Dalam satu konferensi berlatar ilmu sosial, saya pernah berkomentar mengapa kita selalu mengkaji orang-orang biasa yang marginal dan selalu menjadi obyek kebijakan? Mengapa kita sesekali tidak membahas orang-orang super kaya, militer yang jadi beking, serta pejabat negara yang melahirkan kebijakan itu?
Saat itu, konferensi membahas topik-topik seperti penggusuran, marginalisasi, kemiskinan, serta penyingkiran masyarakat adat dari lahan-lahan tambang. Para ilmuwan di konferensi itu seakan bersepakat kalau semuanya bermuara pada hasrat atas uang, serta kongkalikong pejabat, pengusaha kaya, dan militer.
Tapi, saat itu, saya tak melihat ada satu kajian yang khusus membahas bagaimana etnografi orang-orang super kaya, bagaimana mereka membangun relasi dengan pejabat, apa nilai-nilai yang diyakini, serta bagaimana mereka melihat manusia lainnya.
Bagi peneliti sosial, problemnya adalah akses pada orang marginal jauh lebih mudah. Menembus orang super kaya sulitnya bukan main. Anda harus melalui barisan sekuriti, staf, karyawan, hingga sekretaris yang menyusun jadwal. Anda harus bisa melalui anjing penjaga, yang mungkin anda anggap najis.
Padahal, sebagaimana halnya masyarakat marginal, kehidupan orang kaya adalah area misterius yang tak diketahui orang. Mereka memang sering mendapat publisitas. Tapi hanya pada sisi kesuksesan dan ekspansi yang mereka lakukan.
Tak banyak yang bercerita tentang siapa mereka, seperti apa kepahitan hidup mereka, bagaimana mereka memulai karier dari nol, bagaimana mereka mendaki tangga-tangga kehidupan. Tak ada cerita bagaimana mereka menghabiskan waktu setiap hari, apakah memantau karyawan, ataukah sibuk cari arena bisnis yang baru.
Saat ini saya membaca dua buku mengenai dua orang super kaya Indonesia, yakni Ciputra dan Dato’ Sri Tahir. Kedua buku ini ditulis oleh Alberthiene Endah. Saya tertarik membaca titik balik atau the turning point, bagaimana tokoh ini yang tadinya orang biasa menjadi sosok luar biasa.
Saya baru menghabiskan satu buku, yakni mengenai Ciputra. Ceritanya menarik. Dia terlahir dengan nama Tjien Hoan di Parigi, Sulawesi Tengah. Bapaknya hanya pedagang kelontong yang kemudian ditangkap polisi Jepang dan tewas di tahanan.
Dia menjalani masa kecil dengan trauma. Dia lalu bersekolah di Gorontalo, kemudian Manado. Dia malah pernah jadi atlet lomba lari yang mewakili Sulawesi Utara di ajang PON di Jakarta.
Kariernya bermula ketika dirinya lulus ITB. Dia membuka jasa konsultan arsitektur di garasi rumah. Sayang, bisnis itu jalan di tempat. Dia hanya dapat proyek kecil2. Dia tetap miskin. Itupun harus bersaing dengan mandor yang tidak belajar arsitektur. Di zaman itu, orang mengira untuk bangun rumah tak perlu arsitek. Cukup mandor.
Titik balik hidupnya bermula saat pindah ke Jakarta. Dia setiap hari mencari jalan untuk bertemu Gubernur DKI, Soemarno. Hingga suatu saat dia berhasil bertemu, kemudian ditantang untuk menata ulang kawasan Senen.
Tantangan itu diterimanya. Dia sukses memimpin satu tim besar untuk menata ulang Senen, setelah sebelumnya banyak menggusur warga. Proyek Senen menjadi proyek monumental yang melejitkan namanya.
Dia lalu menjawab tantangan lain. Dia membenahi kawasan rawa-rawa di Ancol menjadi taman hiburan kelas dunia. Setelah itu dia membangun banyak perumahan dan gedung-gedung tinggi di Jalan Sudirman dan Thamrin.
Dia juga membangun kota mandiri yakni Bintaro, kemudian kawasan Pondok Indah, yang dulu namanya Pondok Pinang. Dia juga membangun Bumi Serpong Damai (BSD) bersama Liem Sio Liong. Bahkan dia masuk negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Kesan saya adalah dirinya sosok yang tak pernah berhenti ketika sudah memulai. Masa lalunya yang miskin menjadi pelecut baginya untuk berbuat lebih. Kekuatannya adalah bisa membangun aliansi dengan pejabat pemerintah, berkoalisi dengan pengusaha lainnya, juga kemampuan mengendus mana yang bisa jadi ladang uang.
Sayang, tak ada cerita mengenai bagaimana caranya mengelola hubungan dengan pemerintah. Saya tak percaya jika hubungan itu hanya atas dasar profesionalitas. Saya rasa ada banyak permainan dan sisi gelap yang tak dibahas di sini, termasuk apa yang ditawarkannya hingga mendapat semua konsesi besar di atas tanah negara, yang berujung pada peminggiran masyarakat.
Saya mungkin berharap banyak pada buku ini. Padahal ini bukan buku tentang ekonomi politik, juga bukan riset sosial dengan perspektif kritis. Tapi setidaknya, saya bisa tahu filosofi hidupnya, motivasi serta kehebatannya dalam mengendus mana lahan yang bisa jadi uang. Saya bisa merasakan ambisi serta hasrat untuk sekaya-kayanya dan semakmur-makmurnya.
Seusai membaca buku ini, saya teringat artikel mengenai Chairil Anwar yang dahulu sering mangkal di Senen. Saya bayangkan betapa banyak manusia yang hilir-mudik dan lalu lalang di situ., mulai dari seniman hingga buaya darat. Tapi sejak Ciputra mengambil alih Senen, segala hal berubah di sana.
Inilah harga kemajuan. Banyak yang tercerai-berai, tapi banyak yang datang dan menjadi tatanan baru. Pada kisah Ciputra, kita bisa merasakan bagaimana kota terus berevolusi di tengah dengus napas masyarakat kota yang selalu tak puas.
Entah, apa kita sepakat atau tidak dengan perkembangan itu.
0 komentar:
Posting Komentar