Mencari YUSUF di Istana WAPRES


tiga alumni Unhas berpose di acara halal bihalal IKA Unhas

Sabtu lalu, halal bihalal IKA Unhas diadakan di Kantor Wapres. Tapi tak semua yang datang berniat untuk halal bihalal. Banyak yang datang karena menyadari inilah kesempatan terakhir menghadiri halal bihalal bersama Jusuf Kalla di istana.

Banyak yang berpikir bahwa butuh waktu lama lagi melihat ada orang Bugis Makassar, atau orang Indonesia Timur, menjadi presiden ataupun wakil presiden. Setidaknya, dalam lima tahun ke depan, posisi wapres dijabat seorang kiai dari tanah Banten.

Saya pun ikut hadir demi merasakan momen penting itu. Jusuf Kalla memberikan pesan yang tak biasa. Bukan sekadar sambutan, tapi memberikan masukan strategi bagi anak muda di timur untuk bisa meniti karier sebagaimana dirinya.

Dia mulai dengan mengenang semua kariernya di pentas politik. Mulai dari menteri, menteri koordinator, hingga wakil presiden. Semuanya tak didapatkan dengan mudah. Fundasi dari semua posisi itu dibangunnya di daerah.

Dia memang memulai semuanya di daerah. Sejak kuliah, dia sudah memegang posisi penting di banyak organisasi. Mulai dari organisasi mahasiswa Bone, Senat Mahasiswa Ekonomi Unhas, hingga HMI Cabang Ujung Pandang.

Setelah itu, dia berkarier dari posisi karyawan hingga direktur utama. Meskipun itu perusahaan keluarga, dia memulainya dari nol. Dia bekerja keras hingga menjadi direktur utama. Dia pun memimpin banyak organisasi sosial.

Saat elite Jakarta mencari sosok inspiratif di daerah, namanya akan berada di baris paling atas. “Pesanku kepada kalian semua, mulailah dari daerah. Gabung di semua organisasi sosial. Bangun reputasi dan kompetensi. Yakinlah, orang Jakarta akan mencari kalian,” katanya.

BACA: Elegi Esok Makassar

Saya menyimak petuahnya. Dia bukan sekadar ikon Bugis Makassar di pentas politik nasional. Tapi dia juga wajah Indonesia timur, wilayah amat luas di tanah air, namun sering terabaikan karena penduduknya sedikit. Itu pun tersebar di banyak pulau kecil.

Saya memandang Jusuf Kalla yang sedang berpidato. Sekonyong-konyong, saya teringat tuturan Wahyudin Halim, seorang cendekiawan yang saya kagumi di Makassar. Dalam satu diskusi beberapa tahun silam, dia pernah mengutip ucapan raja bernama Arung Matoa Matinrowa Rikannana di abad 17 mengenai filosofi sulappa eppa atau empat nilai utama bagi lelaki Bugis Makassar.

Menurutnya, lelaki Bugis Makassar memiliki empat sifat paling utama. Pertama, to panrita atau bijaksana. Kedua, to warani atau berani. Ketiga, to acca atau pintar. Keempat, to sugi atau kaya raya.

Dalam sejarah, jarang ditemukan satu sosok yang punya semua kombinasi sifat unggul itu. Biasanya, masing-masing sifat ada pada satu orang. “Ada empat orang bernama Yusuf yang bisa menjadi representasi atau gambaran sifat itu,” kata Wahyudin. Siapakah?

Pertama, sifat to panrita atau bijaksana ada pada diri Syekh Yusuf al Makassari (1626-1699). Dia adalah ulama besar yang kemudian dibuang pemerintah kolonial ke Afrika Selatan. Dia menginspirasi Nelson Mandela, pejuang kemanusiaan terbesar di abad ini.

Kedua, sifat to warani atau berani bisa dilihat pada sosok Jenderal M Jusuf (1928-2004). Pria asal Kajuara, Bone, menjadi sosok penting di era Orde Baru. Dia seorang Panglima ABRI yang dikenal berani dan rela memasang badan untuk republik. Dia salah satu tokoh di balik lahirnya Supersemar.

Ketiga, to acca atau cerdas ada pada sosok Jusuf Habibie. Selama beberapa dekade dia menjadi menteri riset dan teknologi, setelah itu menjadi wapres. Terakhir jadi presiden. Memang, ayah Habibie dari Gorontalo. Ibunya pun dari Yogyakarta. Tapi dia lahir dan besar di Pare-pare, di tanah Bugis.

Keempat, to sugi atau orang kaya ada pada sosok Jusuf Kalla. Dia seorang pebisnis handal, aktivis organisasi, serta manajer hebat. Dia tipe praktisi, yang bisa menyerap hikmah dari pengalaman, kemudian diterapkannya dalam kerja-kerja.

Sejarah mencatat, empat Yusuf telah berkiprah di posisi penting. Kedepan, mesti ada sosok lain yang menggantikan mereka di berbagai posisi penting. Dia bisa bernama Yusuf, bisa bernama La Baco, bisa bernama La Mellong.

Yang pasti, dia punya jejak dan prestasi bagus sehingga kelak menjadi kembang-kembang yang selalu didatangi lebah, kemudian menghasilkan madu. Dia juga punya reputasi hebat sehingga kelak semesta akan melejitkan namanya. Siapakah Yusuf berikutnya? 

Sebagai penyaksi, kita akan segera menemukan jawabannya.



2 komentar:

Lihin mengatakan...

Sepertinya ini yg di copas mentah2 banyak orang tanpa menyebut sumber. Luarbiasa

Unknown mengatakan...

Sehat selalu bang Yusron..Sy senang baca tulisan ta dan prof.Wahyuddin Halim

Posting Komentar