Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia Moderen dari Dinamika Kesultanan Buton?




TAHUN 2018, Indonesia berada dalam persilangan kepentingan berbagai bangsa-bangsa besar. Biarpun bukan lagi era perang dingin, akan tetapi beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina hilir mudik di Asia Tenggara dan saling berebut pengaruh. Meskipun Indonesia adalah negara kepulauan yang besar, Indonesia bukanlah negara dengan militer kuat yang sanggup menghadapi. 

Secara ekonomi, Indonesia justru banyak tergantung pada negara-negara besar itu. Dari sisi politik dan ekonomi, negara besar bisa saja mendikte Indonesia sehingga terpojok dan tak berdaya. Dalam situasi yang seolah terjepit dan terancam negara-negara besar, Indonesia mesti mengembangkan kemampuan adaptasi dan seni politik untuk bisa bertahan dan lepas. Apakah yang bisa dilakukan?

Kamis, 6 April 2018 silam, saya menghadiri orasi 65 tahun Profesor Susanto Zuhdi di kampus Universitas Indonesia. Dalam orasi yang bertemakan Buton dan Kesadaran pada Ruang Sejarah, Susanto membandingkan situasi Indonesia abad ini dengan Kesultanan Buton pada abad ke-16 dan 17. Dia mengingatkan saya pada filsuf Jerman bernama Goethe yang mengatakan bahwa manusia yang hidup tanpa belajar dari masa 3.000 tahun adalah manusia yang tidak menggunakan akalnya.

Susanto mengutip para pelaku seni tradisi di Buton yang melukiskan situasi Kesultanan Buton pada abad ke-16 dengan metafor perahu. Ketika angin barat menerjang, maka nakhoda dan kru perahu akan menjaga sisi barat. Saat angin timur menerjang, kembali semuanya bergerak akan menjaga sebelah timur. Dalam konteks Kesultanan Buton, metafor angin timur dan angin barat itu adalah Ternate dan Gowa yang silih berganti hendak menaklukan Buton. 

Dalam situasi ini, kedatangan kompeni Belanda menjadi pihak ketiga yang membantu Buton untuk menyelamatkan situasi. Namun, hubungan Buton dan Belanda itu ibarat pasang surut. Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya pola sekutu dan seteru. Perjanjian mengharuskan mereka untuk bersekutu, tetapi realitas keseharian sering memaksa mereka untuk berseteru. Pada masa Sultan Himayatuddin di tahun 1755, konflik pernah pecah dan banyak korban berjatuhan. Peristiwa ini direkam dalam memori kolektif orang Buton sebagai “Zamani Kaheruna Walanda.”

BACA: Susanto Zuhdi, Sejarawan Pembawa Intan untuk Orang Buton

Yang menarik buat saya adalah Susanto membandingkan peristiwa sejarah yang dialami Kesultanan Buton itu dengan situasi Indonesia pada masa kini. Dia bercerita tentang orasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menerima gelar guru besar di Universitas Pertahanan. SBY menyebut konsep “thousand friends, zero enemy” dalam hal hubungan dengan negara lain. Kata Susanto, konsep ini ambigu seba tidak mungkin bisa bersahabat dengan semua orang, tanpa ada musuh. Bukankah musuh tetangga dekat adalah musuh kita juga?

“Menarik untuk disimak pernyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, yang menyebut konsep dynamic equilibrium atau keseimbangan dinamik. Meskipun konsep itu ditujukan untuk kawasan ASEAN, tetapi bisa dipakai untuk memahami situasi Indonesia” kata Susanto.

Jika pernyataan itu dikaitkan dengan pengalaman kesejarahan orang Buton, maka situasinya tidak jauh berbeda. Pengalaman dalam dinamika dan keterancaman itu telah melahirkan intuisi orang Buton dengan penciuman tajam terhadap perubahan lingkungan alam. 

Orang Buton mesti meningkatkan kapasitas mereka dalam menjaga keseimbangan perahu, termasuk dalam menjalin dinamika dengan kekuatan luar  harus dipahami dalam kerangka budaya, membentuk kesadaran akan ruang sejarah, serta tidak hanya berdimensi temporal tetapi juga ingatan ruang kehidupan. Bukankah kehidupan selalu meniti dari di atas ancaman dan peluang?

Pendapat Susanto ini menarik untuk didiskusikan. Saat sesi diskusi, saya menemukan pernyataan menarik dari salah satu pembahas yakni Tommy Christomy PhD. Dia membandingkan pengalaman kesejarahan orang Buton dengan kisah Kapten Cook yang ditulis antropolog Marshall Sahlins di buku Island of History. Kata Tommy, bayangkan satu pulau tenang yang relatif tanpa gejolak. Tiba-tiba suatu hari, datanglah armada kapal dengan persenjataan serta teknologi yang lebih canggih. Bagaimanakah respon warga lokal terhadap kapal itu?

suasana diskusi

Sampul buku dan undangan diskusi

Kapal yang dimaksud Tommy adalah milik Kapten Cook saat pertama kali tiba di Hawaii dan Kepulauan Pasifik lainnya. Penduduk lokal mengira Kapten Cook adalah jelmaan dewa yang datang ke situ untuk mengunjungi warga. Kapten Cook disambut dengan semua pesta adat. Hingga akhirnya Kapten Cook meninggalkan pulau. Karena badai dan kapalnya rusak, Cook kembali ke Hawaii. Respon warga lokal berbeda. Mereka membunuh Kapten Cook, sosok yang tadinya dianggap dewa.

Tommy mengutip Sahlins yang menganalisis bagaimana penduduk lokal (native) memberi respon berbeda atas kedatangan Kapten Cook, yang menunjukkan pertemuan mereka dengan kebudayaan kolonial. Kebudayaan memberikan berbagai pilihan metafor dan respon bagi penduduk, dalam hal penciptaan sejarah. Setiap saat, penduduk mengalami peristiwa sejarah, setiap saat pula kebudayaan menyediakan jalan keluar bagaimana mereka harus memberi respon.

Tommy tertarik dengan metafor-metafor budaya dan narasi yang membingkai sejarah Buton. Dia mengutip beberapa syair kabanti, yang dikutip Susanto, sebagai himpunan kearifan sekaligus semacam primbon yang menentukan tindakan-tindakan orang Buton. Namun, orang Buton tetap punya kemerdekaan ataupun otonomi dalam mengambi sikap. Pola sekutu dan seteru itu menunjukkan kebebasan dan pilihan-pilihan mereka dalam mengambil keputusan terbaik dalam situasi hidup yang penuh ancaman.

Kata Tommy, respon orang Buton ada tiga, yakni (1) sebagai pelindung, yang disampaikan dalam metafor ayah, (2) sebagai ancaman, yang disampaikan dalam metafor angin, (3) sebagai pengabsah, yang ditunjukkan dalam sejumlah metafor kemenangan Buton atas daerah lain secara batiniah. Ketiga metafor ini dimainkan secara cantik dan melekat dalam kehidupan yang tertata secara budaya.

Pembahas lainnya, Dedi S Adhuri menyebutkan respon budaya itu ibarat lemari yang berisi banyak pakaian. Orang Buton punya kebebasan dalam memilih pakaian mana yang hendak dipakai sehari-hari. Makanya, Dedi S Adhuri tidak percaya kalau perjanjian dengan Belanda membuat Buton selalu dalam posisi subordinat. Ia menyebut satu konsep budaya yang memberi ruang bagi siapa pun untuk berada dalam posisi sejajar, serta menafsirkan ulang semua pengalaman yang dijalani. Bukankah realitas sosial selalu dinamik dan cair?

Kata Dedi, salah satu bentuk adaptasi orang Buton adalah mereka menyebar dan memenuhi semua pesisir timur Indonesia. Mereka adalah bahariwan tangguh yang memaknai lautan sebagai rumah tempat mereka berpijak. “Di mana pun saya ke timur, selalu bertemu orang Buton. Baru-baru ini saya riset tentang para pemburu ikan tuna. Rata-rata adalah orang Buton,” katanya.

***

SAYA cukup menikmati diskusi ini. Tak setiap hari kita bisa menyaksikan diskusi budaya dengan pembahasan yang sangat menarik. Rasanya bosan juga melihat layar kaca dan selalu menemukan berita politik. Diskusi budaya ibarat embun segar yang membasahi dahaga yang haus karena kering-kerontang.

bertemu Yulis

Di acara yang dilaksanakan di auditorium Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI ini, saya bertemu banyak orang Buton. Mulai dari para senior hingga beberapa adik-adik yang mulai meramaikan ibukota. Di pertemuan ini, perasaan saya seakan-akan berada di kampung halaman. Kami semua berkumpul karena didorong oleh semangat yang sama yakni kecintaan pada kampung halaman, serta perlunya menjaga silaturahmi.

Kami sama-sama sepakat bahwa Profesor Susanto telah berbuat banyak hal pada kami orang Buton, Tak saja membantu kami untuk menjernihkan pandangan atas kabut-kabut sejarah yang menghalangi, tapi juga menyediakan banyak obor penerang agar kami memahami jejak masa lalu, serta bagaimana menyerap hikmah dan pembelajaran untuk masa depan. Tak mungkin ada masa kini, tanpa ada masa lalu. Tak mungkin ada masa depan tanpa ada masa kini.

Di konferensi ini, saya juga tiba pada satu simpulan penting bahwa dinamika orang Buton masa lalu tak beda jauh dengan dinamika Indonesia modern hari ini. Di titik inilah kita harus terus belajar dan menyerap kearifan.



0 komentar:

Posting Komentar