Kutukan PALA

 


Jika tak ada pala, tak bakal ada Indonesia, Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Tak bakal ada jejak bangsa Eropa di tanah Nusantara yang permai. Tak bakal ada kota-kota modern yang tumbuh pesat.

Aroma pala, tanaman yang hanya tumbuh di Pulau Banda itu, telah menggerakkan kapal-kapal layar bangsa Eropa untuk bertualang ke negeri yang jauh, menyerap hasil bumi, lalu jejaknya tercecer di berbagai pantai, lalu kota-kota.

Pala adalah penanda peradaban, sesuatu yang menghela kapal kapitalisme untuk berkelana ke negeri yang jauh, menyisakan kisah kejayaan dan kegemilangan, juga nestapa dan kesedihan.

Pernah pada satu masa, harga pala lebih mahal dari emas. Para penjelajah, mulai dari Vasco Da Gama, Ferdinand Magelhan, hingga Christopher Columbus mencari jalan menuju pulau penghasil pala.

Bagi orang Eropa, kisah tentang pala adalah kisah penaklukan dan kejayaan. Berkat pala, kota-kota mekar di Belanda. Perusahaan VOC menjadi perusahaan paling kaya dengan keuntungan berlipat.

BACA: Tunas Budaya yang Tumbuh dan Mekar di Jalur Rempah


Namun bagi kalangan pribumi, kisah pala adalah awal dari banyak kisah nestapa. Pala memicu sejarah genosida paling memilukan dalam sejarah, saat penduduk Banda dibantai dengan kejam oleh VOC di bawah perintah Jan Pieterszon Coen.

Buku-buku sejarah kita mencatat banyak hal penting terkait pala. Mulai dari kolonialisme, perjanjian antara Spanyol dan Portugis yang membagi bumi jadi dua, hingga pertukaran Manhattan dengan Pulau Run, pulau penghasil pala di Banda.

Sejarah pala seakan sudah berakhir. Padahal, berbagai tafsiran baru terus bermunculan.

Dua Buku

Sepekan ini, saya membaca dua buku menarik mengenai pala dan rempah-rempah. Buku pertama The Banda Journal yang dibuat Muhammad Fadli dan Fatris MF. Buku kedua adalah Nutmeg’s Curse yang ditulis Amitav Ghosh. Dua buku ini ibarat dua keping puzzle yang saling melengkapi.

Kita mulai dari buku pertama. The Banda Journal adalah kolaborasi antara naskah yang ditulis memikat oleh Fatris MF, dan foto-foto situasi terkini di Pulau Banda yang dihasilkan Muhammad Fadli.

Buku The Banda Journal


Saya membaui aroma petualangan di huku ini. Fadli dan Fatris punya ketekunan ala peneliti dan kepekaan para jurnalis. Mereka datang berkali-kali ke Banda, merekam banyak realitas, mendialogkan dengan banyak naskah, lalu menjerat realitas itu dalam naskah dan foto.

Hasilnya adalah kolaborasi yang mengasyikkan. Gaya menulisnya bertutur dan membawa kita untuk menyelam jauh ke masa silam Banda, perjumpaan dengan banyak pendatang, hingga situasinya kini yang memilukan.

Banda dipotret dari banyak sisi, mulai dari penaklukan, kejayaan, hingga masa kini yang kondisinya kian menyedihkan. Tak ada lagi jejak Banda sebagai pulau yang dahulu menjadi incaran semua korporasi besar internasional. Hari ini, Banda adalah satu titik di peta besar Nusantara yang hanya punya kisah masa silam, tanpa kisah masa kini dan masa depan.

The Banda Journal memotret dinamika yang terentang beberapa abad, yang kemudian dikemas dengan gaya menulis ala etnografi. Kita menemukan timbunan kisah dan teks-teks masa silam yang dijalin dengan pengamatan mendalam di masa kini.

Sedangkan buku Nutmeg’s Curse atau Kutukan Pala ditulis dengan sama memikatnya. Amitav Ghosh menulis buku ini saat pandemi tengah menghantam New York. Dalam cekaman ketakutan akan pandemi, dia membuka lembaran catatan lapangan yang ditulisnya semasa berkunjung ke Banda, tahun 2016 silam.

Menurut Amitav Ghosh, kisah pala belum berakhir. Justru pala adalah titik awal untuk memahami bagaimana perubahan iklim, kerusakan ekologis, serta krisis di masa kini. Kehancuran ekologi dimulai dari pandangan manusia yang melihat alam sebagai obyek dan sasaran eksploitasi.

Sebelum abad ke-18, pala hanya berasal dari sekelompok pulau vulkanik kecil di timur Nusantara, yang dikenal sebagai Kepulauan Banda. Saat menyebar ke seluruh dunia, pala menjadi sangat berharga.

Di Eropa abad ke-16, hanya segelintir yang bisa membeli rumah. Berkat pala, para pedagang Eropa menjadi penakluk dan penjajah. Masyarakat di daerah jajahan harus membayar mahal untuk mendapatkan akses ke komoditas berharga ini.

Amitav Ghosh berpendapat, nasib berdarah Kepulauan Banda memperingatkan ancaman bagi kita saat ini. Lintasan kekerasan di pulau penghasil pala itu  mengungkapkan pola pikir kolonial yang membenarkan eksploitasi kehidupan manusia dan lingkungan alam.

Kutukan Pala memaparkan argumen kalau dinamika perubahan iklim saat ini berakar pada tatanan geopolitik berabad-abad yang dibangun kolonialisme barat. Makanya, rempah-rempah, seperti pala, harus diletakkan sebagai jantung yang mengubah peradaban, mendorong manusia untuk mengeksploitasi alam demi mengejar kekayaan, lalu menyisakan nestapa bagi aman dan masyarakat lokal.

Pencarian rempah lalu eksploitasi punya dampak panjang hingga masa kini, saat tatanan bumi mulai dihantam isu perubahan iklim.

BACA: Suatu Hari di Perbatasan Papua New Guinea


Bagi Ghosh, krisis hari ini adalah hasil dari pandangan mekanistik tentang alam semesta. Cara berpikir ini yang menjelaskan sejarah panjang kolonialisme hingga berdampak pada kerusakan ekologis dan krisis yang dihadapi manusia hari ini.

Saya sepakat dengan Ghosh. Jika hendak ditelusuri lebih jauh, akar dari cara berpikir ini terletak pada lahirnya sains sebagai mercusuar baru peradaban manusia. Semuanya bermula dari pandangan tentang manusia sebagai pusat yang berpikir, dan alam sebagai obyek yang dipikirkan.

Saat nabi rasionalisme Rene Descartes mengatakan Cogito Ergo Sum atau “aku ada karena aku berpikir,” saat itulah manusia menganggap dirinya sebagai pusat. Alam semesta tidak punya kesadaran. Hewan tidak punya hak hidup. Manusia merasa punya otoritas untuk mengelola alam dan melakukan eksploitasi.

Dunia Pasca-Pandemi

Hari ini, dunia sedang tidak baik-baik saja. Setelah pandemi Covid-19, manusia akan berhadapan dengan berbagai krisis yang lain, yang semuanya berpangkal pada ketidakseimbangan ekologis.

Kita perlahan membabat hutan lalu memburu hewan liar. Kita tidak menyadari kalau akan ada titik di mana virus yang tadinya aman dalam tubuh hewan liar itu menjalar ke manusia. Kita menjadi korban dari keserakahan dan ketamakan kita memandang alam.


Sesuai membaca dua buku ini, saya terkenang ucapan John Keay, penulis buku The Spice Route. “Sejarah dipenuhi paradoks. Tapi tidak ada yang sedahsyat kisah eksplorasi bumi yang diwakili perburuan rempah.”

Kutukan pala itu terus berlanjut. Kita sedang berdiam di bumi yang rapuh, yang pernah menjadi saksi dari kehancuran ekologis akibat perdagangan pala. Bumi juga menjadi saksi dari berbagai angkara kejayaan yang jejaknya terasa hingga kini.

Kita adalah anak cucu yang dikutuk. Kelak, anak cucu kita akan mencatat upaya kita keluar dari kutukan, juga jalan kita lepas dari nestapa. Entah berhasil apa tidak, yang pasti bukan hanya pala yang mengutuk kita, tapi semua tumbuhan dan hewan liar.

 




0 komentar:

Posting Komentar