Dia seorang pengajar Katolik, tapi dia juga seorang tetua adat. Petrus Pot menjalankan dua peran itu saat bersamaan. Dia memimpin banyak ritual di Umenekas, rumah adat yang di dalamnya terdapat tanduk kerbau dan kelewang. Dia mengabdikan hidupnya untuk melayani warga di gereja.
Pria yang setiap hari bisa mengunyah sirih hingga berkali-kali ini lahir di Oekusi, Timor Leste. Tapi dia memilih untuk menjadi warga Napan. Baginya, Oekusi dan Napan adalah sama. Semua orang berbahasa lokal yakni Dawan. Budayanya sama. Pakaian tradisional sama. Yang membedakan hanya garis politik bernama batas negara.
Di Desa Napan, ritual adat menjadi jantung dari semua aktivitas. Saat seorang warga meninggal, maka semua orang akan meninggalkan aktivitasnya dan berdatangan. Demikian pula saat ada yang menikah. Pun saat ada ritual di hutan-hutan adat. Semua orang akan berdatangan.
Petrus menjadi tempat bertanya segala hal mengenai adat. Dia menjadi semacam konsultan atas banyak ritual. Mulai dari persembahan dari laki-laki pada keluarga perempuan agar bisa menikah sampai pada kapan memberi berkat atas hasil panen.
Dia pun siap setiap saat jika dipanggil untuk memimpin ritual. Tidak hanya di Desa Napan dan sekitarnya, dia juga sering dipanggil ke Oekusi, Timor Leste. Dia melihat semua warga adalah keluarga. Mereka saling kenal sejak lama. Budaya telah lama memeluk mereka sebagai satu kesatuan.
“Di sini, semua orang menjaga solidaritas. Kamu bisa saja tidak datang, tapi ketika suatu saat kamu punya hajatan, maka tak akan ada yang mendatangi hajatanmu,” kata Petrus saat saya temui di Napan, Timor Tengah Utara.
Petrus merinci begitu banyak pesta adat. Saya tak bisa mencatat satu per satu secara detail. Mulai dari berkat atas hasil panen, minta hujan, hingga ritual-ritual mengenai kelahiran, perwakinan, dan kematian. Yang saya tangkap, di semua ritual adat itu selalu ada makan bersama.
Petrus mencontohkan ritual di hutan adat, yang disebut Fuaton. Warga akan berdatangan sembari membawa daging babi, kambing, nasi, dan jagung. Setelah berdoa, semua warga akan makan bersama-sama. Semua akan menikmati hidangan yang dibawa.
Kepada siapa pesan doa disampaikan? “Kepada leluhur dan mereka yang telah mendahului kami. Kami ingin mereka tetap memberi berkat pada tanah ini,” katanya.
Dia tiba-tiba terdiam saat membahas masa-masa rusuh dan suara tembakan bersahut-sahutan di Timor Leste. Dia dua kali menjadi saksi sejarah, yakni tahun 1975 saat Timor Leste bergabung dengan Indonesia, serta tahun 1999 saat negara itu merdeka.
Dia pun menampung warga Oekussi saat menjadi pengungsi di Indonesia. Dia membuka aula gereja, serta tenda-tenda pengungsian. Dia ikut bersedih saat melihat orang lain bersedih.
Bahkan dia ikut menggelar ritual adat untuk perdamaian demi menyatukan semua pihak yang bertikai. Dia akan membacakan doa dalam bahasa Dawan dengan suara yang dikeraskan agar semua orang bisa mendengarnya.
Salah satu bait doa yang dibacanya adalah: “Hemnakat i haisan mapuutu man malal mes mamikian man oeteu.” Dia mengartikannya: “Semoga makanan ini jangan menjadi panas, tapi menjadi dingin.”
Saya terdiam mendengar maknanya. Mungkin makanan adalah simbol dari hati manusia yang tengah dibakar oleh amarah dan konfik. Dia berdoa agar hati yang panas itu ditetesi embun cinta kasih, disentuh menjadi dingin, sehingga manusia melihat sesamanya sebagai keluarga.
Sebelum pisah, dia menatap mata saya kemudian menggumam: “Iman akan memeluk kita semua dalam pancaran kasih dan sayang.”
0 komentar:
Posting Komentar