Jenderal Gatot Harusnya Berguru pada La Nyalla


ilustrasi (sumber: inilah.com)

JIKA saja pemilihan presiden (pilpres) ibarat kontes Indonesian Idol, tentunya Jenderal Gatot Nurmantyo amat pantas memasuki babak Spekta. Tapi, apakah dirinya akan melenggang ke grand final, maka tunggu dulu. Dukungan untuknya tidak cukup. Dia mesti bisa meyakinkan partai politik agar mau mengusung dirinya. Jika politik kita masih seperti yang dituduhkan La Nyalla, maka dia juga harus menyiapkan banyak nutrisi untuk menggerakkan semua mesin partai. 

Mampukah dirinya? Apa senjata terakhir yang dimilikinya?

Di atas kertas, politik itu sederhana. Para pemain-pemainnya dengan mudah dideteksi dan dikenali. Yang mengendalikan semua konstelasi partai cuma itu-itu saja kok. Aktornya tak sampai 10 orang. Sederhananya, lihat saja ke mana arah semua pimpinan partai politik. Jika mereka terlanjur pro-pemerintah, maka mereka akan konsisten di situ. Sebab dukungan pada pemerintah tak hanya soal visi dan misi yang seragam, tapi ada banyak negosiasi dan lobi yang serba tertutup dari pantauan publik.

Rasanya tak mungkin jika koalisi pemerintah akan mendukung Gatot Nurmantyo sebagai calon presiden. Mereka pasti ingin tetap mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden. Tapi jika Gatot bersedia menurunkan ambisinya, maka jalan ke arah kursi calon wakil presiden terbuka lebar. Dirinya punya latar militer, yang bisa jadi pelengkap posisi Jokowi yang sipil. Dirinya juga dipersepsi amat dekat dengan kelompok Islam, yang belakangan ini semakin menguat.

Nah, jika melihat koalisi sebelah, peluang Gatot lebih terbuka. Hingga kini, koalisi non-pemerintah belum juga mendeklarasikan siapa calon presiden yang akan diusung. Prabowo Subianto terkesan hati-hati, malah agak ragu untuk memasuki arena pilpres ini. Pengalaman tiga kali kalah di arena ini masih membayang-bayanginya. Jika kembali kalah, apa kata dunia? Dia akan mendapat gelar sebagai seumur hidup jadi calon presiden.

Di dunia maya, santer beredar gosip tentang Prabowo yang sedang menimbang ulang. Logikanya, jika ingin maju, mengapa harus mengundur-undur kapan deklarasi? Langsung saja umumkan, sembari menyusun ulang semua strategi, lalu mendatangi kantong-kantong massa. Ada gosip dirinya kehabisan logistik sehingga mulai membuka ruang bagi sosok lain yang bisa memenuhinya. 

Di sinilah, pintu Gatot terbuka. Di media maya, santer gosip tentang penyandang dana di belakang Gatot. Media sekelas Tempo memajang fotonya bersama taipan kaya itu. Jika Gatot masih mengulang retorika Prabowo yang dukung pribumi, lalu anti-asing, maka foto itu bisa saja muncul ke mana-mana. Foto itu akan disebarkan sejumlah orang yang hendak menjegalnya.

Nah, jika dirinya ingin melenggang mulus, tak perlu malu untuk belajar pada La Nyalla Mattalitti. Beberapa waktu lalu, La Nyalla menjadi kandidat terkuat dari partai berlambang burung untuk pilkada Jawa Timur. Dia sesudah melakukan semua prosedur dan tahapan. Konsultan politik telah memoles citra dirinya menjadi sangat Islami. Media-media mulai menyebut dirinya dengan sapaan Pak Haji. Panggilan haji menjadi semacam simbol kesalehan yang diharapkan bisa membuat orang simpati kepadanya. Ke mana-mana ia bersama aliansi pendukung gerakan 212. Dia seolah menjadi corong Islam di arena pilkada. Branding-nya cukup kuat.

Yang tidak dimiliki La Nyalla hanya satu tahap penting yakni eksekusi akhir. Dia tidak mampu memenuhi permintaan petinggi partai. Sebagai pengusaha dengan berbagai bisnis yang tidak terlalu jelas, dirinya ragu-ragu untuk belanja besar demi pencalonannya. Mungkin saja dia berharap akan dibiayai sebagaimana dilihatnya pada kandidat di pilkada DKI Jakarta.

BACA : La Nyalla yang Selalu Menyala

Dia tidak punya kemampuan eksekusi. Dalam keadaan sakit hati karena tak didukung, dia lalu bernyanyi ke sama ke mari. Dia mengadukan praktik politik yang menurutnya memeras. Pertanyaannya, kalau memang sejak awal sudah tahu medan yang dihadapi, mengapa harus berani untuk maju? Mengapa harus sibuk keluarkan komentar negatif jika dirinya sejak awal tahu bahwa seperti inilah arena yang sedang dimasukinya?

Tapi, Jenderal Gatot sepertinya jauh lebih siap dari La Nyalla. Foto bersama taipan sebagaimana dilansir Tempo bisa menjadi bukti akan relasi kuatnya dengan para pemodal. Foto itu menitipkan pesan dirinya yang siap membayar semua mahar dan keinginan partai politik. Partai butuh logistik kuat. Butuh bensin yang bisa menggerakkan semua mesin di ajang pemilihan legislatif. 

Jenderal Gatot juga cukup pandai memainkan proxy war. Beredar gosip kalau dalam beberapa aksi, dia bisa mengendalikan dunia maya demi satu kepentingan politik yang akan menguntungkan dirinya. Dia bisa membaca situasi, memahami media, lalu menggempurnya dengan permainan politik yang bisa terus menaikkan dirinya. Entah benar apa tidak.

Jenderal Gatot tidak akan senasib La Nyalla. Setidaknya untuk saat ini. Entah esok hari. Politik kita selalu punya banyak kejutan. Hari ini, seseorang bisa jadi wali kota, besok-besok bisa jadi presiden. Hari ini, seorang yang mempersiapkan diri bertahun-tahun untuk jadi presiden, besok-besok bisa gagal masuk sirkuit karena tak punya bensin yang cukup untuk melaju kencang.

Kita lihat nanti.


0 komentar:

Posting Komentar