Salah Kaprah Kampanye Digital

Ilustrasi

Di satu kafe di Jatinangor Bandung, saya bertemu dengan lelaki itu. Dia menjadi kandidat kepala daerah di Kabupaten Bandung. Dia bercerita tentang ruang gerak kampanye yang terbatas di masa Covid. Dia pun kini merambah media sosial.

Saya memintanya menunjukkan aset digital yang dia miliki. Dia memperlihatkan akun media sosial yang dia kelola bersama tim. Baru melihat 10 postingan, saya sudah bisa memastikan kalau akunnya sepi dari pantauan netizen. Dia lemah di media sosial.

Dia cukup produktif. Tapi postingannya tidak cukup mengenai sasaran. Ibaratnya dia melempar produk, namun tidak mendapat respon memadai. Dia melangkah dalam sepi di tengah hingar-bingar massa yang berjejalan di semua kanal digital.

Dulu, pertarungan ide berlangsung di mimbar-mimbar kampanye, rapat terbuka, pengerahan massa, roadshow keliling daerah, baliho dan spanduk, serta aksi-aksi lapangan. Kini, teritori pertarungan akan banyak bergeser di internet, khususnya media sosial. 

BACA: Laskar Digital untuk Menang Pilkada


Generasi milenial tidak mau didikte di kampanye terbuka yang menghadirkan artis dangdut. Generasi ini lebih suka duduk di rumah atau warung kopi, dengan laptop dan gadget di tangan. Mereka suka berselancar di media sosial dan memantau apa yang terjadi di situ. Ketika mereka menyukai satu figur di situ, maka mereka akan tetap memilih figur itu di dunia nyata.

Eric Schmidt, salah seorang bos Google, telah meramalkan fenomena ini. Katanya, dunia sekarang terbagi dua yakni dunia nyata dan dunia maya. Masing-masing dunia punya warga yang beraktivitas. 

Kata Eric, ada kecenderungan semua pemilik rumah di dunia nyata ingin membangun rumah di dunia maya yang luas dan tak bertepi. Jika Anda tak punya website, rumah, avatar, atau akun di media sosial, maka Anda tidak eksis. Anda tidak dikenal. 

Yang menarik, kata Eric Schmidt, semua perilaku di dunia nyata akan dipengaruhi oleh dinamika wacana di dunia maya. Dalam konteks politik, apa saja yang menjadi wacana di media sosial, pasti akan mempengaruhi wacana di dunia nyata. Itu sudah terjadi di banyak momen politik di tanah air. 

Banyak politisi yang masih bertahan dengan pandangan lama. Mereka tidak membuka mata kalau media sosial bisa membawa pengaruh. Kini, saat Covid menyerang dan interaksi serba terbatas, mau tak mau mereka harus merambah media sosial. Mereka laksana orang yang baru berjalan dan tertatih-tatih di dunia baru ini.

Beberapa tim medsos hanya merekrut mantan jurnalis, tanpa membekali tim itu dengan kemampuan riset, membaca trending topic, serta strategi menyiapkan konten. Yang terjadi, akun-akun digital itu produktif, tetapi minim engagement atau interaksi dengan publik.

Strategi Kampanye Digital


Sejauh yang saya amati, ada banyak salah kaprah di kalangan politisi yang baru memasuki media sosial.

Pertama, banyak yang mengira dunia medsos akan sama dengan dunia nyata. Jika di dunia nyata dirinya seorang tokoh di mana semua orang akan sopan dan hormat, maka dia berharap hal yang sama akan berlaku juga di dunia maya.

Pernah saya bertemu seorang politisi yang amat benci dengan media sosial. Dia kesal karena apa yang dibagikannya tidak ditanggapi orang lain, sementara orang biasa lainnya malah justru bisa jadi seleb medsos. Politisi ini kesal karena orang-orang menyapa dan memberi komentar yang dianggapnya merendahkan. Dia tak suka dipanggil Om atau Bro. Dianggapnya itu merendahkan. 

Di media sosial, orang memang tak boleh baper. Kalau gampang marah, maka sebaiknya jangan masuk rimba media sosial. Di situ, semua orang bebas bicara dan komentar apa saja sepanjang itu masih dalam batasan etika netizen. 

BACA:  Perang Robot untuk PILKADA


Politisi ini tidak paham kalau di media sosial, semua orang berposisi sama. Tak ada identitas yang pasti di situ. Tak ada istilah usia dan status sosial. Malah orang bisa memilih berbagai foto dan avatar, kemudian menyebut itu dirinya. 

Orang bisa saja mengaku laki-laki atau perempuan. Semua orang punya ruang yang sama untuk saling sapa dan berinteraksi. Siapa yang paham interaksi medsos, akan lebih disukai banyak orang.

Jangan juga mengira popularitas Anda di dunia nyata akan berlaku sama di media sosial. Itu sih keliru besar. Di media sosial, semua orang sama. 

Yang disukai adalah pihak yang bisa mencerahkan, memberi inspirasi, dan memperlakukan semua orang lain secara wajar dan berinteraksi. Anda tak bisa menuntut orang lain untuk menanggapi semua postingan Anda hanya karena Anda orang hebat di dunia nyata. 

Kedua, banyak orang yang mengira media sosial gampang dikuasai. Dipikirnya, cukup rajin posting, maka dirinya akan populer. Biarpun Anda bikin postingan sampai lebih dari sepuluh dalam satu hari, tidak ada jaminan Anda akan populer. 

Belum tentu orang akan menyukai apa pun yang Anda bagikan. Di media sosial, semakin sering postingan Anda disukai dan dibagikan, maka popularitas Anda akan semakin besar. Demikian algoritma media sosial bekerja.

BACA: Digital Storytelling untuk Pilkada


Jangan juga kaget melihat seorang “anak kemarin sore” tiba-tiba jadi seleb di media sosial. Padahal, postingannya biasa-biasa saja. Palingan hanya kegiatan sehari-hari. Kok bisa populer? Sebab anak kemarin sore itu tahu siapa pengikutnya di media sosial. 

Dia kenali siapa pasarnya dan bisa menyediakan konten yang sesuai dengan kebutuhan pasarnya itu. Dia bisa membaca pasar, lalu menampilkan karakter dirinya sesuai dengan yang dibutuhkan pasar. Dia tahu cara memenangkan wacana di media sosial.

Setahu saya, tak ada cara instan di media ini. Bahkan ketika kita membayar untuk sponsor dan iklan facebook, tetap saja tak ada jaminan apa yang kita tulis akan disukai dan dibagikan, jika kontennya memang tidak menarik. Artinya, hal terpenting untuk dikelola adalah konten. Semakin menarik, maka semakin besar potensi untuk disukai dan dibagikan.

Popularitas di media sosial tidak diukur dari berapa banyak posting. Bukan juga dari berapa banyak biaya yang kita keluarkan. Popularitas selalu terkait dengan seberapa jauh kita bisa menyentuh hati orang lain, seberapa dalam kita membuka wawasan, serta meninggalkan jejak di hati orang lain. Langkah ini jelas tidak mudah. Orang-orang butuh proses yang perlahan-lahan hingga akhirnya menjadi tetes air yang bisa menembus batu.

Ketiga, banyak politisi yang menjadikan media sosial hanya sebagai ruang untuk pencitraan saja. Sebenarnya, tak ada masalah dengan pencitraan sebab semua orang melakukannya. Pada titik tertentu, pencitraan akan positif jika menyentuh hati publik.

Tapi pencitraan akan jadi negatif ketika dilakukan terlalu sering sehingga menimbulkan kebosanan publik. Contoh yang bisa diangkat di sini adalah iklan kampanye Aburizal Bakrie yang begitu massif di stasiun televisi. Pada satu waktu, iklan ini tidak mengundang simpati, tetapi antipati sebab terlalu sering tampil sehingga publik bosan.

Pencitraan itu juga memosisikan seseorang seperti malaikat. Sejauh yang saya amati di media sosial, orang-orang lebih suka figur yang otentik dan apa adanya. Anda tak perlu menampilkan hal hebat. Cukup ide-ide atau gagasan biasa, tapi itu menggambarkan apa yang menjadi keresahan banyak orang. 

Anda bisa menyederhanakan semua yang rumit-rumi sehingga dipahami orang, sehingga banyak orang yang tercerahkan. Sekali Anda mencerahkan orang lain, maka dia akan menjadi pengikut setia atas semua yang kamu bagikan.

Menurut riset yang dilakukan Alvara, generasi milenial dan pengguna media sosial tertarik pada beberapa hal. (1) Mereka peduli dengan masalah sosial, makanya muncul petisi online dan situs berbagi. (2) Generasi ini suka berbagi pengetahuan, keterampilan, dan wawasan lainnya. Makanya, mereka suka dengan berbagai informasi mengenai tutorial. Banyak di antara mereka yang jadi referensi bagi rekannya. (3) mereka punya solidaritas yang tinggi pada follower (pengikut). Mereka suka mengabarkan apa pun. Mereka suka saling sapa dan memberitahu apa yang telah dan sedang dilakukan.

Digital Marketing Services


Keempat, banyak politisi yang menjadikan media sosial hanya sebagai pemantul dari berbagai isu-isu negatif mengenai calon presiden atau politisi Jakarta. Artinya, politisi ini menjadikan media sosial hanya sebagai arena tempur di mana dirinya adalah prajurit. 

Di satu kanal media sosial, saya menyaksikan seorang politisi yang sibuk menyebar berita yang isinya kejelekan atau fakta keburukan seorang calon presiden. Saya senyum-senyum sendiri saat melihatnya. Dia tidak berpikir strategis. 

Harusnya dia menyadari bahwa pemilih di Indonesia terbagi dalam dua kelompok besar. Harusnya dia berkampanye bahwa siapa pun presidennya, maka caleg yang dipilih adalah dirinya sendiri.

Lagian, ketika dia hanya sibuk menjelekkan satu calon, maka sudah pasti dia akan kehilangan suara dari pendukung kubu yang dijelek-jelekkannya itu. Belum tentu juga pencinta capresnya akan mendukung dirinya. Sebab tindakan menjelekkan orang lain tidak selalu mengundang simpati.  Lantas, apa yang harus dilakukan?

Kata Sun Tzu, “Kenali dirimu, kenali lawanmu, maka ratusan pertempuran akan kamu menangkan.” Belajar dari Sun Tzu, seorang pakar strategi perang, jauh lebih baik jika kita mengenali kekuatan kita, apa saja yang kita miliki, kemudian mengenali musuh dan mengenali medan perang. Daripada fokus dengan medan perang orang lain, lebih baik kita fokus pada kekuatan apa yang kita miliki.

Jika saya dimintai masukan sama caleg itu, saya akan bilang padanya kalau arena pilpres bukanlah arena pertarungannya. Jika dia punya ide yang sama dengan capres, bolehlah ide itu memperkuat skema pemenangannya. Lebih baik dia fokus pada medan perang yang akan dia hadapi. Temukan di mana letak kekuatan, kemudian rencanakan strategi yang tepat untuk memaksimalkan semua kekuatan itu. 

Daripada sibuk memikirkan arena tempur orang lain, lebih baik memikirkan arena tempur yang akan kita hadapi. Sebab orang lain menang, belum tentu kita kecipratan. Tapi jika diri kita yang menang, maka sudah pasti banyak hal yang bisa kita lakukan. Iya khan?

*** 

NAH, itu hanya segelintir hal yang saya amati. Menurut saya, setiap politisi harus melihat media sosial sebagai arena yang harus dimenangkan dengan citra yang positif. Tak ada guna menjadikannya sebagai arena perang dan menebar musuh di mana-mana. Lebih baik serap energi positif sehingga orang-orang akan merasakan gelombang dan manfaat yang sama.

Kalaupun politisi itu tidak punya waktu dan tidak tahu bagaimana memanfaatkannya, maka dia bisa bekerja dengan satu tim media sosial yang punya kecakapan sebagai intelligence assistant.  Dalam buku Thomas L Friedman yang judulnya Thank You for Being Late, ada bab menarik mengenai bagaimana mengubah Artificial Intelligence (AI) menjadi Intelligence Assistant (IA)

BACA: Sepuluh Konten Juara untuk Menang Pilkada


Maksudnya, bagaimana mengubah kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadi asisten cerdas (intelligence assistant). Di masa depan, profesi sebagai intelligence assistant akan makin marak. Di era kecerdasan buatan, seseorang butuh teman-teman atau asisten untuk berdiskusi yang bisa menopang sisi intelektual, memahami bahasa media sosial, dan mengembangkan aplikasi untuk merespon semua isu. 

Dibutuhkan pemahaman mengenai bagaimana media sosial demi bisa memaksimalkannya untuk kemenangan, baik di ranah bisnis maupun politik. Dibutuhkan satu strategi sehingga popularitas akan tinggi sehingga membawa dampak pada elektabilitas. Kita sudah menyaksikan strategi itu berjalan di beberapa pemilihan kepala daerah.

Seorang teman politisi pernah bercerita bahwa di pilkada barusan, strategi jangka pendek seperti bagi-bagi sembako dan proyek malah gagal di banyak tempat. Kerja politik menjadi kerja jangka panjang, dengan menguatkan karakter yang dilakukan secara konsisten di media sosial. “Sekali seseorang suka sama satu orang, akan sulit mengubah pilihannya,” kata teman itu.

Dia benar.



3 komentar:

Rumi mengatakan...

Kerenbang...

Aswandi mengatakan...

ispiratif, banyak kandidat yang tidak menyadari pentingnya media sosial, untuk nyalon pilkada sudah direncanakan 5 tahun lalu tapi membangun branding di sosial media baru dimulai 5 bulan menjelang pilkada

Unknown mengatakan...

Cek

Posting Komentar