Laba-Laba Bukalapak

 


Bukalapak akhirnya melantai di bursa saham, 6 Agustus lalu. Sejak pagi, saya berusaha untuk membeli secara eceran. Dapat sih, tapi tidak banyak. Main recehan. Tak ada artinya dibandingkan 96.000 investor lain yang berebut membeli saham. Semua antusias mengikuti IPO unicorn asal Indonesia itu.
Media lebih tertarik dengan hal2 sensasional. Misalnya, kekayaan Ahmad Zaky yang bertambah 1 triliun dalam sehari. Benar-benar wow. 
 
Bagi saya, Bukalapak bukan sekadar marketplace atau pasar. Bukapalak adalah ide-ide, kreativitas, juga kecerdikan.
 
Pernah, seorang kawan terheran-heran mengapa Bukalapak bisa begitu kaya. Padahal tidak bangun mal atau pusat bisnis. Tidak sibuk cari pelanggan. Bahkan tidak punya barang.
 
Bukalapak hanya membangun rumah di internet. Dia hanya siapkan ruang. Para penjual berdatangan memenuhi lapak. Pembeli berdatangan bak laron mengerumuni sumber cahaya. Semua transaksi berlangsung kasat mata.
 
Semua terjadi di dunia maya. Kita tak melihat ada tawar-menawar. Tapi perlahan, duit Ahmad Zaky bertambah bak sungai mengalir deras. Dia hanya duduk-duduk di rumah, tapi cuan terus berdatangan.
Bagaimana memahami model bisnisnya? Saya pikir perumpamaan paling tepat adalah membandingkan cicak dan laba-laba.
 
Kita mencari duit seperti cicak. Kita keluar di pagi hari, sibuk menangkap mangsa, malamnya kembali ke rumah. Besoknya kita melakukan hal yang sama. Kita adalah karyawan, pegawai, staf, personalia, admin, atau anak buah
 
Kita ibarat ambtenaar atau pegawai di masa kolonial Belanda yang berpakaian seragam jas putih, dan topi besi ala mandor, lalu petantang-petenteng di tengah masyarakat. Kita merasa keren, apalagi orang-orang menatap segan. Saat melamar anak orang, kita begitu bangga menyebut diri sebagai karyawan.
 
Sementara pendiri Bukalapak mencari duit seperti laba-laba. Dia tidak menangkap mangsa. Dia menghabiskan waktu untuk membangun jaring atau net, setelah itu menunggu mangsa yang terjerat satu demi satu. Dia tak perlu keluyuran ke mana-mana. Cukup tidur-tiduran. Mangsa yang berdatangan.
Laba-laba membangun sistem, yang kemudian bekerja untuknya. 
 
Di dunia bisnis, karakter laba-laba bisa dilihat pada pemilik bisnis, agen asuransi, para pembuka lapak, investor, dan pemilik usaha. Mereka berdarah-darah saat membangun sistem, setelah itu bisa berleha-leha siang malam.
 
Tapi, jangan berkecil hati. Kita yang pegawai dan karyawan punya sedikit kebanggaan. Kita punya seragam, baju dinas, baju safari, hingga jas yang dipakai saat pelantikan.
 
Di titik ini, kita lebih gagah dibandingkan pemilik Bukalapak yang harus bersusah payah mengejar klien dan pelanggan. Lihat, saja, pemiliknya selalu pakai baju kaos, mirip Mark Zuckerberg.
Bagaimana pun juga, jadi cicak lebih keren. Punya lidah panjang untuk menangkap mangsa. Bisa pula dipakai menjilat ke atasan. Iya kan?

0 komentar:

Posting Komentar