Selamat Jalan Jakob Oetama


Saya masih ingat persis ketika pertama tugas sebagai jurnalis di satu kantor media di Jalan Palmerah, Jakarta. Saya diminta menghadiri acara di Bentara Budaya Jakarta. Pak Jakob Oetama (JO) akan memberikan sambutan. 

Saya membayangkan Pak JO seperti pejabat yang membaca sambutan di atas selembar kertas. Saat dia bicara, saya terkesima. Dia seseorang berusia sepuh yang kenyang asam garam kehidupan. Kalimatnya pelan, tapi sangat bertenaga, dan mengiang-ngiang di pikiran.

Waktu itu, gempa baru saja terjadi Yogya. Bencana itu mengejutkan sebab semua orang tidak menyangka akan terjadi. Semua orang malah fokus ke Merapi yang sebelumnya batuk-batuk.

Pak JO berbicara singkat. “Saat semua orang fokus pada ketinggian, ternyata yang datang adalah gempa di Bantul sana. Itulah kehidupan. Kita hanya fokus pada apa yang ramai dan diperbincangkan. Kita melihat ketinggian, tapi lupa dengan bumi, laut dan lembah,” katanya.

Saya melihat Pak JO seperti begawan yang tenang dan penuh pengetahuan. Dia adalah sosok yang tidak tergesa-gesa. Dia telaga yang tenang. Dia bukan tipe yang menggedor dan menghantam kiri kanan. 

Jurnalisme yang dikembangkannya adalah jurnalisme damai yang merangkum semua masukan dengan santun. Jurnalisme yang diperkenalkannya pernah dikritik sebagai jurnalisme kepiting.

Saat ada bahaya di depan, dia memilih mundur. Dia memikirkan nasib perusahaan yang menjadi ladang hidup ribuan karyawan dan keluarganya.

Di titik ini, dia berbeda dengan PK Ojong, pendiri Kompas lainnya yang serupa Soe Hok Gie berani melawan pemerintah. Tahun 1978, pemerintahan rezim Soeharto meminta media itu untuk tanda tangan persetujuan untuk tidak mengkritik pemerintah. PK Ojong menolak. Pers tidak boleh diintervensi. Kritik adalah bagian dari kemerdekaan.

Tapi JO justru tanda tangan. Dia memilih untuk menyelamatkan perusahaan dan ribuan karyawannya. Tidak boleh mengkritik bukan berarti tidak ada jalan. Justru, JO leluasa bergerilya dalam rimba raya kata-kata, bermain dengan maksud dan makna, serupa penari ronggeng yang mencolek dan menyentil, lalu kembali menari dengan anggun.

Ini pula yang menjelaskan mengapa Kompas tetap bertahan dan menjadi raksasa media. Sepeninggal PK Ojong, dia tetap setia di jalur jurnalisme makna yang cerdas dan melihat sisi terdalam setiap peristiwa.

Hari ini, Kompas menjadi raksasa perusahaan media. Kantor dengan menara berbentuk pena berdiri di Palmerah, tampak gagah dilihat dari Senayan. Kompas bukan lagi sekadar menjadi raksasa media, tetapi juga masuk ke lini usaha toko buku, penerbitan, perhotelan, hingga televisi. Semuanya adalah warisan Pak JO.

Hari ini saya mendengar kabar kepergiannya. Manusia bisa fana, tetapi warisannya dalam berbagai lembar-lembar aksara dan media akan selalu mengabadikan dirinya. Dia menjadi ingatan yang abadi dan akan selalu dikenang.

Selamat jalan Pak JO.


0 komentar:

Posting Komentar