Melihat Dedy "Mi'ing" Gumelar dari Dekat


Mi'ing (tengah) bersama Didin dan Unang sesama pendiri Bagito

DI berbagai rezim, Bagito selalu mengalirkan kritikan deras demi melihat Indonesia lebih baik. Kritikan itu disampaikan dalam bahasa humor yang kreatif dan selalu pas di hati. Tak menyakiti siapa pun, namun terasa menohok. Mereka yang pernah hidup di zaman Soeharto pasti paham bahwa Bagito berkontribusi pada upaya menumbuhkan kesadaran kritis yang memuncak pada aksi-aksi menjatuhkan rezim.

Saya merasa amat beruntung bisa kenal dan akrab dengan Mi’ing, tokoh utama di grup yang anggota lainnya adalah Didin dan Unang. Setelah lama bersua Mi’ing, saya mencatat betapa banyaknya pelajaran dan keping-keping hikmah dari komedian yang kini berusia 60 tahun itu. 

***

DI depan panggung restoran Kampung Laut di Semarang, Jawa Tengah, dia duduk menghadapi meja dengan banyak makanan. Restoran luas yang menyediakan seafood itu terbilang ramai di malam hari. Ketika datang, saya tak sulit menemukannya. Semua pelayan di restoran itu langsung menunjuk posisinya saat saya menyebut namanya. Dia seorang komedian yang paling sering tampil di televisi. Dia adalah Dedy Gumelar atau kerap disapa Mi’ing.

Untuk pertama kalinya saya datang ke restoran terapung ini. Suasananya dibuat serupa pedesaan Jawa yang asri dan hening. Dari gerbang menuju restoran, saya melewati titian bambu yang di kiri kanannya terdapat lampu serupa obor. Restoran ini didirikan di atas empang yang di dalamnya terdapat banyak ikan berseliweran. Di siang hari, banyak orang datang memancing di sini, kemudian ikan tangkapan diolah oleh pihak restoran.

Di tempat itu, ia sedang duduk ditemani asistennya Kang Jana. Saya pikir saya telat datang. Dia telah usai makan malam. Tiba-tiba saja dia memanggil pelayan restoran itu. Dia memesan satu buah kelapa muda, yang airnya disimpan di gelas. Ketika pesanannya datang, mulailah ia mengeruk isi kelapa muda itu. “Saya selalu suka makan daging kelapa muda. Segar dan sehat,” katanya.

Mi’ing hadir di Semarang atas undangan dari Kami Indonesia untuk memberikan motivasi kepada ribuan mahasiswa di sana. Dia diharapkan berbagi kisah sukses, bagaimana meniti karier dari nol hingga mencapai posisi hari ini. Dia diharapkan bisa berbagi pengalaman yang diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi anak muda milenial. 

BACA: Lima Badik Abraham Samad

Jika selama ini dia selalu tampil di televisi dan layar film mengikuti skenario tertentu, maka kali ini dirinya diharapkan menjadi skenario sendiri. Dia tak diminta berperan sebagai orang lain, namun sebagai dirinya sendiri. Dia diminta untuk bercerita bagaimana meniti karier hingga berada di posisi puncak dunia hiburan. 

Pada tahun 1992, grup lawak Bagito yang dipimpinnya menerima bayaran hingga 3 miliar lebih, pada saat kurs dollar masih di angka 2000 rupiah. Bagito adalah grup lawak pertama yang diundang manggung ke Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara lain. Bagito adalah grup lawak pertama yang personelnya mendapatkan bayaran berupa mobil BMW seri terbaru.

Di mata saya, Bagito adalah grup lawak yang membangun arah baru dunia komedi. Mereka tak sekadar menghadirkan kelucuan, tapi juga dnegan berani menyisipkan pesan-pesan bertemakan sosial politik yang menyindir rezim di zamannya. Bagito membawa arah baru komedi yang cerdas, peka dengan kondisi sekitar, dan berperan penting dalam merawat kesadaran kritis melalui tingkah humor di pentas dan layar kaca.

Sebagai generasi yang pernah menyaksikan bagaimana Bagito menghibur di layar kaca, saya selalu penasaran bagaimana awal grup ini? Apakah mereka langsung hebat sebagai komedian?

“Saya tak pernah malu mengakui masa silam saya,” demikian Mi’ing membuka percakapan. Dirinya lahir di Lebak, Banten, dari ayah yang bekerja sebagai tentara, dan ibunya seorang guru yang kemudian beralih profesi menjadi penjahit dan berdagang kue. Mentalnya terasah sejak kecil saat membantu ibunya berjualan kue. Hingga akhirnya setelah lulus SMP, dia memutuskan untuk merantau ke Jakarta demi hidup yang lebih baik.

Dirinya lalu menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Pemprov DKI Jakarta. Latar belakang pendidikan yang alumnus STM menempatkan dirinya di bagian arsip bangunan. Akan tetapi, bakat seni dan keinginan kuat untuk merambah dunia hiburan membuat dirinya mengambil keputusan berani. Dia mundur dari PNS dan fokus menjadi pelawak dan penyiar radio.

bersama Mi'ing di Restoran Kampung Laut, Semarang

Dia mengajak adiknya Didin Pinasti yang pada masa itu adalah pegawai di Mahkamah Agung (MA), juga Unang yang sebelumnya bekerja sebagai pelukis kue. Mereka lalu membentuk grup lawak Bagito dan mulai memberanikan diri ikut berbagai lomba lawak. Jalan karier mereka mulai terbentang saat sering jadi juara di lomba lawak itu. Tapi bukan berarti ekonominya membaik. 

Mi’ing bercerita kesulitan hidupnya yang pulang melawak tengah malam dalam keadaan tidak punya uang. “Dulu lapangan banteng kan terminal. Saya sama Didin dan Unang nyaris dipalak karena dikira baru datang dari Jawa. Padahal saya jalan kaki dari Ancol untuk melawak karena tidak punya uang. Premannya malah kasihan. Kami dikasih duit,” katanya sembari memandang layar televisi.

Saat Mi’ing bercerita, layar televisi di restoran tengah menayangkan film yang dibintangi Warkop DKI yang personilnya adalah Dono, Kasino, dan Indro. Ketika pelayan restoran hendak memindahkan channel televisi, Mi’ing protes. Dia memperhatikan film itu, sembari termenung. Dia bercerita tentang karier-nya yang dimulai dari kedekatan dengan Warkop DKI. 

Sebelum di Bagito, dia menjadi tim kerja Warkop DKI. Dia menyiapkan semua perlengkapan dan kebutuhan trio pelawak legendaris itu. “Bahkan saya membawa setrika kecil untuk menyetrika jas yang mereka kenakan. Saya juga tahu apa saja obat dan vitamin yang mereka konsumsi,” katanya.

BACA: Iwan Fals: The Voice of Rebellion

Setiap kali Warkop DKI manggung di satu kota, Mi’ing diminta untuk datang lebih dahulu ke kota itu. Pada masa belum ada Google sebagai sumber informasi, Mi’ing bertugas mengumpulkan semua informasi tentang kota itu, termasuk apa saja jenis humor dan joke-joke yang bisa bikin orang tertawa. “Saya berkunjung ke pasar dan terminal. Saya bawa alat perekam dan mewawancarai banyak orang. Mulai dari preman, mandor terminal hingga warga biasa. Saya tanyain di mana lokalisasi, tempat-tempat ramai, juga apa saja yang lagi heboh di situ,” katanya mengenang.

Semua bahan itu kemudian diketik lalu diperlihatkan kepada personel Warkop DKI. Cara kerja Mi’ing mengingatkan saya pada cara kerja peneliti lapangan yang selalu merekam dan mencatat percakapan sehari-hari kemudian diolah menjadi laporan riset. Baru saya tahu kalau dunia komedi pun mewajibkan adanya riset. Tanpa melakukan riset sebagai upaya mengenal audience, bahan humor yang disiapkan tidak akan dipahami orang. Humor itu tak akan lucu sebab kehilangan konteks dan relevansi.

Pendekatan ini diterapkan Mi’ing bersama Bagito. Ketika menjadi pelawak radio, dia juga berupaya membaca media dan mengikuti perkembangan isu agar lawakannya tidak “garing.” Setiap kali manggung, dia harus ada di lokasi dua jam sebelumnya. Dia akan berdiri di belakang panggung sembari menatap penonton. Dia berusaha untuk tahu siapa saja yang hadir, siapa pejabat yang datang, dan bagaimana suasana gedung. 

Pernah, dirinya memarahi Didin yang terlambat datang ke lokasi pertunjukan. “Siapa lu? Emang lu bisa lucu kalau telat kayak gitu?” katanya. Dunia komedi yang dituturkan Mi’ing mengingatkan saya pada salah satu strategi perang ala Sun Tzu yang berbunyi: “Kenali dirimu, kenali lawanmu, dan kau akan memenangkan seribu pertempuran.”

Mungkin ini pula rahasia mengapa Bagito sedemikian laris. Personelnya rajin mengamati kondisi sosial, memahami apa yang tengah dirasakan masyarakat, kemudian mengolahnya menjadi lawakan yang segar dan bermutu. Pada masa ketika grup lawak mengandalkan komedi slapstick yakni komedi ala terpleset kulit pisang, Bagito datang dengan resep humor yang cerdas. Penonton Bagito pun meluas, Tidak hanya mereka yang setiap hari di terminal dan pasar-pasar, tapi juga mereka yang berada di gedung-gedung mewah.

Bermula dari grup kecil yang hanya manggung di pentas lawak, Bagito terus melejit. Mi’ing tidak menyangka garis takdir Bagito menempatkannya sebagai pelawak pertama yang memiliki acara atau program di stasiun televisi RCTI. Selama 18 tahun, Bagito meramaikan layar kaca RCTI dengan humor cerdas dan kritik pada pemerintah. 

Tak disangka, grup kecil yang dibentuk Mi’ing karena desakan ekonomi itu tumbuh membesar dan paling laris pada masanya. “Andaikan dulu saya tetap jadi PNS, mungkin genteng rumah saya masih bocor. Kalau saja dulu saya bermental cemen, mungkin saya tak akan mencapai posisi seperti sekarang,” kata Mi’ing.

Keberanian itu mengundang risiko. Dirinya beberapa kali dipanggil Kodam Jaya, diperiksa polisi, hingga dicekal di stasiun televisi milik pemerintah. Tapi sebagaimana dikatakannya, kebenaran harus dikabarkan. “Seniman harus menjadi reflektor dinamika masyarakat.”

*** 

“Apakah semua yang hadir di sini masih kenal saya?” tanya Mi’ing di hadapan ribuan mahasiswa UIN Wali Songo, Semarang. Semua mahasiswa berteriak kenal. Tapi Mi’ing tak percaya. “Saya yakin kalian tak kenal saya sebab sudah lama saya tidak muncul di tivi. Tapi kalau kalian buka Youtube dan mencari Bagito, pasti akan tahu masa silam saya,” katanya dengan gaya yang dimiripkan Dilan, sosok yang tengah disukai banyak anak muda berkat novel karangan Pidi Baiq.

Di panggung itu, Mi’ing tetap memesona. Dalam kemasan ala standup comedy, dia tetap energik dan membuat semua orang terpingkal-pingkal. Dia sempat mengutip puisi Taufiq Ismail yang bunyinya mahasiswa takut pada dosen, dan terakhir presiden takut pada mahasiswa. Ia menambahi puisi itu dengan kalimat “Presiden takut pada kaos.” Semua hadirin tergelak.

Mi’ing masih seperti dulu. Setelah malang-melintang di dunia hiburan, dirinya menjadi politisi. Dia menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014 melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dia juga mengembangkan bisnis di bidang penyedia baja untuk konstruksi. Biarpun dirinya sudah menjadi politisi yang sering tampil di talkshow televisi, dirinya tetap membumi. Dia tetap sosok yang humoris, merakyat, dan selalu ingin membahagiakan siapa pun.

bersama Mi'ing

Selama dua bulan sering bertemu Mi’ing, saya selalu tak percaya saat dirinya membahas usianya yang sudah 60 tahun. Saya pikir dirinya sedang bercanda. Tapi dua hari ini, saya memantau akun instagram-nya yang menyebutkan dirinya ulang tahun ke 60. Barulah saya mengecek Wikipedia dan melihat informasi dirinya yang lahir pada 27 April 1958. Dirinya memang berusia 60 tahun. 

Padahal fisiknya masih seperti anak muda usia 40-an tahun. Mi’ing bercerita kalau dirinya pernah menghadiri reuni dengan teman segenerasinya. Dia seolah-olah berkunjung ke panti jompo, ketika temannya menua, dan dirinya masih tampak muda. Mungkin saja, sikap optimis dan membuat hidup menjadi lebih lucu berkontribusi pada fisiknya yang selalu tampak muda.

BACA: Rhoma Irama di Mata Profesor Amerika

Di usia yang tak lagi sepuh, Mi’ing terlihat semakin bijaksana. Dia terlihat lebih arif dalam memandang kenyataan. Lawakannya tetap menyengat, tapi dirinya tidak kehilangan kesantunannya. Pernah, saat manggung di acara Kami Indonesia di Bali, Mi’ing sempat meledek moderator bernama Diana. Beberapa jam setelah acara itu, Mi’ing meminta saya untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Diana karena menjadikannya bahan lawakan. Bahkan dia ingin Diana ikut makan siang bersama kami.

Kalimatnya juga kian filosofis. Dia fasih menjelaskan gaya komedi Bagito. “Bagito diharapkan menjadi media katarsis yang memindai ketidakadilan, keterpurukan ekonomi, kembali menjadi penyejuk. Kami menjadi reflektor yang memotret kehidupan masyarakat," katanya.

Dia mengaku tidak lagi mengejar popularitas. Setelah 14 tahun berhenti melawak, rejekinya tetap lancar. Kini ia merencanakan sesuatu yang lebih substantif. Dia berbagi pengalaman kepada banyak anak muda, memberikan pemahaman kepada mereka tentang kehidupan yang begitu banyak pilihan, serta menguatkan karakter. Dia ingin anak muda punya mental baja.

“Indonesia butuh anak muda bermental baja. Indonesia tidak butuh anak muda bermental cemen,” katanya dalam banyak kesempatan.

Biarpun sering mendengar kalimat itu diucapkannya, saya selalu saja tergetar saat mendengarnya. Saya melihat Mi’ing telah mencapai level kebijaksanaan yang tak sembarang bisa dicapai oleh orang lain. Dia mengingatkan saya pada seorang pesilat yang sudah berada di level begawan yang tak lagi memikirkan dirinya, namun memikirkan orang lain.

Kini dirinya aktif dalam banyak kegiatan sosial. Dirinya membangun perpustakaan di banyak desa. Dirinya juga ikut memberikan motivasi kepada anak-anak muda agar selalu bermental baja. 

Pada Mi’ing saya menemukan pelajaran hidup. Jika kehidupan telah memberikan banyak hal pada seseorang, maka ada masa di mana seseorang akan berbuat sama pada kehidupan di sekitarnya. Menjadi pohon kokoh memang baik, namun jauh lebih baik menjadi tanah gembur yang memberikan nutrisi agar semua tumbuhan bisa kuat berpijak, akarnya menghujam ke dasar bumi, dan daun-daunnya memberikan udara bagi semesta. 

Selamat ulang tahun Bang Mi'ing.


0 komentar:

Posting Komentar