Jembatan Kasih ANTONIUS di Dua Negara


Antonius Anton (foto: Mancious)

Di tengah prasangka antar negara di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, lelaki bernama Antonius Anton, itu tetap setia bergerak di lintas batas. Dia merawat silaturahmi dan hubungan antara dua warga negara melalui kuliner yang dihasilkannya.

Dia mengolah rasa yang kemudian meninggalkan jejak di lidah banyak orang di dua negara. Melalui rasa, dia merawat perdamaian.

***

Siapa bilang memasak adalah aktivitas perempuan? 

Kalimat itu meluncur dari bibir Anton, demikian dia bisa disapa, saat saya menemuinya di kantor Yayasan Mitra Tani Mandiri (MTM) di Kefa, Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat berbicara, kalimatnya pelan dan tertata. Tuturnya lembut. Dia seorang bapak dengan lima anak yang tak saja jago masak, tapi juga mengemasnya menjadi produk yang dijual.

Anton adalah warga Desa Napan, salah satu titik yang berbatasan langsung dengan Oesilo di Repubik Demokratik Timor Leste (RDTL). Dia dikenal memiliki tangan dingin. Segala hal bisa dikemasnya menjadi makanan dan minuman, kemudian dijual.

Dia membuat minuman yakni anggur jahe dan anggur kulit pisang yang laris manis. Popularitas anggur buatannya ini bergema hingga Timor Leste. Pelanggannya di mana-mana. Padahal anggur hanyalah satu dari banyak produk yang dihasilkannya. Dia juga membuat kripik labu, sambal, permen asam, hingga berbagai jenis jamu.

Baca: Perempuan Timor Leste yang Mengubur Dendam

“Di antara semuanya, yang paling laris adalah anggur kulit pisang dan anggur jahe. Setelah itu, minyak kemiri, permen asam, jamu temu lawak. Pelanggan saya tersebar hingga Timor Leste,” katanya.

Anton kerap melintasi perbatasan demi memasarkan anggur dan berbagai produk kuliner. Di Desa Napan, dia menjual anggur itu dengan harga 15 ribu rupiah per botol. Tapi saat dijual di luar desanya, harganya naik jadi 25 ribu rupiah sebab botol itu akan disegel, diberi cap, dan disterilisasi.

“Tapi kalau di Timor Leste, anggur ini dijual sampai 2 dolar 50 sen. Kalau ditukar dengan rupiah, maka bisa dapat 35 ribu rupiah,” katanya. 

Mata uang yang dipakai di Timor Leste adalah dolar Amerika Serikat. Makanya harga-harga menjadi lebih mahal dibandingkan desa-desa perbatasan di Indonesia. Itu juga menjadi sebab mengapa banyak penyelundupan terjadi. Harga BBM di Timor Leste adalah 3 dolar atau sekitar 35.000 rupiah, sementara di Indonesia harganya sedikit di atas 10 ribu rupiah.

Tapi, Anton menjaga pasokan barang di Timor Leste. Dia hanya menitipkan dagangannya ke mitra-mitranya di sana. Dia tak ingin terlibat konflik dengan pedagang lokal di sana. Kini, beberapa pelanggannya datang ke Napan untuk membeli langsung di warungnya.

Baca: MAMA SINTA yang Bangkit dari Kesedihan

Kemampuan Anton tak didapatkan secara otodidak. Dia belajar cara membuat anggur dari pelatihan yang sering dikutinya. Dia pernah mengikuti pelatihan yang diadakan sejumlah NGO, Pemerintah Provinsi NTT, hingga pelatihan yang diadakan lembaga internasional, seperti UNDP. 

Dia juga mengajarkan warga desa lain bagaimana membuat anggur kulit pisang. Menurutnya, semua pisang bisa diolah jadi anggur, tapi rasanya beda-beda. Terbaik adalah pisang ambon. “Sebab kulitnya mudah patah, cairan minyaknya mudah keluar. Itu paling bagus di antara semua pisang,” katanya.

Selanjutnya, kulit pisang dibersihkan, diambil, terus dicincang. Setelah itu direbus dan diambil sarinya, kemudian dicampur sari kecambah kacang ijo yang bisa dibeli di pasar. Setelah itu, dicampur lagi dengan gula pasir, ragi roti, dan asam nitrat. “Tahapan berikutnya adalah fermentasi,” ujarnya.

*** 

SUARANYA mendadak pelan dan parau saat membahas kerusuhan dan konflik di Timor Leste pada tahun 1999. Dia sudah mulai berdagang sejak tahun 1992 sehingga mengenal banyak orang di sana. Dia menjadi saksi dari banyaknya orang tewas hingga warga desa yang eksodus besar-besaran ke wilayah Indonesia.

“Saat itu saya menampung 50 orang pengungsi. Bayangkan, rumah saya yang sempit itu ditinggali banyak orang,” katanya menerawang.

Anton tidak melihat ada perbedaan antara warga Napan dan Oesilo. Mereka punya satu budaya, berkeluarga, serta sama-sama berbahasa Dawan. Yang membedakan mereka hanyalah pilihan politik dari para pemimpinnya. 

“Waktu lari, mereka tidak bawa apa-apa. Hanya pakaian di badan. Seminggu setelah keadaan aman, baru mereka balik. Yang bertahan ikut saya ada empat keluarga. Mereka tinggal di rumah saya sampai dua tahun,” ujarnya.

Setelah beberapa waktu, dua kepala keluarga kembali ke Oesilo, wilayah Timor Leste. Dua keluarga lainnya tetap di sini. “Saya kasih tanah, mereka buat rumah. Pengungsi lain di sini pindah ke pengungsian di kilo enam,” lanjutnya. 

Kata Anton, tak mudah bagi warga Oesilo untuk bertahan di Napan. Di sana, penghasilan warganya kebanyakan dari membuat sopi, sejenis arak. Mereka juga beternak sapi. Sementara di Napan, kebanyakan orang berladang.

Baca: PETRUS POT yang Merawat Damai

Saya terkenang pada Jose Benu, seorang bapak asal Oesilo yang dulunya datang sebagai pengungsi. Dia juga kesulitan beradaptasi dengan kebiasaan berladang orang Napan. Tapi seiring waktu dan bantuan dari banyak lembaga, kini dia bisa sukses mengelola kebun sayuran di tengah embung bersama puluhan keluarga lainnya.

Anton mengajak para pengungsi itu untuk berladang bersama warga desa lainnya. Dia membentuk kelompok tani bernama Suka Maju. Jumlah anggotanya adalah 20 orang. Mereka lalu berkebun dan menanam sayuran, kemudian hasilnya dipasarkan. 

Seusai bercerita, dia memperlihatkan setoples sambal yang dijualnya seharga 25 ribu rupiah. “Semua bahan-bahannya diambil dari kebun sendiri. Kami menanam, memanen, kemudian menjualnya lagi dalam berbagai produk,” katanya. 

Dia juga memperlihatkan madu yang dipasarkan oleh kelompok taninya. Bahkan dia juga memperlihatkan kain tenun yang dibuat istrinya. Dia bercerita dengan penuh kebanggaan kalau semua bahan tenun itu diambil dari alam sehingga tidak luntur.

Saya menatap Anton dengan penuh kekaguman. Dia sosok yang penuh talenta dan produktif melahirkan banyak hal. Idenya tak habis-habis. Dia bisa mengolah hal sederhana menjadi luar biasa. Dia adalah aset penting yang menopang ekonomi desa, menginspirasi orang lain untuk berbuat lebih.

Kontribusinya mungkin tak seberapa jika dilihat dalam skala ekonomi. Tapi inisiatif dan motivasi yang diberikannya adalah sesuatu yang tak ternilai di tengah masyarakat yang sering tidak peduli pada sesamanya. Dia mengolah rasa nikmat yang bisa lintas negara, menjadikannya identitas bersama, serta membuat banyak orang terhubung.

Baca: JOSE BENU, Petani yang Selalu Bergerak

Perjalanan saya ke desa perbatasan ini menjadi perjalanan penuh inspirasi. Pada diri Anton, saya temukan pelajaran penting bahwa tak perlu sekadar deklarasi untuk menyatakan damai demi keluar dari konflik. Tapi perlu satu tindakan kecil yang dilakukan bersama, dan bisa memberi efek pada komunitas. 

Perlu ada individu-individu dengan hati yang bening dan visi terentang ke masa depan, mengubah konflik menjadi sesuatu yang produktif, sesuatu yang baik, dan sesuatu yang memberdayakan.





0 komentar:

Posting Komentar