Kekurangan Buku di Bazar Buku Terbesar Big Bad Wolf


suasana di Big Bad Wolf

JIKA Anda mengira surga adalah ruang besar yang dipenuhi berbagai jenis buku, datanglah ke bazar buku Big Bad Wolf yang berlokasi di Indonesia Convention Exhibiton (ICE) di Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang. Anda akan menemukan surga berupa ribuan buku yang terhampar, serta kegirangan bertemu para kutu buku yang setia menelusuri semua rak demi membawa berpeti buku untuk dibawa pulang.

Hari ini, Minggu (1/4), saya datang ke ajang ini bersama keluarga. Dari Bogor, kami melalui tol lingkar luar, kemudian berbelok ke tol menuju Serpong. Setelah sampai BSD, kami hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk tiba di ICE. Ketika memasuki gerbang festival, saya melihat ribuan buku berjajar rapi dan diperebutkan banyak orang.

Bazar yang menjual buku-buku impor yang berbahasa Inggris ini menawarkan diskon yang cukup besar. Jika berbelanja di Periplus atau situs Amazon, harga buku impor bisa sampai 400 ribu ataupun 500 ribu rupiah. Namun di ajang ini, harganya bisa turun hingga 85 ribu rupiah. Semua buku itu masih baru, masih dalam kemasan plastik.

Bagi yang hendak ke pameran buku ini, sebaiknya mempersiapkan beberapa hal. Di antaranya, usahakan agar makan dulu sebelum datang. Sebab lokasi pameran yang amat besar ini tak banyak dihiasi boot makanan dan minuman. Jika tak ingin kelaparan saat ke sini, sebaiknya isi perut lebih dahulu. 

Persiapan lain yang jauh lebih penting adalah usahakan membawa duit yang cukup banyak. Sebab, seperti beberapa kali saya katakan, buku itu ibarat candu. Saat mengumpulkan buku demi buku, Anda bisa tidak sadar kalau uang telah menipis. Makanya, saat hendak ke toko buku, saya berusaha tidak membawa dompet, atau minimal tidak bawa ATM. Terlampau sering, saya menghabiskan uang demi buku, lalu lupa alokasi untuk kebutuhan lain.

Sebelum ke ajang ini, saya menulis daftar buku yang saya inginkan. Yang paling saya inginkan adalah buku-buku non-fiksi terbaru bertemakan sosiologi, antropologi, dan komunikasi. Jika ada literatur baru di bidang filsafat dan pengetahuan populer, bolehlah masuk dalam daftar. Saya juga mencatat beberapa buku yang pernah memenangi Pulitzer, juga beberapa penulis yang saya idolakan, seperti Thomas L Friedman, Karen Amstrong, Joseph Stiglitz, William Easterly, ataupun Daron Acemoglu. Saya juga hendak mencari karya-karya para peraih nobel, jurnalis senior, pemikir sosial dan politik, juga beberapa riset terbaru. 

Ternyata saya memang kecele. Pameran buku ini adalah surga bagi penggemar buku kanak-kanak. Segala jenis buku anak bisa ditemukan di sini, mulai dari yang penuh gambar, hingga yang dilengkapi audio, dan juga beberapa puzzle ataupun permainan. Bagi penggemar fiksi, khususnya fiksi populer, pameran ini juga serupa surga. Sayangnya, buku Harry Potter and the Cursed Child tidak saya temukan di sini. Padahal di brosur, buku ini hanya dijual seharga 160 ribu rupiah. Jika membeli di toko buku, harga buku The Cursed Child itu seharga 484 ribu rupiah. Lebih murah membeli di situ kan? Betapa saya kecewa karena stok buku itu amat terbatas.

Koleksi non-fiksi di pameran ini tak seberapa banyak. Buku non-fiksi tenggelam di tengah lautan buku anak-anak serta novel populer. Itu pun koleksi non fiksi kebanyakan adalah buku-buku bertemakan bisnis dan self-help. Buku-buku bisnis yang dijual di situ, kebanyakan berisi motivasi. Demikian pula buku self-help, yang kebanyakan berisi buku agar bisa percaya diri dan punya semangat baja.

Lama berkeliling, saya akhirnya membawa pulang tiga buku yakni A Creator’s Guide to Transmedia Storytelling yang ditulis Andrea Philips, The Social Organism, dan buku From Guttenberg to Zuckerberg: Disruptive Innovation in the Age of the Internet. Masing-masing buku yang cukup tebal dan dicetak hard-cover ini hanya seharga 85 ribu rupiah. Jumlah yang cukup murah untuk ukuran buku asing. 

Buku yang saya beli hari ini

Sejujurnya saya agak kecewa karena tak menemukan banyak buku yang saya inginkan. Jika dipikir-pikir, tema-tema buku yang dijual di pameran ini mirip-mirip dengan yang tersaji di berbagai toko Gramedia. Buku yang banyak di situ adalah novel, buku motivasi bisnis, dan buku anak-anak, juga buku agama. 

Sementara buku-buku non fiksi yang populer ataupun serius semakin jarang tampil di toko buku. Makanya, untuk menemukan buku yang saya inginkan, saya lebih suka mengecek lewat penjualan online ataupun langsung membuka web penerbit yang menyajikan buku sejenis. Saya pun bisa menemukan review dari orang-orang mengenai buku itu. Melalui online, saya bisa berdialog langsung dengan penerbit, lalu memesan beberapa buku yang diinginkan.

Saya percaya, pihak toko buku hanya memajang buku-buku yang laku dan disukai masyarakat. Sementara buku-buku seperti yang saya inginkan tidak masuk dalam daftar. Saya sadar bahwa minat baca kita orang Indonesia hanya pada buku-buku tertentu. Tapi, bisa juga karena tidak banyak penulis yang bisa mengemas bukunya menjadi lebih menarik. 

Saya rasa Indonesia tidak punya penulis sekelas Thomas L Friedman yang bisa menulis perkembangan terbaru di bidang sosial politik dan budaya dalam kemasan populer. Selama ini, kita hanya menemukan tipe penulis yang serius, penuh data dan angka, sehingga tidak menarik saat dibaca. Buku sejenis hanya dibaca kalangan kampus, bukan kalangan awam. 

Padahal, di luar negeri, para ilmuwan bisa menulis konsep-konsep dengan cara yang sederhana dan bisa dimengerti. Barangkali, ilmuwan kita yang cukup produktif dan bisa menulis dengan menarik adalah Rhenald Kasali. Harusnya banyak sepertinya dari berbagai disiplin ilmu yang bisa mengatasi rasa haus jutaan orang Indonesia akan bacaan bermutu.

Namun dalam hal penulisan kolom dan esai, kita mengenal banyak penulis yang menyajikan buku bagus. Di antara beberapa nama yang saya catat adalah Emha Ainun Najib, Mohammad Sobary, dan Goenawan Mohamad. Melalui kolomnya, mereka telah membuat mata kita lebih terang dalam menatap setiap keping realitas.

Seusai mencari buku, saya lalu bersiap untuk membayar. Anak dan istri bergabung. Ternyata mereka jauh lebih banyak membeli buku. Saya perhatikan, mereka membeli berbagai jenis buku anak yang kesemuanya menarik. Anak saya Ara belakangan ini suka membaca buku berbahasa Inggris. Dia pun mulai pandai bercakap dalam bahasa Inggris. Padahal saya tak pernah mengajarinya di rumah. 

Kata ibunya, dia belajar melalui situs game di Youtube. Setiap hari, dia rajin menonton tutorial game di Youtube, setelah itu mulai memainkannya di HP ibunya. Keseringan menonton tutorial itu membuat kecerdasan berbahasanya meningkat. Setelah dirinya mulai suka baca, dirinya mulai menuntut dibelikan buku-buku.

Dalam hal buku, saya selalu mengiyakan apa yang diinginkannya. Biasanya saya akan minta jaminan dirinya membaca buku itu. Jika tak dibaca, saya tak akan membelikan. Dia selalu menyanggupi, tapi kadang kembali minta penawaran, yakni dibelikan es krim dan kue-kue. Tak apa Nak, yang penting bukunya dibaca.

Dari arena bazar buku Big Bad Wolf, saya memikirkan betapa banyaknya buku baru yang menumpuk di rumah dan belum dibaca. Tapi, entah kenapa, ada rasa girang kala memikirkan betapa asyiknya menghabiskan satu demi satu buku itu.(*)


0 komentar:

Posting Komentar