Di Waisai, Raja Ampat, saya bertemu sahabat Adji Rahmatullah. Kami sama2 beraktivitas di Jakarta, tapi jarang ketemu. Malah, kami ketemu di Raja Ampat untuk urusan berbeda.
Adji adalah pengusaha sukses yang berasal dari Sidrap dan Enrekang. Kedua wilayah ini ada di Sulsel. Ketika bertemu, Adji bercerita, dirinya ingin ketemu Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) yakni Haji Muhammad Said, seorang kontraktor besar yang mudah ditemui di Masjid Agung Waisai.
Di Raja Ampat dan banyak daerah di Papua, orang Bugis laksana petarung yang datang dengan semangat Vini Vidi Vici. Saya datang, saya lihat, dan saya menang. Mereka ada di semua lini bisnis dan dagang, juga masuk hingga sektor birokrasi. Jaringan KKSS bekerja efektif sebagai mesin yang bisa menguatkan jejaring warga.
Melihat semangat Adji yang meluap-luap, saya pun tergoda untuk bertemu rekan sekampung di sini. Menurut beberapa literatur, riwayat kedatangan orang Buton di pesisir timur Nusantara sama tuanya dengan kedatangan orang Bugis. Orang Buton yang ada di Papua, kebanyakan berasal dari Wakatobi, Cia-cia, juga orang Gu dan Lakudo. Tapi mereka semua memakai identitas Buton.
Dalam satu obrolan, peneliti LIPI, Riwanto Tirtosudarmo, pernah menyampaikan amatan tentang persebaran orang Buton di Maluku dan Papua. Menurutnya, orang Buton pertama membuka lapak-lapak kecil untuk menjual ikan, kasoami, atau kuliner lain. Ketika lapak itu mulai besar, datanglah pedagang Bugis yang membawa modal besar kemudian membuka toko. Setelah itu, orang Buton akan menyingkir lagi mencari lapak yang lain.
Bersetuju dengan Riwanto, orang Buton mewakili kultur rakyat biasa, jelata, juga pedagang kecil. Mereka proletar yang ada di pesisir dan mencari ikan, juga di gunung2 dan pasar rakyat. Saat di Sorong, dengan mudahnya saya temukan orang menggunakan bahasa Buton di pasar ikan.
Orang2 Buton membangun perkumpulan kecil dengan jaringan keluarga yang cukup mengakar, namun belum bisa memaksimalkannya menjadi satu kekuatan bisnis dan politik.
Tapi ketika melintas di ruas jalan utama, saya bisa kenali beberapa foto caleg yang menampilkan identitas Buton. Ada yang memakai ikat kepala seorang parabela, semacam kepala kampung dan tetua adat di Buton. Di tanah Buton, ini adalah pakaian tetua kampung, bukan pakaian bangsawan dan istana. Ada juga yang memakai jubah yang juga dikenakan parabela.
Yang menarik, mereka memakai semboyan dalam bahasa Wolio, bahasa yang digunakan di pusat pemerintahan Kesultanan Buton untuk memikat warga Buton perantauan. Ada yang menulis di baliho "Bolimo Karo Somanamo Lipu", yang merupakan bagian dari filosofi sara pataanguna di Buton.
Ada juga yang isinya ajakan dalam bahasa Wolio: "Mai taposaangu tamaogeaka lipuna Mia sii." Mari kita bersatu untuk membesarkan kampung orang di sini."
Saya melihat ada fajar baru yang terbit di pesisir timur. Orang Buton perlahan memasuki ruang politik. Mereka tak segesit orang Bugis di lapangan bisnis dan politik, tapi mereka bergerak beramai-ramai ala gerakan rakyat demi mendudukkan calonnya. Malah di satu daerah di Maluku, ada yang sukses jadi pimpinan daerah.
Sayang, selama beberapa hari di Waisai, saya tidak sempat ngobrol dengan salah satu orang Buton di sini. Interaksi saya hanya sebatas dengan orang Bugis. Tapi saat duduk di kapal menuju Sorong, ada seseorang berkulit hitam legam di kejauhan berteriak ke arah saya. "Pengkaanaka." Saya mengenali sapaan dalam bahasa Buton yang berarti hati-hati.
Saya menoleh kiri kanan, apakah saya yang disapa? Rupanya gadis manis berhidung mancung dan berwajah rupawan di sebelah saya yang rupanya sama-sama akan ke Sorong. Dia menjawab, "umbe" yang artinya iya.
Hmmm... Ada yang berdesir di hati ini. Ada sesuatu yang berbisik di hati. Perjalanan ini akan menarik dan terasa singkat.
0 komentar:
Posting Komentar