Liverpool tidak hanya punya legenda bernama Mo Salah. Liverpool ibarat rahim yang pernah melahirkan jenius besar di dunia musik yakni The Beatles. Popularitasnya bertahan selama beberapa dekade, menghadirkan revolusi dalam musik, juga menjadi penanda British Invasion ke seluruh dunia.
Di Disney Hosttar, dokumenter terbaru tentang The Beatles tayang sejak 25 November 2021. Judulnya adalah Get Back. Semua fans grup musik ini di seluruh dunia menyambut film dokumenter karya Peter Jackson ini dengan gemuruh.
Selama dua hari, saya menyaksikan serial dokumenter yang terdiri atas tiga episode ini. Peter Jackson mengolah berbagai rekaman video The Beatles yang tersembunyi dari publik selama lebih 50 tahun.
Memang, di masa kini, ada banyak nama musisi hebat, mulai dari BTS, Adele, Lady Gaga hingga Ed Shreean. Tapi generasi 1960-an hingga 1980-an lebih diberkati. Generasi ini merasakan hingar-bingar musik berkualitas dari para dewa-dewa yang selalu abadi.
The Beatles berada di singgasana para dewa musik sejak tahun 1960-an. Grup ini hanya bisa disaingi, namun tak pernah digantikan. Anak muda Liverpool menjadi penanda invasi budaya pop hingga seluruh dunia, masa di mana kapitalisme merambah musik sehingga selera pun ikut dipengaruhi.
Film dokumenter ini kembali menghangatkan semua nostalgia dan ingatan tentang grup musik ini. Film ini mengajak penonton untuk flashback ke sesi rekaman The Beatles pada Januari 1969, yang menjadi momen penting dalam sejarah musik. Mereka menjalani latihan demi latihan serta menulis 14 lagu baru sebagai persiapan konser live pertamanya dalam lebih dari dua tahun.
Dokumenter ini menjernihkan berbagai isu atas band legendaris ini. Konon, mereka pisah karena Yoko Ono sering merecoki latihan band ini. Konon, ada ego besar di antara mereka sehingga sulit berdamai. Bahkan banyak yang berspekulasi mengenai keretakan antara Paul McCartney dan George Harrison.
Kita bisa melihat panggung belakang The Beatles di mana mereka berkolaborasi untuk tampil di satu hajatan besar. Di sini, mereka bukan lagi empat anak muda berponi dari Liverpool yang menginvasi musik dunia.
Mereka adalah empat pria dewasa yang sudah punya pasangan masing-masing, dan berkumpul kembali untuk latihan musik demi tampil di hadapan publik. Mereka tampil apa adanya, bukan untuk show, tetapi sisi mereka yang paling orisinil.
Sisi inilah yang membuat dokumenter ini
terasa istimewa. Kita melihat bagaimana karakter mereka di belakang panggung,
yang fokus bekerja, memainkan lagu-lagu lama yang tidak pernah tampil ke
publik, juga sesekali saling bercanda.
Mereka menjadi manusia biasa, yang berkumpul untuk satu tujuan bersama. Mereka adalah empat jenius yang coba untuk meredam ego demi penampilan terbaik. Meskipun sejumlah pihak menyebut keretakan di antara mereka mulai menjalar, mereka tetap tampil profesional.
Saya kagum dengan militansi mereka dalam bekerja. Mereka tak terlihat lelah dan non-stop terus latihan. Sebagai penonton, kita seakan dimanjakan saat emndengar beberapa lagu yang terasa akrab di telinga.
Saat melihat mereka bekerja, saya teringat catatan Malcolm Gladwell dalam buku Outliers. Katanya, tak ada sukses yang jatuh dari langit. Semua kesuksesan muncul dari kerja keras dan militansi untuk selalu menghasilkan yang terbaik.
Dia mencontohkan The Beatles. Ada masa di mana The Beatles melakukan perjalanan ke Hamburg antara tahun 1960 dan akhir tahun 1962. Di masa itu, bar-bar di Hamburg, Jerman, kerap membawa musisi dari Liverpool. Mereka tampil di bar-bar yang menyajikan tarian erotis.
Pemilik bar punya konsep untuk membawa pemusik, yang bermain non-stop, berjam-jam lamanya, untuk mencegat orang yang keluar masuk. The Beatles bermain selama delapan jam sehari, tanpa dibayar. Mereka melakukannya selama tujuh hari dalam seminggu. Selama hampir dua tahun, mereka tampil seperti itu.
Gladwell memperkirakan, The Beatles telah naik panggung sebanyak 1.200 kali sebelum menggapai ketenaran. Mereka ditempa di hadapan pengunjung bar, belajar dari tatapan cuek orang-orang, belajar meracik berbagai jenis aliran musik, hingga menemukan sisi terbaik mereka di dunia hiburan.
Sepulang dari Hamburg, mereka lebih disiplin dan lebih fokus dalam bermusik. Mereka bekerja keras saat latihan dan berpengalaman tampil hingga ribuan kali. Pada saat mereka mencapai kesuksesan pada tahun 1964, mereka telah tampil live sekitar 1.200 kali, sesuatu yang jarang digapai banyak grup musik hari ini.
Bagi Gladwell, The Beatles adalah contoh dari kesuksesan yang lahir dari kerja keras dan semangat tak kenal menyerah.
Sedikit berbeda dengan Gladwell, saya melihat kesuksesan The Beatles adalah kombinasi dari kejeniusan, serta ekosistem yang mendukung. Jika saja Paul dan John tak sering bersama latihan musik saat pulang sekolah, tak bakal lahir grup revolusioner itu. Jika saja, tak ada ekosistem musik dan atmosfer yang mendukung, John Lennon hanya berakhir sebagai buruh di pelabuhan kota Liverpool.
Kita tak bisa mengabaikan sisi paling jenius dan paling kreatif dari band ini. Semua personelnya punya sisi terbaik yang berhasil dikeluarkan melalui kerja-kerja kolektif dan latihan bersama.
Berkat film dokumenter Get Back, kita mengenang kembali grup musik luar biasa, yang memulai sejarah dari kota kecil Liverpool ini. Kita mendapat pelajaran penting, mereka adalah manusia biasa yang memulai semuanya dari berpijak di bumi.
Inspirasi dan kreativitasnya seakan berasal dari langit. Namun, mereka adalah sosok yang kakinya memijak di bumi. Sebagai manusia biasa, mereka mudah marah saat disakiti, mudah tertawa saat melihat tayangan media yang membahas mereka, juga sesekali memegang ego dan tak mau kompromi.
Sebagai dokumenter yang merekam aktivitas secara diam-diam, serial ini tak bisa dipaksa untuk memberikan jawaban atas banyak hal. Saya penasaran dengan proses kreatif lahirnya banyak lagu abadi dari grup musik ini. Saya ingin tahu mengapa John Lennon begitu realis, Paul optimis, dan George yang spiritualis.
Namun, tak mungkin menjawab pertanyaan hanya dalam tiga episode dokumenter. Saya yakin nama band ini akan abadi dalam sejarah. Dia masih akan dikenang hingga ratusan tahun mendatang.
Ibarat sungai, The Beatles adalah sungai tak pernah berhenti mengalir. Bukan saja dalam hal inspirasi, tapi juga dalam barisan renungan dan kesan seusai mendengar liriknya yang kuat.
Seusai
menyaksikan documenter ini, saya menonton konser legendaris The Beatles saat
tampil di atap Gedung. Di situ, ada lagu Don’t Let Me Down yang dinyanyikan John
Lennon dengan suara melengking. Saya suka syairnya:
I'm in love for the first time
Don't you know it's gonna last
It's a love that lasts forever
It's a love that had no past
Don't let me down
Don't let me down
1 komentar:
Grown up with the Beatles songs like I Want to Hold your Hand and Hey Jude .. love them ❤️❤️❤️
Posting Komentar