Kisah Merry Riana dan Avatar Aang


Chelsea Islan dalam film Merry Riana


Niat awal cuma iseng. Saat benar-benar gak ada kerjaan, saya menonton film secara acak. Di antaranya adalah film Merry Riana. Dia dahulu mahasiswa di Singapura, yang kemudian bekerja di perusahaan asuransi, lalu mulai tertarik jual beli saham.

Dalam cerita-cerita sukses, saya selalu tertarik untuk tahu bagaimana awalnya. Sering kali kesuksesan itu bermula dari hal-hal sederhana di sekitar kita, yang selama ini terabaikan. Demikian pula kisah Merry Riana.

Dia punya spirit pekerja asuransi yang gigih mendatangi klien. Dia pantang menyerah. Memang tidak mudah meyakinkan orang Singapura untuk membeli polis asuransi sebab mereka cukup makmur dan mayoritas sudah punya asuransi.

Dia datang dari Indonesia hanya dengan satu koper di tahun 1998. Dia mengungsi karena ada kerusuhan etnis di tanah air. Keluarganya yang keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Toko kecil bapaknya dibakar. 

Dia pun mendaftar di satu kampus di Singapura. Dia mengambil skema student loan atau pinjaman sebesar 40 ribu dollar. Karena bapaknya sedang terpuruk dan tidak bisa mengirim uang bulanan, dia pun harus bekerja serabutan mulai dari janitor, pembersih kaca, hingga jadi sales asuransi. 

Setiap hari dia menyusun daftar siapa saja yang mau ditemui. Dia lebih banyak gagal. Dia nyaris putus asa. Saat lelah, dia ke pinggir laut untuk beristirahat. Di situlah dia beberapa kali bertemu dengan seorang ibu keturunan Melayu yang suka berbincang dengannya.

Suatu hari, saat dirinya lelah menemui 36 calon klien dan kakinya bengkak karena lelah berjalan, dia kembali bertemu ibu itu di tepi laut. Ibu itu kerepotan saat tasnya terjatuh. Banyak buah yang berserakan. Merry Riana membantu memungut buah, kemudian mengantar pulang.

Ternyata ibu yang penampilannya biasa itu adalah sosok yang kaya raya. Rumahnya seperti istana. Dia menghidangkan segelas teh ke Mery Riana. Ibu itu melihat buku catatan Merry yang  penuh nama-nama dan dicoreti.

Merry pun bercerita apa adanya tentang kegiatannya. Dia sudah menemui 36 orang dan gagal meyakinkan. Tak disangka ibu itu berkata, “Saya orang ke-37. Saya akan beli polis asuransimu. Besok datang lagi yaa.”

Merry Riana setengah percaya. Setiap hari bertemu ibu itu, dia tak pernah berniat untuk prospek. Dia hanya menjalin persahabatan, tanpa tahu latar belakang ibu itu. Rupanya, iIbu itu adalah klien potensial.

Besoknya dia datang lagi. Tak disangka, ibu itu bersedia untuk berinvestasi 100 ribu dolar. Merry Riana tak percaya. Ibu yang sering ditemuinya itu, dan tampil biasa-biasa, ternyata justru menjadi jalan pembuka rezeki baginya.

“Sebenarnya saya tak punya niat investasi. Saya sudah cukup banyak berinvestasi. Sekarang sudah ada 30 polis. Tapi saya tertarik dengan kepribadianmu,” kata ibu itu.

Kisah kekayaan Merry Riana berawal dari sikap ramahnya yang selalu meladeni ibu itu saat berbincang. Justru pada hal-hal sederhana yang dilakukannya, dia bisa membuka gerbang kekayaan dan kesuksesan. Justru pada saat dia sebenar-benarnya terpuruk, dia membuka pintu sukses.

Ketika menonton film ini, saya ingat ucapan  Avatar Aang dalam serial kartun Avatar The Last Airbender: “When we hit our lowest point, we are open to the greatest change.” Ketika kita menyentuh titik paling rendah, maka kita sedang membuka pintu perubahan terbesar dalam hidup. Belakangan saya tahu kalau Avatar Aang mengutip filsuf Lao Tze.  

Kisah Merry Riana mengingatkan saya pada Marketing 4.0 yang disusun Hermawan Kartajaya. Di era kekinian, pemasaran bukan lagi dengan cara mengetuk pintu lalu kiri kanan memaksa orang untuk membeli. 

Pemasaran akan bekerja lebih efektif ketika seseorang menjadi sahabat dekat semua orang, selalu  memberi nilai tambah, serta selalu berkhidmat pada orang lain. 

Biarpun Hermawan seorang Katolik, dia menganjurkan para pemasar agar meniru akhlak Muhammad SAW yang di masanya terkenal sebagai sosok jujur dan bisa dipercaya sehingga mendapat gelar Al Amin. Pada momen trust yang sedemikian tinggi, apa pun ide dan produk yang dibawa pasti akan cepat diterima oleh siapa saja.

Meskipun bukan pemasar, saya belajar banyak dari film ini. Poin penting adalah selain sikap pantang menyerah, amat penting menjaga silaturahmi, sering membantu orang lain, sering menyapa, juga selalu menjaga relasi. 

Kadang, pada hal-hal kecil seperti tersenyum dan menyapa orang lain, justru terletak pintu sukses buat kita. Kata Avatar Aang: “We are open the greatest change.”


1 komentar:

Sharul mengatakan...

Selalu menyempatkan diri membaca tulisan bung Yusran karena selalu ada yg bisa dibawa pulang

Posting Komentar