Makna Dukungan Alumni UI untuk JOKOWI




Ibarat macan tidur, kalangan alumni perguruan tinggi yang tadinya diam kini mulai menyatakan sikap. Mereka datang beramai-ramai ke Senayan demi menyampaikan dukungan agar Presiden Jokowi melanjutkan kepemimpinannya.

Media sosial dipenuhi berbagai respon. Ada yang melihatnya positif, ada pula yang melihatnya negatif. Semua respon itu menunjukkan bahwa aksi itu sukses menyita perhatian masyarakat Indonesia, khususnya para netizen.

Ada yang mengatakan, dalam banyak perubahan negeri ini, amat jarang kita menyaksikan perubahan sosial yang dipicu aksi alumni perguruan tinggi. Yang lebih banyak terjadi adalah akibat aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa aktif.

Namun, tetap saja dukungan dari alumni perguruan tinggi menjadi sangat penting bagi Joko Widodo. Mengapa? Kita bisa melihatnya dalam tiga argumentasi.

Pertama, adanya riset yang menyebutkan bahwa pemilih terbesar Jokowi pada pilpres 2014 lalu adalah mereka yang tinggal di pedesaan, dengan pendidikan ekonomi menengah ke bawah. Mereka melihat Jokowi sebagai orang dekat yang merupakan representasi mereka di dunia politik.

Idealnya, Jokowi merekrut wakil yang bisa merambah perkotaan sehingga daya jelajah keduanya saling melengkapi. Namun, Jokowi justru menggandeng Ma’ruf Amin yang notabene sama-sama memiliki akar yang kuat di pedesaan. Ini yang menyebabkan ada celah kosong bagi daya jelajah Jokowi di perkotaan.

Di sisi lain, pesaingnya yakni Prabowo Subianto malah menggandeng Sandiaga Uno yang identik dengan kelas menengah perkotaan. Keduanya jelas amat kuat di perkotaan sehingga relatif dikenal di masyarakat kota, serta mereka yang punya pendidikan menengah ke atas.

Nah, aksi yang dilakukan oleh alumni perguruan tinggi itu menjadi penting sebagai pernyataan terbuka bahwa masyarakat kota, dengan pendidikan menengah ke atas, telah menyatakan sikap untuk mendukung Jokowi. Ini penting untuk memperkuat daya jelajah di kota serta meyakinkan banyak kelompok lainnya.

Kedua, kelompok terdidik dan menengah perkotaan adalah kelompok yang paling mudah terpapar dengan hoaks dan informasi negatif. Sebab pengguna internet di perkotaan proporsinya adalah 73 persen dari total populasi. Terdapat banyak riset yang menyebutkan bahwa pemilih Prabowo adalah mereka yang akrab dengan internet.

Mengacu pada survei Indikator beberapa waktu lalu, pembicaraan tentang politik selalu mendapatkan konotasi negatif di dunia maya. Bisa dikatakan bahwa masyarakat kota adalah kelompok yang paling mudah untuk membenci sesamanya karena banyak virus kebencian memenuhi atmosfer dunia maya.

Kelompok ini mudah dipengaruhi dengan informasi dari situs abal-abal, serta informasi yang disusupkan melalui berbagai WhatsApp Grup. Makanya, pembicaraan tentang pejabat publik, termasuk petahana, lebih banyak berkonotasi negatif ketimbang positif. Sebab jauh lebih mudah mengkritik ketimbang menjalankan amanah untuk bekerja.

Pihak oposisi menjadi pihak yang paling lincah bergerak dalam memanfaatkan internet untuk menyebar kritik kepada petahana. Mereka dengan mudah bisa leluasa menemukan celah yang bisa diolah menjadi amunisi untuk menembak kerja-kerja petahana, baik itu amunisi yang penuh argumentasi maupun yang dipenuhi hoaks.

Informasi ini semakin menebalkan ketidaksukaan pada petahana. Semua permasalahan selalu dikembalikan pada ketidakmampuan petahana. Harapan dihembuskan seperti angin surga yang dengan cepat bisa memenuhi ruang publik tentang perlunya sosok baru.

Ketika ribuan alumni perguruan tinggi menyatakan sikap secara terbuka, maka itu bisa dipastikan akan meramaikan ruang-ruang media sosial. Bisa dibayangkan betapa jagat maya sontak penuh dengan foto aksi serta liputan berbagai media. Semua orang akan menyampaikan sikap politik secara terbuka dalam situasi yang penuh ruang gembira.

Ketiga, meskipun kalangan menengah perkotaan mudah terpapar virus informasi, kalangan ini lebih open mind dan terbuka dalam menyatakan pilihan, khususnya kalangan milenial. Bagi kelompok ini, isu-isu yang marak di kalangan mereka adalah kebebasan dan keamanan, serta kestabilan.

Dalam beberapa survei, kelompok menengah perkotaan adalah kelompok yang selalu terakhir menentukan pilihan. Makanya, tugas semua kandidat presiden adalah bagaimana meyakinkan kelompok ini agar bersedia menyatakan pilihan lebih awal sehingga diharapkan bisa menarik rekan-rekannya yang lain.

Pada dasarnya, kelompok menengah perkotaan tidak nyaman dengan pernyataan-pernyataan provokatif yang pesimis, serta gambaran suram tentang masa depan. Sudah bukan rahasia lagi kalau narasi kubu oposisi banyak menggambarkan hal-hal yang suram tentang masa depan bangsa ini.

Di tambah lagi dengan kemasan isu-isu agama, pesan lebih cepat mengarah ke ketidaksukaan pada pihak pemerintah. Beberapa riset menyebutkan, kelompok menengah perkotaan adalah kelompok yang lebih suka dengan kegiatan-kegiatan yang kreatif dan penuh inspirasi.

Di tambah lagi, relawan Jokowi pada periode lalu adalah mereka yang kaya dengan ide-ide kreatif dan menghibur. Kita bisa lihat konser salam dua jari, kartun Jokowi ala Tin Tin, hingga gambar di media sosial bertemakan “I stand on the right side.”

Nah, aksi yang dilakukan alumni UI dan perguruan tinggi lainnya menjadi penting untuk memberikan pencerahan kepada publik bahwa kalangan menengah perkotaan mulai bergerak dan menyatakan dukungan.

Tugas Jokowi selanjutnya adalah bagaimana meyakinkan relawan dan pemilihnya dahulu kalau dia bisa membawa harapan bagi Indonesia yang lebih baik. Strategi yang paling bisa ditempuhnya adalah bagaimana menarik kalangan milenial dan perkotaan untuk sama-sama optimis dan menatap Indonesia yang lebih baik, dengan cara tetap bekerja dan berjalan bersama.

***

NAMUN, pihak Jokowi tak perlu terlalu percaya diri dengan dukungan yang ditunjukkan para alumni perguruan tinggi. Tim Jokowi jangan terlalu ge-er dengan pernyataan dukungan dari alumni perguruan tinggi.

Harus diakui aksi itu mengubah mindset mereka yang selama ini memilih diam dalam menyatakan dukungan. Kini, banyak orang yang secara terbuka menyatakan siap mendukung Jokowi. Beberapa simpul relawan mulai bangkit.

Namun, satu aksi saja rasanya tak cukup. Pihak tim sukses Jokowi mesti merumuskan bagaimana meramu bagaimana strategi untuk tetap memelihara dukungan publik melalui aksi-aksi yang lebih konkret dan punya daya ledak.

Salah satu strategi yang bisa ditempuh adalah memperbanyak testimoni-testimoni dari kalangan menengah perkotaan untuk meramaikan materi di media sosial. Sebab ada kecenderungan orang-orang lebih suka mendengar sesamanya bercerita ketimbang menghadapi sodoran timbunan data.

Orang lebih suka dengan obrolan dan cerita apa adanya, ketimbang dihadapkan dengan angka-angka keberhasilan pemerintah. Sejauh yang saya lihat, testimoni keberhasilan serta pengakuan kerja-kerja pemerintah belum banyak digarap semua tim kerja Jokowi.

Yang lebih banyak muncul adalah aksi ikut menari pada genderang tim lawan. Makanya, tim sukses Jokowi ikut-ikutan menari pada isu-isu yang tidak substansial. Posisi tim kerja Jokowi adalah menyediakan lahan gembur bagi tumbuhnya berbagai komunitas relawan yang akan menjadi ‘penyambung lidah’ dari Jokowi kepada rakyat.

Kekuatan kerja relawan yang memiliki narasi bersama menjadi penting untuk tetap menjaga branding Jokowi agar tetap melanjutkan kerja-kerjanya di dunia politik. Sejauh ini tim Jokowi diuntungkan karena oposisi juga tidak banyak menyebarkan aura positif dan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Namun, pengaturan strategi dan pengelolaan isu menjadi penting agar masa depan bisa seperti yang dicita-citakan bersama.

Tim sukses dan relawan Jokowi harus mencamkan baik-baik kutipan penting dari Sun Tzu: “Strategi tanpa taktik adalah jalan yang paling lama menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi hanyalah kebisingan menuju kekalahan.”



0 komentar:

Posting Komentar