Elegi Esok MAKASSAR


Sosok Karaeng Pattingalloang pada atlas Joan Blaeau tahun 1664

Di Makassar, orang-orang sedang bicara tentang pemilihan Walikota Makassar. Gemanya terasa hingga ke mana-mana. Semilir anging mammiri telah membawa perbincangan itu hingga ke banyak sudut kota Jakarta, khususnya di warkop yang sering didatangi orang Makassar.

Saya percaya Makassar adalah mercu suar yang memberi cahaya bagi daerah-daerah sekitarnya. Sejak dulu, kota ini adalah pusat dagang, sekaligus pusat pengetahuan. Makassar ibarat kakak yang menuntun banyak adiknya di timur untuk berlari mengejar kemajuan.

Pada pilkada lalu, publik tanah air terkejut. Seorang calon walikota, yang merupakan keluarga dari salah satu grup bisnis paling kuat, bisa kalah melawan kotak kosong. Ini sejarah menarik. Bahwa jaringan besar serta kuat dan ternama bisa kalah melawan kotak kosong. Tentu ada banyak cerita di balik itu yang hanya bisa diketahui oleh orang Makassar sendiri.

Pilkada akan kembali digelar tahun depan. Banyak orang sudah mendeklarasikan diri sebagai calon. Beberapa orang disebut-sebut mewakili klan atau keluarga tertentu. Seorang kawan menyebut dana miliaran yang siap digelontorkan beberapa orang.

Tadinya saya agak malas untuk tahu banyak hal tentang perhelatan politik di sana. Namun keseringan ke warung kopi untuk mencari partner tanding domino lambat laun membuat saya ikut mendengar diskusi alot tentang peta politik di sana. 

Semalam, saat tengah asyik-asyiknya main domino, seorang calon walikota datang ke warkop. Dia bercerita tentang rencana-rencananya yang ingin membenahi Makassar. Tapi ditanya secara detail apa yang mau dibenahi, jawabannya ngambang. Dia sendiri belum tahu hendak mulai dari mana.

Satu hal yang selalu mengganjal saya dalam berbagai diskusi informal itu adalah hilangnya ide-ide besar ke mana wilayah itu hendak dibawa. Saya belum menemukan satu gagasan besar apa yang hendak diterapkan. Kebanyakan hanya masuk pada isu-isu populis yang menurut saya justru tidak menarik.

Harus diakui, Makassar kian besar. Tapi juga kian semrawut. Dulu, melintas dari PLTU Tello menuju kawasan Tamalanrea hingga Daya serasa melalui jalan tol bebas hambatan yang mulus dan sepi. Kiri kanan hanya rawa dan alang-alang. Kini, jalanan itu laksana pasar yang tumpah. Kiri kanan adalah ruko dan mal, juga pedagang yang berhamburan.

Di saat sibuk, Jalan Pettarani, Mappanyukki, dan Hertasning akan macet parah dengan kadar yang lebih tinggi dari kemacetan di Jakarta. Makassar penuh dengan ruko dan perbelanjaan yang mengepung, serta jalan-jalan sempit. Kota ini tak lagi punya banyak pohon-pohon hijau yang bisa membuat kita sejenak tersenyum dan menikmati pemandangan.

Yang lebih terasa hilang adalah ide-ide besar ke mana kota ini hendak dilayarkan. Di abad ke-17, Makassar adalah kota dunia yang menjadi rujukan bagi pengembangan sains, bisnis, dan tata kota. 

Sejarawan Anthony Reid mencatat, Makassar sebagai kota paling ambisius dalam sains. Dahulu, transliterasi atas buku-buku berbahasa asing paling banyak terjadi di sini. Kitab pembuatan mesiu dari Andreas Moyona diterjemahkan ke dalam bahasa Makassar. Satu dari tiga teleskop Galileo Galilei didatangkan ke Makassar dan disimpan di Maccini Sombala (tempat melihat bintang).

Pada satu masa, Makassar menyimpan banyak kisah heroik dan keberanian, juga kecintaan pada ilmu pengetahuan, serta peradaban yang menjadi matahari di Nusantara. Sombaopu dulu adalah bandar paling sibuk di mana smeua bangsa pernah berniaga sebab menganut konsep mare liberum, kebebasan di laut. 

Sultan Alauddin, Raja Gowa yang memimpin Makassar itu, punya kalimat yang masyhur: “Tuhan menciptakan bumi dan lautan. Tanah dibagi-bagikan di antara manusia, tetapi samudra diperuntukkan bagi semuanya. Tak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang, atau bagi satu kaum”

Tapi hari ini, level para calon pemimpin di Kota Makassar adalah hanya ingin membenahi kesemrawutan kota, mengatasi banjir, sembari beramah-ramah dan tersenyum manja pada para pengembang dan pebisnis kakap yang telah merenggut kenikmatan melihat matahari senja di Pantai Losari.

Jangankan merengkuh dunia dan langit, Makassar sudah lama menjadi bola yang digelindingkan para kapitalis, mulai dari yang merampas nikmat senja di Losari, merenggut Karebosi dari warga, menutup akses nelayan Mariso dari lautan, merampas sawah-sawah dan suara burung di Hertasning Baru, hingga memaksa publik untuk melihat kesemrawutan baliho dan kekacauan visual di jalan-jalan.

Saat membayangkan tengah berjalan-jalan di Makassar, saya terkenang dengan esai dari Ishak Ngeljaratan, seorang guru di sana, mengenai ada banyak hal yang hilang di tengah kita. Di antaranya adalah senyum ramah, keteduhan kota, dan juga nutrisi jiwa. 

Ishak benar. Ada banyak hal yang hilang.



0 komentar:

Posting Komentar