Menenun DAMAI di Perbatasan Indonesia - Timor Leste


seorang ibu sedang menyiram kebun di Desa Napan, perbatasan Indonesia dan Timor Leste

Di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, terdapat banyak kisah-kisah mengharukan tentang para perempuan yang memelihara perdamaian. Mereka mengalami masa lalu yang kelam, berusaha menyembuhkan trauma, kemudian bangkit dan menyebarkan perdamaian.

Lewat aktivitas bertani, berdagang, dan menenun, mereka menyebar benih perdamaian dan menatap masa depan yang lebih benderang.

***

Hari itu, Chrispina Taena kembali melintasi perbatasan. Perempuan yang setiap hari berdagang di Pasar Tono, di Distrik Oecusse, Timor Leste ini datang ke Desa Napan di wilayah Indonesia untuk menghadiri undangan pernikahan.

Perempuan yang usianya 50-an tahun ini tidak pernah merasa sebagai orang asing di Desa Napan. Dia lahir dan besar di desa ini. Dia meninggalkan desa ini sejak menikah dengan lelaki asal Oesilo di Distrik Oecuse. Dia pun pindah demi mengikuti suami ke Oesilo. Pada masa itu, Oesilo masih bagian dari Timor Timur, provinsi ke-27 di Indonesia.

Tapi sejak Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia dan menjadi Republik Demokratik Timor Leste, perempuan yang disapa Mama Krista ini ikut menjadi warga negara. Pada waktu tertentu, dia tetap sering melintasi perbatasan.

Dia tak perlu harus membawa paspor. Dia cukup membawa kartu Pos Lintas Batas Perbatasan (PLBP) yang memberinya akses untuk datang ke Indonesia selama 10 hari. Dia datang untuk berbagai keperluan.

Selain menghadiri undangan pernikahan sebab penduduk Napan dan Oesilo masih berkerabat, dua juga sering datang untuk membeli sayuran dan buah-buahan. Dia menjual semuanya di Timor Leste.

Desa Napan terletak di Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa ini bisa dijangkau dengan menggunakan mobil dari Kupang, Ibukota Provinsi NTT, sejauh 200 kilometer. Perjalanan ke desa ini bisa menempuh waktu lima jam, setelah sebelumnya melintas Kefamenanu, Ibukota Kabupaten Timor Tengah Utara.

Bagi Mama Krista, garis yang memisahkan kedua negara hanya garis politik. “Kita bisa beda negara, tapi kita tetap bersaudara,” katanya dengan tersenyum. Sebagaimana halnya banyak penduduk lain, Mama Krista sering melintasi perbatasan untuk meramaikan aktivitas ekonomi.

embung yang dikelilingi kebun warga di perbatasan

Secara fisik, Desa Napan terlihat lebih berkembang dari Oesilo. Jalan-jalan di Napan terlihat mulus. Sedangkan di Oesilo, jalan-jalan tampak berbatu dan tidak diaspal. Penduduk Napan menyuplai semua kebutuhan pokok ke Oesilo, mulai dari produk pertanian, perkebunan, hingga kebutuhan sehari-hari lainnya. Sementara komoditas dari Oesilo yang masuk ke Napan hanya ternak dan sopi atau tuak lokal. Itu pun, ternak hanya masuk pada saat tertentu. Sopi dari Oesilo dikenal murah dan banyak.

Hampir semua penduduk di desa perbatasan mengenal Mama Krista sebagai sosok yang ramah dan ceria. Dia selalu menyapa semua orang. Dia pun senang bercanda. Ke mana pun dia datang, banyak orang yang senang dengannya. Dia terlihat selalu gembira. Dia tidak pernah kehabisan topik pembicaraan.

Namun jika dia ditanya tentang peristiwa berpisahnya Indonesia dan Timor Leste di tahun 1999, dia segera menjadi sosok yang berbeda. Dia langsung terdiam, kemudian perlahan terisak dan menangis. Dia sangat sedih saat mengingat peristiwa kelam yang dialaminya.

Pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor Leste memilih untuk merdeka dari Indonesia dalam sebuah referendum yang disponsori PBB. Setelah referendum, milisi pendukung kemerdekaan dan militer Indonesia bertempur sehingga ribuan orang menjadi korban. Sejumlah ahli memperkirakan ada 300.000 orang yang mengungsi ke Timor Barat.

Mama Krista masih mengenang dengan jelas peristiwa itu. Dia masih ingat rumah-rumah di desanya terbakar. Dia suatu pagi, dia mendengar banyak teriakan-teriakan yang menyuruh warga untuk berlarian. Dia langsung keluar rumah untuk mencari perlindungan. Dia mendengar suara tembakan serta melihat banyak mayat di jalan-jalan.

BACA: Sowing Seeds of Peace

Mama Krista berlari sekuat tenaga. Dia berlari sambil menggendong anaknya Riki, yang saat itu berusia lima tahun. Dia tidak menyadari kalau anaknya sedang sakit parah hingga akhirnya meninggal dunia. Ketika dia tahu, dia berhenti berlari dan menangis sekeras-kerasnya.

Saat itu, dia tak bisa terus-terusan menangis. Dalam situasi yang mencekam, dia harus berlari untuk menyelamatkan diri. Bersama warga lainnya, Mama Krista berlari sekencang-kencangnya. Dia menembus hutan bersama warga lain. Dia menerobos lintas batas demi bergabung dengan tenda-tenda pengungsi di Desa Napan.

Bulan-bulan pertama dilaluinya dengan kesedihan. Kehilangan anak adalah kehilangan segala-galanya. Selama ini aktivitasnya hanya untuk anaknya. Dia memulai hari saat melihat senyum anaknya. Sebelum tidur, dia masih melihat senyum anaknya.

Baginya, senyum anaknya adalah kompas kehidupan yang membuatnya kuat melalui semua tantangan seberat apa pun. Ketika kompas kehidupan itu pergi, dia merasa hampa. Dia kehilangan segalanya. Selama sebulan, hidupnya bergantung pada bantuan berbagai lembaga internasional. Semuanya terasa berat baginya.

Pada satu titik ketika air matanya mengering, dia mulai bangkit. Dia berpikir tak ada gunanya tenggelam dalam kesedihan. Dia bisa kehilangan masa lalu, tapi dia tak boleh kehilangan masa kini dan masa depan.

Dia tak ingin tenggelam dalam sedih. Dia bergerak.  “Kalau saya sedih terus, bagaimana saya bisa hidup? Riki memang sudah pergi. Tapi saya masih hidup. Saya harus rawat kehidupan,” katanya.

Dia mulai berjualan. Warga Desa Napan mengulurkan bantuan baginya. Semua menyadari bahwa ini bukan konflik antar warga. Konflik ini didesain oleh sejumlah orang yang tak rela melihat situasi politik berubah. Saat situasi aman, dia kembali ke Oesilo dan memulai semuanya dari nol.

Mama Krista seorang pejuang tangguh. Berbekal bibit tanaman dari satu lembaga internasional, dia mulai menanam. Dia tahu bahwa hanya dia yang menanam, yang kelak akan memanen. Dia menggerakkan ibu-ibu lainnya untuk menanam lalu memanen, kemudian menjualnya ke pasar terdekat.

Tak cuma menanam. Dia juga menenun. Dia membentuk kelompok yang beranggotakan lima perempuan untuk menenun di rumahnya. Dia menenun berbagai kain-kain khas Timor yang indah. Beberapa pewarna menggunakan pewarna alam. Bahkan benangnya menggunakan kulit kayu.

Dia tak pernah malu dan tak pernah merasa tua untuk belajar. Ketika UNDP menggelar pelatihan untuk meningkatkan kemampuan bertani, dia amat gembira. Dia penuh antusias saat mendapat kesempatan untuk belajar pada petani di Desa Napan, Indonesia. Dia belajar pada petani lain, dia pun bagikan pengetahuannya.

Mama Krista mengubur semua dendam. Dia tidak melampiaskan dengan kebencian dan sikap memusuhi satu orang atau satu komunitas. Dia melepaskan dendam itu dengan menjalani aktivitas menanam dan menenun. Dia membakar semua belukar dendam itu dengan embun kasih dan kecintaan pada manusia lainnya.

Mama Krista mengubah bara dendam menjadi embun kasih sayang. Dia mengasihi alam dan mengasihi manusia. Dia melihat masa lalu dengan pikiran terang. Dia membingkai masa kini dengan kebaikan dan cinta.

Dia menatap masa depan dengan penuh optimis. Penuh bahagia. Penuh ceria. Penuh damai.

The Rising Phoenix

Mama Krista tidak sendirian. Rekannya Yasinta Colo juga mengalami kesedihan yang sama. Di tahun 1999, perempuan yang dipanggil Mama Sinta itu berlari ke hutan di tengah desingan peluru. Saat peluru mengenai pamannya, dia tak sempat menangisi kematian itu. Dia harus terus berlari.

“Saya menangis lihat bapak kecil atau paman kena peluru. Waktu itu, laki-laki dan perempuan lari terpisah. Laki-laki yang banyak ditembak. Dia ikut perempuan karena mengira akan lebih aman. Ternyata dia yang kena peluru,” katanya sembari terisak.

Yasinta Colo

Dalam situasi yang penuh ancaman, Mama Sinta tak bisa membawa jenazah pamannya. Jenazah itu lalu disimpan di dekat tebing. Lokasinya ditandai. Dia bersama perempuan-perempuan lainnya berlari dan menembus perbatasan. Mereka lalu menjadi pengungsi di Desa Napan.

Dampak dari konflik tahun 1999 itu menimpa seluruh lapisan masyarakat. Banyak laki-laki yang meninggal. Banyak pula perempuan yang harus menanggung sedih di pengungsian. Selama berbulan-bulan, mereka hidup di pengungsian dan menerima bantuan lembaga internasional.

Tapi sebagaimana halnya Mama Krista, Mama Sinta juga tidak ingin larut dalam kesedihan. Dia memang bersedih saat mengingat peristiwa traumatik serta keluarganya yang meninggal. Namun dia sadar bahwa kesedihan itu tidak akan mengembalikan semua keluarganya. “Saya pikir saya harus bangun. Saya harus bergerak. Kalau tidak, mau makan apa,” katanya.

BACA: Mama Sinta yang Bangkit dari Kesedihan

Mama Sinta mulai membeli kebutuhan sehari-hari di Desa Napan yakni seperti beras, minyak goreng, bensin, hingga sayuran. Dia nekat melintasi perbatasan untuk berdagang. Dia tahu bahwa warga Timor Leste sedang membutuhkan banyak hal.

Pada saat itu, perbatasan masih dijaga ketat. Mama Sinta lalu berkomunikasi dengan cara membenturkan batu sehingga menghasilkan irama tertentu. Dia menyapa rekannya di Timor Leste agar datang membeli barangnya. Mereka berkomunikasi dengan isyarat agar memudahkan transaksi, tanpa sepengetahuan pihak militer.

Perempuan Timor Leste memiliki kemampuan hebat dalam hal bangkit dari kesedihan. Mereka bisa cepat melupakan tragedi dan menatap masa depan yang lebih baik. Mereka lebih tangguh dari lelaki padahal mereka adalah pihak yang paling menderita. Konflik dan peristiwa kelam tidak membuat mereka kehilangan semangat hidup.

Kisah Mama Krista dan Mama Sinta mengingatkan pada burung phoenix yang saat terbakar dan menjadi debu bisa terlahir kembali sebagai phoenix yang baru dan lebih kuat. Mereka menjadikan tragedi sebagai sesuatu yang memberi mereka kekuatan untuk tetap hidup dan bertahan demi keluarga.

Bersama para lelaki, mereka ikut bekerja dan memastikan semua kebutuhan keluarga terpenuhi. Mereka bukan tipe perempuan yang hanya tinggal di rumah saja, sebab mereka memasuki ruang publik. Mereka bekerja keras dan melakukan berbagai pekerjaan bersama para lelaki.

Mereka berdagang, menenun, bertani, dan mencukupi nafkah keluarga. Mereka pun menjadi pilar di rumah yang menyembuhkan trauma dan memberikan motivasi kepada semua anggota keluarga agar tetap bangkit dan berusaha.

Mereka juga menjadi agen perdamaian di perbatasan serta selalu mengingatkan orang-orang kalau batas negara bukanlah sesuatu yang harus memisahkan. Batas negara harus dilihat sebagai peluang untuk tetap menjaga persaudaraan dan persahabatan, serta saling berjejaring di lapangan ekonomi.

Namun, perdamaian tidak akan mungkin bisa terjadi jika hanya diinginkan satu pihak. Benih perdamaian akan bisa tumbuh jika semua pihak memiliki komitmen yang sama untuk tetap saling memanusiakan dan menghargai.

Burung phoenix tidak akan menjadi burung hebat jika sendirian. Dia didukung oleh lingkungan yang bisa menjadi lahan gembur bagi pengembangan potensinya.  Mama Krista dan Mama Sinta bisa menjadi agen perdamaian karena dukungan kuat dari lingkungan kedua negara, baik itu masyarakat, budaya, agama, juga upacara adat.

***

Bapak itu datang dengan mengenakan pakaian adat. Dia memakai sarung tenun dan ikat kepala. Dia singgah menemui beberapa warga yang sedang bersiap-siap menggelar upacara adat. Dia akan memimpin upacara adat dan berdoa kepada leluhur. Bapak itu adalah Petrus Pot.

Sebagai tetua adat, dia tidak hanya bertugas di Napan dan desa-desa sekitar di wilayah Indonesia. Dia juga memilin upacara adat di Oesilo dan desa-desa lain di distrik Oecuse, Timor Leste. Petrus ibarat payung harus memayungi semuanya.

Petrus Pot adalah pemimpin adat sekaligus rohaniwan Katolik. Dia bekerja di gereja Katolik untuk melayani umat. Tapi saat ada upacara adat, dia memimpin ritual untuk memberikan persembahan kepada nenek moyang. “Saya menjalankan peran keduanya,” kata Petrus.

saya sedang mewawancarai Petrus Pot

Penduduk Napan dan Oesilo relatif homogen. Mereka memiliki budaya dan menjalankan ritual yang sama. Mereka memiliki nama belakang atau marga yang saling berkerabat. Di sini, terdapat enam sub-suku atau marga besar, yakni: (1) Kefi, (2) Siki, (3) Nule, (4) Eko, (5)  Kolo, (6) Oki. Ikatan ini masih kuat dan dipertahankan masyarakat.

Kata Petrus, upacara adat masih menjadi hal yang penting di masyarakat. Jika ada warga yang tidak hadir, suatu saat warga juga tidak akan datang ke rumahnya jika diundang mengikuti upacara adat. Upacara adat itu menjadi tali temali yang menjaga solidaritas warga agar tetap kuat.

Petrus bercerita pengalamannya saat konflik di tahun 1999. Dia sangat sedih saat melihat banyaknya pengungsi dari Distrik Oecuse yang datang ke Desa Napan. Sebagai pemuka adat, dia melihat semua orang sebagai kerabat. Apalagi, mereka punya budaya dan bahasa lokal yang sama.

BACA: Petrus Pot yang Merawat Damai

Dia ikut menampung semua pengungsi di gereja. Dia berusaha menenangkan pengungsi, khususnya perempuan, yang mengalami trauma. Dia pun mempersiapkan pesta adat yang bisa menjadi ajang rekonsiliasi bagi semua pihak yang menjadi korban. Pesta adat itu dinamakan Tfua Ton yang digelar setiap tahun.

Saat pesta adat itu, Petrus mengundang semua pihak untuk membawa makanan dan minuman. Petrus membaca doa dalam bahasa lokal yang berisi pesan-pesan agar semua pihak tetap menjaga kedamaian.  Dia menyebut filosofi “Aifa Ben Neke, Sus Pet Bijae” yang dalam bahasa Dawan bermakna “Kami siap memangku dan menyusui siapa pun yang datang dan membutuhkan bantuan.” Filosofi ini berlaku di kedua wilayah.

Petrus menjadi agen budaya yang mempromosikan perdamaian. Di lapangan budaya, dia mempertemukan semua pihak sebagai sesama warga yang sama-sama menginginkan perdamaian. Dia menggelar ritual yang tujuannya agar semua orang menyadari bahwa mereka berasal dari rahim yang sama sehingga musibah yang dialami satu pihak adalah musibah bersama.

Selain budaya, ada dua arena lain yang bisa memfasilitasi dialog-dialog antar warga.

Pertama, arena ekonomi. Mereka yang menjadi korban konflik sama-sama kehilangan pekerjaan, padahal dalam kehidupan sehari-hari, mereka saling terhubung dalam satu mata rantai ekonomi.

Warga Desa Napan lainnya Brigitta Siki bercerita tentang bagaimana dirinya berdagang se’i atau kuliner Oecuse. Dia membangun rantai kerja sehingga produk yang dibuatnya bisa dijual di Oekuse sehingga dirinya memiliki banyak konsumen.

Brigitta kini bergerak di sektor Usaha Kecil Menengah (UKM). Dagangannya selalu laris dan ditunggu-tunggu warga. “Saya menyediakan pasokan daging, kemudian dipasarkan di kios-kios yang ada di sana,” katanya.

Area perbatasan memang menyimpan potensi ekonomi yang hebat. Sejak dulu, warga Napan dan Oesilo memang sudah terikat dalam satu mata rantai perdagangan. Kerja sama antar warga berkembang sejak konflik. Mereka saling membutuhkan sebab sama-sama menginginkan kehidupan yang lebih baik. Mereka membangun simbiosis mutualisme.

Jose Benu, salah seorang petani

Kedua, arena pertanian. Mayoritas warga di perbatasan adalah petani. Dialog-dialog dan relasi antar warga juga terjadi di lapangan pertanian. Para petani di dua negara itu membentuk kelompok tani yang kemudian saling belajar dan saling meningkatkan kapasitas.

Jose Benu, seorang petani di Desa Napan, bercerita, dia melupakan semua trauma kerusuhan ketika sedang menanam. Baginya, menanam ibarat meditasi yang membantunya melepaskan diri dari semua masalah yang terjadi di masa lalu. Dia menemukan aktivitas produktif yang berguna untuk konsumsi keluarga, juga bisa dijual untuk meningkatkan kesejahteraan.

Setahun terakhir, UNDP datang dan membantu masyarakat perbatasan untuk mengembangkan komoditas agar bisa laris di pasaran sehingga mengangkat ekonomi warga. Brigitta adalah salah seorang pelaku UKM yang diberangkatkan ke Malang untuk belajar pengelolaan kuliner. Dia berangkat bersama beberapa rekannya sesama pelaku UKM agar bisa menyerap hal baru demi pengembangan produknya.

UNDP juga membantu petani untuk mengembangkan produk hortikultura yakni sayuran sehat. Para petani di perbatasan diajari bagaimana membudidayakan sayuran sehingga bisa mencukupi kebutuhannya serta dijual ke pasar-pasar. Pendapat per kapita masyarakat masih rendah yakni Rp 500.000 per bulan untuk setiap kepala keluarga.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menunjukkan, pertanian dan perkebunan adalah sektor yang paling banyak menyerap lapangan kerja di Napan. Jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) adalah 257. Dari jumlah itu, 136 RTP memiliki lahan lebih dari satu hektar, 97 RTP memiliki lahan dengan luas antara 0,5 hingga 1 hektar.

Data penduduk yang bekerja di sektor pertanian lebih banyak dari mereka yang bekerja di sektor perdagangan dan industri. Jumlah pelaku industri yang hanya 28 orang, juga pemilik usaha perdagangan hanya ditekuni 44 orang.

Artinya, pertanian dan perkebunan adalah nadi utama dari kehidupan warga Desa Napan. Dengan mengembangkan pertanian dan perdagangan, warga di perbatasan akan hidup lebih baik. Mereka beruntung karena di masa pemerintahan Presiden Jokowi, embung dibangun sehingga warga bisa berkebun di sekitarnya. Mereka menanam sayuran, buah-buahan, serta berbagai kacang-kacangan.

UNDP juga mempertemukan para petani di dua negara itu dalam satu platform kerja sama yang menguntungkan. Para petani mengorganisir dirinya dalam berbagai kelompok, kemudian merencanakan program menanam bersama, serta mengembangkan kapasitas. Mereka saling mengunjungi dan saling memberi masukan.

Saat sama-sama belajar di lapangan, segera terlihat kalau tidak ada yang superior di antara mereka. Semuanya sama-sama belajar dan berkembang bersama. Bahkan mereka juga menggelar upacara adat bersama-sama untuk mensyukuri semua capaian.

Sekuntum Pembelajaran

Mereka yang pernah ke perbatasan Indonesia dan Timor Leste pasti pernah menyaksikan bunga-bunga gamal (gliricidia sepium) bermekaran. Di tengah tanah yang tandus dan kering, bunga gamal tetap mekar sehingga membawa kesegaran dan menghadirkan pemandangan indah.

Bunga gamal ini mewakili realitas yang sedang terjadi di sana. Di tengah situasi yang kering-kerontang, selalu ada harapan yang mekar, selalu ada yang memberikan kesegaran, selalu ada yang membuat hari-hari lebih berwarna.

bunga gamal yang bermekaran

Seusai konflik, tunas-tunas baru bermunculan dan kini mulai memberikan buah. Banyak perempuan hebat yang bisa bangkit dari trauma, bisa segera recovery dan kini mulai membawa harapan bagi peningkatan kesejahteraan keluarga.

Dalam situasi krisis, sejumlah individu sering bertindak sebagai peace-builder yang mendamaikan situasi. Mereka memperkuat institusi dan kelembagaan di masyarakat sehingga menjadi fundasi pijak yang kuat untuk rekonsiliasi dan perdamaian.

Mama Krista, Mama Sinta, Petrus, hingga Brigita Siki adalah masyarakat yang menjadi peace-builder melalui aktivitas ekonomi produktif. Mereka adalah aktor perdamaian yang menggunakan metode komunikasi, persuasi, dan mediasi sehingga banyak kelompok masyarakat bisa menyembuhkan traumanya melalui kegiatan produktif yakni menenun, menanam, dan berdagang.

Pelajaran penting di perbatasan Indonesia dan Timor Leste adalah perlunya kerja sama dan peran serta dari banyak pihak untuk sama-sama membangun situasi yang aman dan tenang. Perdamaian bukanlah sesuatu yang hanya dikerjakan dari atas, tetapi harus tumbuh dari bawah dan mendapat dukungan kuat dari semua masyarakat.

Perdamaian adalah situasi yang lahir dari kerja sama banyak aktor di grass root yang pernah mengalami situasi penuh konflik, sehingga berharap tidak ada lagi konflik serupa di masa mendatang. Semua pihak diharapkan melakukan kerja sama yang sifatnya lintas negara, lintas politik, lintas budaya untuk membangun transformasi ekonomi dan rekonsiliasi pasca-konflik.

Sejak tahun 1992, istilah peace-building menyebar ke seluruh dunia sejak Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali memperkenalkan peace-building sebagai agenda perdamaian. Mulanya, definisi ini hanya terbatas pada upaya mengakhiri konflik, peacemaking, dan peacekeeping.

Selanjutnya, istilah peace-building menjadi lebih berkembang sebagai upaya dari berbagai aktor, baik pemerintah ataupun masyarakat sipil, untuk mengatasi dampak dan sebab konflik, kemudian membangun situasi yang damai pasca-konflik.

Bentuk konkrit dari peacebuilding adalah tindakan pembangunan kembali daerah-daerah yang mengalami hancur akibat terjadinya konflik. Untuk mempercepat peacebuilding dilakukan identifikasi pada modal sosial yang dapat digunakan untuk memperkuat dan mempersolid perdamaian untuk menghindari agar tidak terjadi suatu konflik.

Di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, modal sosial yang menjadi perekat aktivitas semua warga adalah modal budaya, modal ekonomi, solidaritas sesama koban konflik, dan rasa saling percaya. Modal sosial ini memberikan kekuatan pada masyarakat untuk mencegah kekerasan terjadi di masa mendatang, serta munculnya solidaritas untuk saling membantu.

Modal sosial ini mesti dikenali sehingga pembangunan bisa berjalan dengan lebih terarah. Lembaga internasional dan pemerintah lokal bisa memperkuat modal sosial ini sehingga pembangunan bisa lebih efektif dan menyentuh target masyarakat yang membutuhkan sentuhan pembangunan.

Peacebuilding merupakan fase penting untuk pemulihan pasca konflik. Hal-hal yang dilakukan pada fase peacebuilding ini meliputi pemulihan kembali perekonomian, pembangunan kembali sarana pendidikan, kesehatan, jalan, dan sarana-sarana lain yang rusak akibat perang.

“Kami ingin damai, bukan perang. Karena kami semua di sini bersaudara. Kami sama-sama percaya berkah nenek moyang akan selalu hadir kalau kami saling menjaga. Kami ingin sama-sama maju dan berkembang,” demikian kata Petrus Pot.

Desa Napan menjadi saksi dari para perempuan dan lelaki hebat yang sama-sama menenun kain perdamaian untuk disematkan kepada dunia. Desa ini menyimpan banyak kisah tentang peace-builder yang menyembuhkan trauma dan menatap masa depan dengan hati penuh riang gembira.



1 komentar:

Unknown mengatakan...

Semoga keinginan timor leste utk gabung di ASEAN terwujud

Posting Komentar