Lima Badik Abraham Samad


Di Cina, mantan pemimpin lembaga pengawas anti-korupsi terpilih sebagai Wakil Presiden Cina dan mendampingi Xi Jinping. Apakah takdir yang sama akan berlaku untuk Abraham Samad dan terpilih sebagai Wakil Presiden? Apakah dirinya siap mengemban amanah yang lebih besar dari sekadar menangkap dan menjebloskan para koruptor?

*** 

LELAKI itu memasuki ruangan yang dipenuhi ribuan mahasiswa. Ketika dirinya hadir, semua mahasiswa histeris dan berebut hendak berjabat tangan dengannya. Dia dielu-elukan bak seorang pesohor yang datang berkunjung ke satu tempat. Dia tak hendak jumawa. Dia ikut bergabung dengan mahasiswa, kemudian ikut selfie dengan mereka. Lelaki itu Abraham Samad.



Beberapa kali saya bersua dengannya di acara roadshow Kami Indonesia bersama rombongan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Abraham Samad dipilih sebagai sosok inspiratif yang bisa menyulut semangat anak-anak muda untuk lebih berintegritas dan berkarakter. Kepada anak-anak muda, dia diharapkan berbagi pengalaman bagaimana membangun rumah karakter.

Kisah hidup Abraham bukanlah kisah seorang anak muda manja yang mendapat keistimewaan karena ayahnya seorang pejabat. Bukan pula kisah ala sinetron tentang sosok muda yang dengan berani memasang baliho besar lalu memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin dengan label “jaman now.” Bukan pula kisah seseorang yang memakai celana jeans dengan surban melingkari leher lalu tersenyum lebar di baliho-baliho besar. Dia tak perlu branding dan baliho sebesar itu untuk mencitrakan dirinya. Semua orang tahu siapa Abraham dan apa yang sudah dilakukannya.

Kisah Abraham adalah kisah penuh onak dan duri, tentang seorang aktivis anti korupsi yang memilih banyak arena untuk berjuang. Jalan hidupnya serupa lintasan roller coaster yang lebih banyak menanjak, sesekali menikung, lalu menukik. Ada masa di mana dirinya melawan anggota parlemen, mengorganisir demonstrasi, menjalin relasi dengan media, hingga akhirnya menjabat sebagai pimpinan di lembaga anti korupsi.

BACA: Seikat Bunga untuk Abraham Samad

Saat menjadi pimpinan tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ekspresinya selalu dingin. Dia memimpin lembaga yang setiap hari memeriksa berbagai penyelewengan dan lalu lintas uang negara yang masuk ke kantung pribadi. Pose yang jarang senyum itu adalah representasi dari begitu banyaknya sulur-sulur persoalan yang menjerat tubuh bangsa. Dia pun sering hadir di layar kaca saat media membutuhkan keterangannya tentang satu kasus. Ekspresinya selalu datar, tanpa ekspresi. 

Salah satu posenya yang mengendap di benak saya adalah ketika dirinya hadir di Makassar sebulan setelah menjadi Ketua KPK. Dia datang di satu warung kopi untuk berdiskusi dengan koalisi masyarakat sipil anti korupsi. Saat itu, seorang peserta diskusi menyerahkan badik kepadanya. Abraham mengambil badik itu lalu mengacungkan ke langit. Publik gemuruh dan berteriak menyambut dirinya. 

Bagi orang Bugis Makassar, badik adalah simbol dari keberanian dan juga kekuatan. Badik adalah identitas serta representasi dari keberanian mengambil segenap risiko. Di masa kini, badik menjadi ikon dari kesetiaan untuk membela prinsip-prinsip serta apa pun yang diyakini benar. Ketika Abraham mengacungkan badik, maka orang-orang melihat komitmen dirinya yang sangat besar untuk berbuat sesuatu.

Pada masa itu, para aktivis dan organ masyarakat sipil di Makassar menanti-nanti apakah dirinya seberani Antasari Azhar, Ketua KPK terdahulu. Nanti setelah Abraham menersangkakan Miranda Goeltom, para aktivis menyebut peristiwa itu sebagai “pecah telur.” Bahkan mereka menggelar jumpa pers dengan cara unik. Telur-telur dipecahkan sebagai simbol Abraham telah melakukan banyak hal. 

Jika saja tradisi itu dipertahankan, maka betapa banyaknya telur yang akan dipecahkan. Semasa memimpin lembaga itu, banyak koruptor yang dijebloskan ke penjara. Abraham tak saja menahan pejabat selevel gubernur, tapi juga menteri aktif hingga pimpinan lembaga kepolisian. Lembaga yang dipimpinnya mendapatkan banyak penghargaan, termasuk di antaranya adalah Ramon Magsaysay Awards. 

Seorang jurnalis pernah berujar, “Saya ngeri membayangkan nyali manusia itu. Apakah dia tidak takut disingkirkan para cukong yang menyelusup di dalam pemerintahan kita?” Saya pun memendam pertanyaan yang sama. Tak butuh waktu lama, kekhawatiran jurnalis itu terbukti. Sosok yang memenjarakan koruptor dengan kerugian miliaran rupiah itu, tiba-tiba tersingkir karena alasan sepele yakni memasukkan nama orang lain di kartu keluarga. Butuh sekian tahun bagi negara untuk mengakui bahwa kasus itu begitu sepele hingga akhirnya pemerintah menyatakan deponeering. Kasus itu selesai. 

Setidaknya, Abraham telah memberikan jejak panjang di lembaga itu. Dia pernah melawan koruptor dengan cara terbaik yang ditunjukkan anak bangsa. Dia mengingatkan saya pada pernyataan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer; “Kita telah melawan Nak. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya.”

***

“Bang, apakah Indonesia bisa berakhir ketika kita tak bisa keluar dari status darurat korupsi?” Seorang mahasiswa bernama Diana merangsak barisan yang mendekati Abraham demi meneriakkan pertanyaan itu. Di kampus Universitas Udayana, Abraham dikerubuti banyak mahasiswa, yang datang tak sekadar menyaksikan dirinya berpidato tentang Indonesia yang diharapkan bebas korupsi. 

Abraham sejenak terdiam. Dia lalu mengutip pernyataan politisi yang mengatakan bahwa Indonesia bisa bubar di tahun 2030. Bedanya, Abraham mengeluarkan argumentasi. “Indonesia bisa bubar lebih cepat ketika korupsi terus menjamur dan menggerogoti rumah kebangsaan kita. Indonesia bisa berakhir ketika uang rakyat tak henti dipakai untuk pesta pora kepentingan pribadi, dan anak bangsa justru permisif dengan semua keadaan itu,” katanya dengan tegas.

Abraham hanya singgah sejenak di kampus itu. Dirinya bukan lagi menjabat sebagai Ketua KPK. Tapi kehadirannya dinanti banyak orang. Dirinya dielu-elukan oleh mahasiswa dan masyarakat di mana pun dirinya singgah. Pada sosok ini, orang-orang pernah menitipkan harapan untuk menangkap siapa pun yang hendak mengambil uang rakyat. 

Simpati kepadanya tetap tak berkurang. Dia bertransformasi menjadi legenda pemberantasan anti-korupsi. Sikap dinginnya saat berhadapan dengan koruptor telah mengangkat marwah lembaga yang pernah dipimpinnya. Di saat Indonesia tengah mengalami situasi yang disebut orang-orang sebagai darurat korupsi, sosok Abraham akan selalu menjadi hero di hati masyarakat.

BACA: Apa Kabar Abraham Samad?

Melihat antusiasme dan respon orang-orang, saya bertanya, apakah dirinya tidak melihat itu sebagai harapan besar bagi orang-orang agar dirinya melakukan sesuatu yang lebih besar? Apakah dirinya tak berpikir untuk menjadi pemimpin bangsa ini demi menuntaskan agenda pemberantasan korupsi? 

“Jika amanah itu datang, saya tak pernah menolak. Sepanjang diri saya masih bisa memberikan kontribusi, saya pasti akan menerima tawaran itu. Itu adalah kewajiban konstitusional saya,” katanya.

Tapi, saya membayangkan jika rencana itu hendak diwujudkan, betapa terjalnya jalan yang akan ditempuh Abraham. Dirinya bukan politisi. Dia tak berpartai. Bahkan dirinya pernah memenjarakan banyak kader partai yang korup. Dia pun tak punya modal. Entah sejak kapan, publik beranggapan bahwa di dunia politik, cost adalah segala-galanya. Dalam iklim politik di mana semuanya butuh biaya, integritas yang ditawarkan Abraham laksana ‘menggantang asap mengukir langit.’

Namun, sejarah kita sering kali menyajikan kenyataan berbeda. Mereka yang berduit tak selalu bisa melenggang mulus menuju ke kursi kekuasaan. Pada pemilu lalu, tak ada yang menyangsikan kekuatan finansial Aburizal Bakrie untuk melenggang ke kursi kekuasaan. Tentu saja, dia didukung para konsultan dan jejaring partai yang tersebar hingga kelurahan. Tapi dirinya justru tak pernah bisa memasuki panggung pemilihan presiden. Kekuatan finansial itu tak bisa membeli sekeping harapan di benak orang-orang agar mau mendukung dan memilihnya.



Banyak pula yang beranggapan bahwa kandidat yang bertarung di pilpres kali ini adalah sosok yang bisa merepresentasikan identitas keumatan. Jika semua partai dan kandidat presiden berpikir demikian, maka basis pemilih akan terkotak-kotak, sehingga peluang besar akan dipegang oleh sosok yang bisa menjadi representasi semua kalangan. Indonesia butuh sosok yang bisa menjadi payung bagi gerimis perpecahan sehingga mesti ditemukan isu bersama yang bisa menautkan semua kelompok menjadi mozaik keindonesiaan.

Di mata saya, Abraham punya kans jika dilihat dari beberapa argumentasi. 

Pertama, pada pemilu mendatang, jumlah pemilih akan didominasi oleh generasi milenial yang berusia rentang 15-39 tahun. Data BPS menunjukkan, jumlah generasi milenial pada tahun 2019 adalah 48 persen, yang kesemuanya adalah wajib pilih. Melihat potensi suara yang begitu besar, beberapa partai dan kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi pemilu sudah mulai dengan serius melirik dan menarget generasi milenial. Pada poin ini, Abraham adalah sosok yang sangat dikenal generasi milenial berkat integritas dan kiprahnya selama memimpin KPK.

Kedua, isu-isu anti-korupsi bisa menjadi titik temu dari siang perdebatan terkait identitas yang seakan tak berkesudahan. Isu anti-korupsi dan Indonesia darurat korupsi adalah tema besar yang selama ini menjadi keresahan publik sehingga dibutuhkan pemimpin yang bisa menjadi titik tengah sekaligus payung bagi semuanya.

Ketiga, dalam situasi ketika semua partai politik menyodorkan kandidat presiden ataupun wakil, maka figur non-partai sering menjadi titik tengah yang disepakati semua pihak. Di titik ini, Abraham bisa menjadi alternatif dan figur penting di luar struktur partai yang ada. Dia bisa menjadi penengah yang diterima semua pihak dan melenggang ke arena pilpres.

Kita menanti bagaimana sejarah bergerak, apakah memberi ruang kepadanya ataukah menjadi milik orang lain. Yang pasti, ajang pilpres nanti diharapkan menjadi pesta meriah yang bisa diikuti dan diramaikan banyak pihak. Agenda-agenda besar publik, khususnya agenda pemberantasan korupsi, mestinya tetap diangkat demi Indonesia yang lebih baik. 

*** 

“Bang, kalau terpilih menjadi pemimpin apa yang akan dilakukan?” Kembali, seorang mahasiswa memberikan pertanyaan. Abraham Samad menyebut beberapa hal, namun saya mencatat ada lima hal penting. Pertama, dalam waktu lima tahun siap untuk memberantas korupsi. Kedua, memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Ketiga, mengatasi kebocoran anggaran negara. Keempat, memperkuat kemandirian dan ketahanan pangan. Kelima, membenahi sistem peradilan sehingga semua warga bisa mendapatkan keadilan.

“Saya berharap generasi mendatang mendengar kata korupsi seperti mendengar kata dinosaurus yang sudah punah,” katanya.

Jika lima hal ini menjadi visi, maka saya membayangkan Abraham kini memiliki lima badik yang akan menjadi fokus keberaniannya. Dia akan memberantas korupsi, memperbaiki tata kelola sumber daya alam, menangkap siapa pun yang membocorkan anggaran negara, dan menangkap mafia hukum. Lima aspek ini yang akan jadi medan jihadnya, menjadi sasaran dari badik yang diacungkannya jika sejarah mencatat namanya sebagai pemimpin.

Saya membayangkan medan perjuangan Abraham yang terus bergeser. Dari demonstrasi jalanan, aktivis organisasi, hingga akhirnya menjadi Ketua KPK. Jika hidup ini menyimpan banyak misteri dan kejutan, maka bisa jadi Abraham masih memiliki medan pengabdian lain yang lebih besar. Semuanya akan tergantung pada apakah dirinya berhasil menciptakan momentum sejarah itu ataukah tidak.

Sejarah pernah mencatat kisah seorang tokoh anti-korupsi menjadi pemimpin bangsa. Di Cina, tokoh anti korupsi paling tenar Wang Qishan terpilih sebagai Wakil Presiden dan mendampingi Xi Jinping. Wang Qishan adalah kepala pengawas anti-korupsi yang meraih popularitas sehingga dipilih oleh parlemen. Medan perjuangannya berpindah ke sesuatu yang lebih besar.

Jika semesta memberi ruang, kelak kita akan mencatat nama Wang Qishan bukan yang terakhir. Abraham Samad akan menjadi nama baru yang dicatat sejarah. Semoga.



0 komentar:

Posting Komentar