Cerita tentang Nahad Baunsele




Saat dia berangkat ke luar negeri, orang-orang mengira dirinya akan bersenang-senang dan berkelana di negeri asing. Padahal, dirinya sedang bekerja keras demi melawan semua tantangan.

Lelaki itu Nahad Baunsele, datang dari kampung di So’e, Timor Tengah Selatan. Berkat beasiswa IFP, dia diundang belajar ke Tulane University, salah satu universitas dengan tradisi epidemologi dan public health terbaik di Amerika Serikat.

Kampusnya terletak di New Orleans, yang dikenal sebagai kota penuh pesta, jazz, dan punya populasi kulit hitam yang besar. Nahad ke sana hanya bermodal nekad. Betapa tidak, skor Toefl-nya hanya 430. Bahasa Inggrisnya pas-pasan.

Jangankan untuk belajar, untuk sekadar berkomunikasi dengan orang lain pun dia kesulitan. Setelah empat bulan belajar bahasa di New Orleans University, Nahad mulai kuliah di Tulane.

Dia menuturkan, pada semester pertama, dia seperti makhluk bumi yang tersesat di negeri alien. Dia ketinggalan di semua kuliah. Bahkan dia terancam dipulangkan kalau tidak bisa mengikuti ritme perkuliahan.

Nahad tak ingin kembali ke So’e dengan membawa kegagalan. Dengan kemampuan terbatas, dia menemui satu per satu dosennya. Dia ceritakan masalah kemampuan bahasa yang terbatas itu.

Dia hadapi masalah itu dengan cara mengakuinya, kemudian mengajak orang lain untuk membantunya. Gayung bersambut. Dosen-dosennya tersentuh. Semuanya sepakat bahwa perjalanan menyusuri separuh bumi demi belajar itu membutuhkan keberanian besar.

Mulailah Nahad mendapatkan bantuan. Saat Nahad membuat paper, dosen akan membantunya untuk membaca ulang dan mencari ide-ide orisinal di situ. Nahad merasakan betapa baiknya orang-orang yang selalu melihat sisi terbaiknya, bukan sisi terlemah seseorang.

Di New Orleans, di kota yang surganya penyuka pesta dan para penenggak brandy setiap saat, Nahad menemukan setitik cahaya. Dia mulai menemukan semangat belajar. Dia membayangkan akan membawa banyak pengetahuan demi So’e, kampung halamannya.

Kisah Nahad di New Orleans adalah kisah perjuangan menghadapi keterbatasan. Jika saja dia menyerah, maka dia akan pulang dengan membawa cerita kegagalan. Namun dia punya tekad kuat untuk menentukan takdirnya di masa depan.

Setelah dua tahun lebih delapan bulan, dia pulang membawa keberhasilan. Kini, dia berada di So’e dan menghadapi dunia yang ingin diubahnya. Dia kembali berurusan dengan penyakit menular, dunia puskesmas, serta tantangan yang tidak mudah.

Tapi semangat baja yang ditempa di New Orleans itu menjadi kompas kehidupan baginya. Dia tetap menunjukkan determinasi dan kemampuan menemukan solusi di tengah masalah. Dia pun tak ingin meninggalkan So’e sebab itulah medan pengabdiannya.

Saat saya bertemu dengannya di So’e, wilayah yang sedingin Puncak di Bogor, Nahad dengan riang bercerita pengalamannya. Dia bercerita perjuangannya menyediakan fasilitas kesehatan bagi rakyat yang terpinggirkan.

Dia baru saja membangun 12 Puskesmas dengan fasilitas paling lengkap, mulai dari ruang rawat inap hingga perumahan dokter. Saya suka ceritanya tentang perjuangan membantu masyarakat nelayan yang tidak memiliki KTP sebab suka berpindah-pindah. "Pada saat itu, negara harus hadir membantu warganya," katanya.

Saya lebih banyak mendengar. Saya begitu kagum dengan dirinya. Saya melihat Nahad yang terus bertransformasi. Mulanya saya melihat dirinya di Jakarta sebagai seorang penerima beasiswa. Setelah itu dirinya datang ke luar negeri dengan membawa keterbatasan.

Kini dirinya menjadi sosok penuh ide-ide perubahan di kampung halamannya. Dia membawa kembang ilmu untuk menjadi persembahan bagi So’e, kampung halamannya.

Sambil mendengar dirinya bercerita, sayup-sayup saya mendengar lagu dari Louis Amstrong, penyanyi jazz bersuara serak di New Orleans:

"I see skies of blue and clouds of white
The bright blessed day, the dark sacred night
And I think to myself what a wonderful world"


2 komentar:

wijatnikaika mengatakan...

Salut untuk Bang Nahad Baunsele. Senang bisa mengenal beliau dan berkesempatan belajar bersama

Yusran Darmawan mengatakan...

iya. sy ingat Ika sekelas sama pak nahad.

Posting Komentar