Tak semua orang mengenal siapa Jules Verne. Tapi banyak penemu dan ilmuwan yang mengidolakannya setinggi langit. Tahun 1800-an, dia sudah membuat berbagai novel dan fiksi sains yang menjadi kompas bagi ilmuwan.
Dia sudah berimajinasi tentang kapal selam listrik, luar module untuk menuju bulan, hingga pesawat ruang angkasa. Siapa sangka, semua imajinasinya perlahan diwujudkan oleh sains. Tak ada Jules Verne, tak ada banyak penemuan.
Beberapa hari lalu, Mark Zuckerberg mengumumkan tentang perubahan nama Facebook menjadi Metaverse. Zukckerberg bercerita tentang realitas virual, augmented reality yang akan dibangun oleh banyak ilmuwan hingga tahun 2025.
Mark membayangkan, akan ada satu dunia di mana semua orang berinteraksi di situ. Cukup memakai perangkat teknologi virtual reality, kita masuk ke dunia itu. Kita bisa memilih hendak memakai avatar apa, lalu bisa berinteraksi dengan avatar orang lain. Kita bisa jalan-jalan, memasuki gedung, atau malah mendaki ke Everest dengan avatar kita.
Dalam tuturan Mark Zuckerberg: “Di masa depan, Anda akan dapat berteleportasi secara instan sebagai hologram untuk berada di kantor tanpa bepergian, di konser dengan teman, atau di ruang tamu orang tua Anda untuk mengejar ketinggalan.”
Mark berbicara di saat yang tepat. Gara-gara pandemi, banyak orang yang bosan dengan kerja kantoran. Di Amerika, banyak anak muda memilih berhenti kerja kantoran, dan fokus kerja di rumah. Pandemi telah menyuburkan ideologi rebahan di kalangan anak muda kita. Mending kerja santai di rumah, bisa rebahan trus nonton Netflix.
Sepintas, apa yang disampaikan Mark bukanlah hal yang baru. Generasi 1990-an pernah memainkan game The Simps di mana mereka seolah masuk dalam game. Anak-anak sekarang memainkan Roblox di mana mereka berada dalam satu semesta.
Bedanya, dalam Metaverse, Anda masuk ke dalam dunia itu, berinteraksi, kenalan, belanja, bahkan bisa main seks. Hah? Dalam film Demolition Man, ada adegan seseorang memasuki dunia virtual lalu bertemu avatar gadis seksi.
Newsweek mencatat, imajinasi Mark sama persis dengan apa yang tertulis di dua fiksi terkenal yakni Snow Crash dan Ready Player One.
Snow Crash adaah novel bertemakan distopia yang terbit tahun 1992. Penulis fiksi Neal Stephenson bercerita tentang Metaverse sebagai ruang virtual bersama yang menghubungkan semua dunia virtual menggunakan internet dan augmented reality.
Augmented reality adalah teknologi yang menempatkan gambar yang dihasilkan komputer di atas pandangan pengguna tentang dunia nyata.
Sedangkan Ready Player One, yang sudah difilmkan dan disutradarai Steven Spielberg, menceritakan dunia di mana orang-orang setiap hari berinteraksi dalam game.
Hingga suatu hari, ada kuis atau tantangan, lalu semua orang berusaha memenangkan kuis. Lalu, ada pengusaha besar yang ingin menguasai semua semesta permainan lalu melakukan segala cara.
Dua novel fiksi ini menjadi kompas yang memandu Mark Zuckerberg dengan proyek Metaverse. Imajinasinya bisa merentang jauh dan ke mana-mana hingga mencipta satu dunia baru di mana semua orang bisa bertemu dan berinteraksi dengan kripto.
Tidak heran, di negara-negara maju, imajinasi dipupuk dengan sastra, dongeng, mitos, cerita rakyat, juga berbagai cerita petualangan. Membaca sastra dan fiksi sama pentingnya dengan belajar sains dan teknologi. Tanpa khayalan liar, tak lahir kisah-kisah mengenai penciptaan dan inovasi.
Di berbagai perpustakaan luar negeri, buku fiksi dan komik sama pentingnya dengan buku sains. Anak-anak diperkenalkan dengan fiksi. Imajinasi liar mereka dipupuk hingga bertunas, tumbuh, akarnya menghujam ke bumi, dahan dan rantingnya menjangkau mega-mega.
Benar kata Einstein, logika bisa membawa Anda ke A sampai Z. Tapi imajinasi bisa membawa Anda ke mana-mana.”
Di Jepang, membaca komik atau manga dianggap sama pentingnya dengan membaca ensiklopedi. Mantan Perdana Menteri Jepang Shizo Abe adalah penggemar komik. Selain untuk imajinasi, Jepang menjadikan komik, cosplay, dan anime sebagai penanda budaya.
Sayangnya, di negeri kita, fiksi dianggap rendah. Membaca novel dianggap menghabiskan waktu. Bahkan komik pun dihindari. Kisah superhero dianggap tidak berguna. Anak-anak diajari hafalan. Imajinasinya tenggelam.
Jika
saja imajinasi menjadi tolok ukur kemajuan bangsa, maka kita tertinggal jauh.
Lagi-lagi kita hanya jadi pemakai, bukan pencipta. Kita hanya pengekor.
1 komentar:
Sekarang, saya tidak tertarik hidup dalam metaverse.. tapi, mungkin dalam beberapa tahun mendatang, ketika semua orang sudah hidup dalam metaverse, maka besar kemungkinannya saya akan mengikuti perubahan itu
Posting Komentar