Prof Susanto Zuhdi |
SEORANG kawan mahasiswa program doktor bidang sejarah Universitas Indonesia (UI) mengirimkan saya undangan untuk menghadiri orasi sejarah dari Profesor Susanto Zuhdi, sejarawan di Universitas Indonesia (UI). Guru besar sejarah yang kini berusia 65 tahun itu itu akan berorasi tentang Buton sebagai kesadaran sejarah.
Saya sangat antusias untuk menghadiri acara ini. Susanto bukan orang lain bagi saya. Selain karena dia adalah salah satu penguji yang membawa saya pada gelar magister di Universitas Indonesia, dia juga menulis kajian tentang Buton saat menyusun disertasinya. Sejauh ini, jika dilihat dari banyaknya sumber serta analisis yang mendalam, kajian yang dilakukan Susanto, saya anggap sebagai studi paling bagus tentang Buton.
Saya teringat pada pengantar buku The Bugis dalam versi bahasa Indonesia yang dibuat Nirwan Ahmad Arsuka. Buku yang dibuat Christian Pelras itu disebut sebagai salah intan yang amat berharga, yang memperkaya khasanah intan sejarah dan menjernihkan pengetahuan tentang Bugis, yang kadang berkilau membutakan akibat informasi yang tidak memadai.
Saya pun ingin mengatakan kajian sejarah yang dilakukan Profesor Susanto Zuhdi mengenai Buton dalam buku Labu Wana Labu Rope serupa intan yang berkilau. Kajian Susanto telah memberi cahaya terang atas pengetahuan sejarah Buton yang lebih banyak mitos dan kisah-kisah besar.
Susanto berani keluar dari barisan sejarawan yang hanya fokus pada pulau besar ataupun kota-kota besar. Susanto berani mengkaji Buton sebagai pulau kecil yang selama puluhan tahun terabaikan dalam peta sejarah nasional. Dia menunjukkan dinamika sejarah di pulau kecil, serta perlunya untuk memahami Indonesia dari tepian, dari pulau-pulau terabaikan.
Selama sekian tahun sebelum Susanto menulis, pengetahuan tentang sejarah Buton lebih banyak didominasi prasangka dan penilaian sepihak. Makanya, ada anggapan tentang sejarah yang terlampau dibesar-besarkan serta dipenuhi mitos sana-sini. Di sisi lain, sejarah juga berlumur anggapan yang melihat Buton hanya sebagai pulau kecil di tengah pulau besar sejarah di tanah air.
BACA: Sufi Besar, Tasawuf, dan Naskah di Pulau Buton
Makanya, kajian Susanto menjadi penting. Fakta bahwa dirinya bukan orang Buton bisa menjaga kejernihan pandangannya, sekaligus menjaganya agar tidak melakukan dramatisasi, sebagaimana dilakukan para beberapa orang di Buton. Susanto juga berbekal metodologi sejarah yang ketat. Cara kerjanya sangat ketat dan teliti. Dia akan sangat kritis pada sumber yang digunakannya, demi mencapai apa yang disebut sebagai kebenaran sejarah.
Dalam kajian sejarah, sekadar klaim keturunan dari si A dan si B bukanlah jaminan akan kebenaran. Sebab kebenaran ditemukan melalui prosedur metodologi yang ketat. Seorang sejarawan mesti membawa timbunan data lapangan, kemudian memilah-milah, lalu menguji data itu dengan data lainnya. Sejarawan yang besar dalam tradisi ilmiah selalu hati-hati dalam memberikan penilaian. Dia memahami subyek kajiannya dengan sangat dekat, tapi dia juga tetap menjaga jarak obyektivitas agar analisisnya tidak bias.
Susanto meletakkan Buton dalam posisi yang proporsional. Dia mengolah arsip-arsip pemerintah kolonial, tapi tetap juga memberi ruang pada naskah dan tradisi lokal di Buton. Dia mengawinkan arsip kolonial dengan naskah beberapa kabanti, syair tradisi lisan di Buton, demi mencapai pemahaman mendalam atas peristiwa yang sedang dibahasnya.
Baginya, suara dan dinamika orang Buton patut untuk didengarkan. Dia mengingatkan saya pada Clifford Geertz yang mengatakan perlunya memahami sesuatu pada level yang sangat mikro demi membangun pemahaman pada skala makro. Dengan memahami hal kecil secara mendalam, kita bisa merefleksikannya untuk memahami sesuatu yang besar.
Saya tak pernah bosan membaca karyanya yang berjudul Labu Wana Labu Rope yang berkisar tentang Kesultanan Buton pada abad ke-16 dan abad ke-17, periode di mana Buton berada dalam tarik-menarik antara Gowa dan Ternate. Susanto menjelaskan dengan sangat baik posisi Buton dalam dinamika dua kerajaan besar itu, serta kedatangan Belanda. Buton berada dalam tarik-menarik tiga kekuatan besar ini sehingga kanvas sejarahnya bayak diisi perjumpaan juga konflik.
Namun bukan berarti Buton hanya menyerah dan tunduk pada Belanda. Susanto menunjukkan fakta-fakta sejarah bahwa relasi antara Buton dan Belanda adalah sekutu, tetapi juga seteru. Ada saat di mana mereka berkawan, tetapi ada pula saat ketika konflik memanas sehingga terjadi ajang baku tikam untuk saling bunuh, yang digambarkan dalam kisah Kaheruna Walanda yang dikutipnya dari naskah kolonial dan kabanti.
Kalaupun ada anggapan bahwa Buton tunduk buta pada Belanda, maka pastilah tak didasari kajian mendalam. Susanto menunjukkan hubungan keduanya yang ambigu dan tak jelas, mana tuan (lord) dan mana taklukan (vassals). Sejarah mencatat betapa seringnya konflik sehingga hubungan keduanya ibarat pasang surut. Bahkan seorang sultan yakni Oputa Yi Koo bertarung sampai titik darah penghabisan sebab menolak damai dengan Belanda.
Saya menyukai penjelasannya tentang budaya dan struktur sosial yang menyediakan makna dan batasan di sisi lain. Sultan Buton menggunakan tradisi dan ekspresi budaya untuk melegitimasi kepemimpinannya di hadapan rakyat dan kerajaan sekitar. Meski demikian, posisi ini tak selalu baik-baik saja di hadapan para pemimpin kerajaan kuat lainnya, ataupun kolonial Belanda. Yang terjadi adalah masing-masing saling berkontestasi dan saling bersaing demi mendapat akses demi mengamankan jalur perdagangan rempah-rempah internasional.
***
SEPERTI yang telah saya katakan di atas, kajian yang dilakukan Susanto ibarat intan bagi para pengkaji kerajaan maritim, termasuk pemerhati Kesultanan Buton. Seorang kawan bercerita bahwa buku Labu Wana Labu Rope itu akan dicetak ulang dan direvisi beberapa bagian. Saya menyambutnya dengan gembira dan berharap bisa menemukan hal-hal baru yang tak ditemukan dalam buku sebelumnya.
Tentu saja, saya akan hadir di acara ini. Bukan saja karena selalu tertarik pada apa pun mengenai kampung halaman, tetapi juga ingin memberikan apresiasi pada guru besar yang mendedikasikan hidupnya untuk mempersembahkan intan berharga agar generasi Buton tidak lantas kehilangan budayanya. Saya ingin menjabat tangan Prof Susanto sembari mengucap terima kasih atas kajiannya yang berharga.
Biasanya, kebahagiaan para peneliti adalah ketika berhasil mempersembahkan kembali mutiara berharga tentang satu masyarakat yang nyaris lenyap dan terabaikan di tengah dengus napas modernisasi. Pada titik ini, saya menilai Susanto telah mewariskan banyak hal untuk orang Buton.
Terima kasih Prof.
1 komentar:
assalamu alaikum..
bang sy faharudin dosen fakultas hukum unidayan baubau...bisa minta email atau nomor kontaknya...
Posting Komentar