MAMA SINTA yang Bangkit dari Kesedihan




Matanya tiba-tiba sembab saat bercerita. Bulir-bulir air matanya perlahan menetes saat dirinya bercerita tentang peristiwa di tahun 1999. Perempuan itu, Yasinta Colo, terbata-bata mengisahkan pengalamannya saat berlari di tengah desingan peluru.

“Saya lari sambil gendong anak. Laki-laki lari di tempat lain karena biasanya mereka yang diincar. Tapi Bapak kecil ikut sama saya. Begitu masuk hutan, dia yang kena tembak,” kata warga Aldeasaden di distrik Oekusi, Timor Leste ini, sembari terisak. Bapak kecil adalah sebutan bagi paman, atau saudara dari ayah.

Tak ada waktu bagi perempuan yang kini disapa Mama Sinta ini untuk mengangkat jenazah. Dengan berat hati, dia hanya mengingat-ngingat tebing di mana jenazah itu bersemayam. Dia kembali berlari sekuat-kuatnya, sejauh-jauhnya ke hutan.

Dia tidak bisa menyebutkan dengan detail siapa yang mengejarnya. Tapi beberapa laporan menyebutkan saat itu terjadi pertempuran antara militer Indonesia dan gerilyawan lokal yang bergabung dalam milisi-milisi perlawanan. 

Mama Sinta terus berlari dengan membawa semua kepedihan. Keluar dari hutan, dia tinggal bersama keluarganya di Desa Napan, Kabupaten Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU), Indonesia. Ratusan warga desa lainnya menjadi pengungsi di situ. 

Warga Napan menyambut hangat sebab mereka memang bersaudara. Mereka sama budaya dan bahasa. Yang memisahkan adalah garis politik.

Mulanya semua terasa berat. Hampir setiap hari dirinya masih trauma dengan peristiwa itu. Bahkan ketika mendengar suara keras di malam hari, dia akan terkejut, terbangun, dan tak bisa tidur.

Dalam suasana sedih itu, lembaga-lembaga internasional seperti UNHCR dan World Food Program (WFP) turun tangan. Lembaga-lembaga itu menyediakan kebutuhan pangan baginya dan pengungsi lainnya. 

Sebulan berlalu, Mama Sinta perlahan bangkit dari kesedihan. Baginya, tak ada gunanya jika dirinya terus-terus bersedih. Dia memikirkan masa kini dan masa depan. Dia mulai menyusun rencana-rencana. “Kalau saya tidak kerja, mau makan apa?” katanya.

Beruntung, Kepala Desa Napan memberikan dukungan kepadanya. Kepala Desa menyediakan sembilan bahan pokok (sembako) yang kemudian dipakai Mama Sinta untuk berdagang di perbatasan. Dia membawa sendiri beras, kacang, sayuran, untuk dijajakan ke sana ke mari.

Pada masa belum ada saluran komunikasi, dia mendekati perbatasan yang dijaga ketat militer. Dia memberi kode kepada warga di Timor Leste kalau dirinya datang membawa barang untuk dijual. Dia membenturkan dua batu sehingga berbunyi nyaring, yang kemudian dijawab dengan suara batu dari sebelah.

Beberapa waktu kemudian dia kembali ke kampung halamannya di Oekussi. Meskipun lahir di Desa Napan, dia memilih jadi warga negara Timor Leste. Dia mengikuti suaminya yang lahir dan besar di Oekusi.

Mama Sinta mulai bangkit. Dia tetap melintasi perbatasan demi membeli sayuran dan sembako di Indonesia, kemudian dijual di Timor Leste. Dia lebih tangguh dari suaminya yang masih memendam trauma dan takut melintasi perbatasan.

Demi menyembuhkan trauma, Mama Sinta bergabung dengan sejumlah perempuan korban kekerasan dan sama-sama menenun. Dia melepaskan semua kesedihan dan duka melalui aktivitas menenun. Mereka menjadi perempuan tangguh. "Lebih baik kami pikir masa depan," katanya.

Saya ingat studi tentang perempuan Kolombia yang melepaskan trauma kekerasan melalui aktivitas membuat boneka. Sayangnya, saya tidak sempat bertanya padanya, apakah motif tenunan yang dibuat Mama Sinta ada kaitan dengan peristiwa yang dialaminya.

Saat menenun itulah, Mama Sinta teringat pada jenazah bapak kecil. Bersama warga desa lainnya, dia datang ke tebing itu demi menemukan jenazah bapak kecil. Saat ditemukan tulang-belulang, tangis Mama Sinta pecah. Dia kembali membayangkan saat-saat harus berlari di tengah desingan peluru.

Saya yang menyaksikan dirinya bercerita ikut terbawa haru. Rekan saya, Chelsea, peneliti asal Norwegia, ikut terguncang. Kami baru saja mendengar satu fragmen kisah mengharukan, serta kekuatan untuk bangkit dari situasi sesulit apapun. Dia seperti burung phoenix, yang selalu terlahir kembali saat terbakar.

Saya membatin, dunia akan jauh lebih indah jika tak ada perang, tak ada yang mengatasnamakan negara, tak ada yang mengatasnamakan kebenaran. Saya teringat musisi jenius asal Liverpool, John Lennon yang bernyanyi:

“Imagine there’s no heaven
Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Imagine all the people
Living life in peace”



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Jika seandainya manusia itu tidak mempercayai adanya surga dan neraka, seandainya manusia itu bebas tidak ada aturan formal, dan seandainyapun manusia tidak mempercayai agama... Apakah ada jaminan manusia akan hidup dalam damai? Ataukah malah berbagai kerusakan yg besar yg akan terjadi? Saya rasa manusia beeakal sehat akan mudah menjawabnya...

Posting Komentar