Mulanya saya tak percaya. Dee atau Dewi Lestari, penulis dan sastrawan idola banyak anak muda, diberitakan menulis non-fiksi. Bukan jenis non-fiksi mengenai perjalanan atau sains. Bisa dibilang, yang ditulis adalah “buku proyek”, tentang pengusaha UMKM di bawah binaan Yayasan Dana Bhakti Astra (YDBA).
Saya penasaran untuk membacanya. Bagi saya, kekuatan Dewi adalah bisa menuturkan sesuatu dengan sederhana dan sangat memikat. Diksinya khas. Dia bisa bikin pembacanya deg-degan dan tidak berhenti membaca bukunya hingga lembaran terakhir. Wajar saja jika dia diidolakan banyak orang.
Sebelum jadi penulis, dia lebih dulu populer sebagai penyanyi bersuara merdu. Cantik pula, makanya dia sempat disebut pelopor sastra wangi. Dia juga penulis skenario film yang diambil dari novelnya Perahu Kertas.
Di dunia menulis, dia adalah sosok yang tidak mungkin dipenjarakan dalam satu genre atau kategori. Ibarat kuliner, Dewi menyajikan menu dan rasa yang selalu berbeda. Dia beda dengan Andrea Hirata yang hanya menulis tema-tema masa kecilnya di Belitung.
Dewi suka mencoba hal baru. Dia menulis berbagai genre, mulai dari science fiction hingga kisah cinta yang romantis.
Sayang, dia tak lagi menjadi blogger yang produktif. Padahal, saya menyenangi catatan-catatan ringannya di blog. Dia melihat sesuatu dari cara pandang yang berbeda. Saya ingat, dia pernah mengkritik kelas menulis yang hanya berisi panduan menulis.
Padahal kata Dewi, ada satu sumur menulis di mana semua orang bisa menimba airnya. Yang dibutuhkan hanya timba dan tali panjang. Yang dibutuhkan bukan teknik, tapi bagaimana mengeluarkan air ide-ide lalu menyalurkannya dalam wadah yang tepat.
dapat tanda tangan di halaman awal |
Buku terbarunya Rantai Tak Putus: Ilmu Mumpuni Merawat UMKM Indonesia (terbitan Bentang Pustaka) adalah karya non-fiksi mengenai para pengusaha usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) yang sukses di bawah binaan YDBA.
Di halaman 8-9, Dewi bercerita dengan jujur awal keterlibatannya dalam penulisan buku ini. Mulanya, dia bertemu pengurus YDBA yang menjelaskan visi misi lembaga, serta nilai-nilai yang ditransfer ke para pengusaha. YDBA menggelar diklat, membuat Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB), dan melakukan pendampingan.
Pihak YDBA berharap agar kisah-kisah pendampingan yang mereka lakukan tidak hanya berakhir menjadi laporan, melainkan bisa dikonsumsi oleh publik. Mereka ingin kisah itu menyebar ke mana-mana. Mereka butuh satu figur publik yang punya pembaca banyak sehingga kisah-kisah itu bisa viral. Dewi adalah orang yang dianggap tepat untuk itu.
Sayang sekali, karena Dewi tidak terbuka berapa bayarannya. Andai dia sebutkan, pasti banyak penulis yang akan iri. Hehehe.
Yang menarik, dia diberi kebebasan untuk mengembangkan bahan menjadi tulisan. Saya yakin inilah hal yang membuatnya bersedia menulis. Dia tidak didikte dan diarahkan, tetapi bebas menentukan desain buku itu.
Dia memilih dari tepian. Bukan dari perspektif pengurus YDBA, tetapi dari sisi pengusaha yang mendapatkan manfaat dari program itu. “Urgensi cerita tidak bisa dipaksakan. Ia harus hadir secara organik, tidak disematkan atau dijejalkan,” katanya.
Dia mulai dari kisah manusia sebagai subyek, bukan sebagai sasaran program. Dia mendatangi bengkel, warung, dan toko. Dia berinteraksi dengan para pengusaha kecil, membangun kedekatan, setelah itu mulai menulis kisah-kisah itu. Dia mencatat personal history dari setiap pengusaha. Dia merekam detail-detail, mulai dari dekorasi, suasana, hingga deskripsi tentang tempat usaha.
Ketika membuka buku ini, saya suka dengan judul-judul yang menggoda. Misalnya “Metalurgi Cita, “Seniman Besi”, Setangguh Baja Selembut Merpati”, “Mendayung Bersama”, hingga “Rantai Tak Putus.” Isinya juga menarik sebab mengisahkan perjalanan seorang pengusaha, from zero to hero. Kisahnya serupa tokoh-tokoh dalam Supernova yang berjuang untuk membangun UMKM dari nol.
daftar isi |
Di beberapa bagian, saya temukan pembuka tulisan berupa kisah-kisah dalam mitologi setempat. Misalnya pada bab mengenai Semangat Iban, dia memulai dengan mitologi Iban, kemudian masuk ke cerita masa kini.
Mengapa judulnya Rantai Tak Putus? Untuk menggambarkan bagaimana ilmu atau pengetahuan menjadi penggerak dari satu mata rantai kerja. Rantai Tak Putus menggambarkan kerja-kerja yang tak berkesudahan.
Yang menggerakkan program bukanlah dana, yang ketika dihentikan maka rantai akan putus. Tapi pengetahuan, pendampingan, dan niat untuk tumbuh dan maju berkembang bersama. Untuk itulah, kerja-kerja melakukan fasilitasi dan pendampingan menjadi penting sebab menjawab apa yang dibutuhkan oleh pengusaha kecil.
Bagi sebagian orang, pendekatan Dewi ketika menulis buku ini mungkin dianggap baru. Namun bagi yang terbiasa dengan dunia riset sosial, khususnya dalam tradisi riset kualitatif, pendekatan ini sudah lama dilakukan.
Bahkan bagi mereka yang melakukan riset etnografis, sekadar perjumpaan tidak cukup. Anda mesti tinggal lebih lama di satu lokasi demi merasakan langsung denyut nadi kehidupan di satu tempat, mengumpulkan data dari sebanyak mungkin orang, melakukan pengamatan mendalam sebagai partisipan, lalu melakukan wawancara mendalam (depth interview).
Pendekatan serupa banyak dilakukan para jurnalis yang menekankan pada turun lapangan sebagai kegiatan news gathering (mengumpulkan berita), investigasi, lalu memperkaya fakta lapangan menjadi liputan yang menarik. Kalau sering baca National Geographic, kita lihat bagaimana realitas dirangkum dan dibingkai dengan menarik.
Yang dilakukan Dewi di buku ini baru sebatas perjumpaan sejenak, kemudian mencatat semua kesaksian. Di beberapa bagian, saya merasa terlalu fiksi. Kurang membumi. Andaikan dia tinggal lebih lama, kita akan temukan nuansa yang lebih kaya. Bukan semata kisah keberhasilan, tetapi juga kisah kegagalan, serta kritik pada pengelola program yang sering kali memosisikan partisipan sebagai sasaran atau output kegiatan.
Sebab yang namanya pengamatan, kan tidak selalu hal yang baik-baik saja. Justru sering kali kita temukan hal-hal pahit yang membuat kita lebih bijaksana dan membuat rekomendasi perbaikan-perbaikan di masa mendatang. Kita tak mungkin menolaknya, tetapi bagaimana memperlakukannya sebagai tantangan untuk diatasi.
Para pengelola program pemberdayaan dan pendampingan selalu dituntut untuk berpikir fleksibel. Formula pada satu komunitas belum tentu efektif pada komunitas lain. Makanya, mereka selalu berusaha menyerap semua kenyataan dengan jernih, menerima sisi baik dan sisi buruk setiap program, lalu merancang program yang lebih berdaya di masa depan.
saat jumpa Dewi di Solo, beberapa waktu lalu |
Dalam pandangan saya, buku ini adalah perjumpaan awal yang isinya keterkejutan atau ketakjuban seorang pendatang (outsider) saat bertemu dengan subyek atau informan yang hendak diamatinya. Makanya, hal-hal sederhana bersama informan bisa tampak luar biasa.
Namun, tentu saja buku ini punya banyak sisi baik. Di antaranya adalah kita bisa mengetahui bagaimana perjumpaan dengan semua pengusaha kecil, yang dalam banyak kebijakan pemerintah sering hanya disebut berupa angka statistik.
Kita bisa merasakan apa yang mereka hadapi, serta rintangan untuk tumbuh dan berkembang. Dalam setiap kisah-kisah itu ada banyak pembelajaran dan hikmah yang membuat kita menatap kenyataan lebih jernih.
Bahwa menjadi pengusaha tidak semudah Aladdin mengusap lampu dan make a wish, tetapi ada proses yang tidak mudah, kerja-kerja kreatif, juga keberanian untuk menerobos tantangan. Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa mengubah tantangan menjadi peluang, mengubah kekalahan menjadi kemenangan.
Saya kira demikian. Tabik!
0 komentar:
Posting Komentar