Tarung Jokowi vs Prabowo di Panggung Medsos



PEMILIHAN PRESIDEN (Pilpres) masih akan digelar setahun lagi. Tapi kemeriahannya sudah mulai tampak di media sosial. Pilpres kali ini serupa ajang Indonesian Idol di mana para fansnya membentuk barisan pemenangan sendiri. Para kandidat presiden memenuhi media sosial dengan berbagai postingan yang kemudian di-share berkali-kali oleh para penggemarnya.

Jika saja media sosial menjadi satu-satunya patokan dalam mengukur kemenangan di arena pilpres, maka pemenangnya adalah Prabowo Subianto sebagai politisi paling populer di Facebook, dengan jumlah penggemar hingga 9,6 juta orang. Selanjutnya Joko Widodo (7,9 juta), dan Susilo Bambang Yudhoyono (5,9 juta). Namun jika dilihat substansi dan pengelolaan konten secara kreatif, maka Presiden Jokowi adalah pemenangnya.

***

“Indonesia adalah negeri yang tidak pernah tidur.” Kalimat itu diucapkan oleh Profesor Don Flournoy, salah seorang pakar media di Amerika Serikat. Flournoy menyampaikan itu saat saya mengajaknya berbincang melalui media sosial. Ia melihat fakta betapa Indonesia amat sibuk dengan lalu lintas percakapan di media sosial. Hampir setiap saat, orang Indonesia akan memosting sesuatu, membentuk kubu-kubu, dan saling perang di media sosial.

Eric Schmidt, mantan CEO Google, mengatakan bahwa dunia di abad 21 terdiri atas dua yakni dunia nyata dan dunia maya. Semua penduduk di dunia nyata hendak membangun rumah di dunia maya. Anda dianggap tidak eksis ketika tidak punya akun atau rumah di dunia maya. Abad ini adalah abad migrasi ke dunia maya. Semua orang ingin bangun rumah maya agar terkoneksi dengan orang lain dalam ruang yang teramat luas.

Generasi lama, yang lahir sebelum tahun 1980-an, adalah generasi baru saja pindah dan membangun rumah maya, sehingga disebut digital immigrant. Banyak di antara mereka masih gatek alias gagap teknologi di era baru ini. Sedangkan generasi baru yang lahir setelah era 1980-an adalah generasi yang sejak kecil telah menikmati era internet. Mereka warga asli dunia ini, sehingga sering disebut digital native.

Dunia di abad 21 adalah surganya mereka yang berdiam di dunia maya. Internet menjadi virus yang menyebar hingga ke seluruh pelosok. Data terbaru yang dirilis Wearesocial.com menyebutkan bahwa populasi manusia di bumi adalah 7,5 miliar orang. Pengguna internet mencapai angka 4.02 miliar. Dari jumlah itu, pengguna media sosial adalah 3.1 miliar orang.

Indonesia tercatat sebagai negara yang terbilang cepat penetrasinya di dunia internet. Data itu menyebutkan, Indonesia masuk dalam lima besar negara yang warganya paling banyak mengakses media sosial. Bahkan Indonesia punya lebih banyak warga yang berselancar di media sosial jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Negara dengan persentase penduduk terbanyak yang mengakses media sosial adalah Cina, India, Indonesia, Iran, dan Amerika Serikat.

Makanya, dalam banyak hal, berbagai isu yang hangat di Indonesia perlahan akan menjadi konsumsi warga dunia. Jangan terkejut, saat PSSI hendak bertanding, ucapan semoga menang justru datang dari beberapa pemain top dunia, mulai dari Rio Ferdinand hingga David Beckham. Apa yang terjadi di Indonesia dengan cepat menyebar ke negara lain.

Data dari Wearesocial.com juga menyebutkan negara-negara yang terbanyak menggunakan Facebook. Terbanyak adalah India (250 juta orang), Amerika Serikat (230 juta), Brazil (130 juta), Indonesia (130 juta), dan Mexico (83 juta). Anda bisa bayangkan, betapa ramainya perbincangan di media sosial di Indonesia, yang kebanyakan didominasi oleh kaum muda dan generasi milenial. Mereka saling bertukar pesan dan melihat bagaimana respon publik di situ.

Hiruk-pikuk itu juga merambah ke dunia politik. Sejak pilpres digelar empat tahun silam, ruang-ruang media sosial dipenuhi kampanye yang digelar para politisi. Dahulu, para politisi menggunakan semua media mainstream sebagai wadah untuk menampilkan diri agar dikenali publik, kini pendekatan itu berubah total. Mereka lebih suka membuat akun di media sosial, kemudian setiap saat menampilkan semua aktivitas, sekaligus menyampaikan gagasan di situ.

Saya mencatat, sejak beberapa tahun terakhir, para kandidat presiden ramai-ramai membangun rumah di dunia maya. Facebook menjadi padang luas tempat mereka berinteraksi dan menyampaikan sikap. Namun tidak semua di antara mereka bisa mendapatkan popularitas dan kesukaan dari warga yang berdiam di Facebook.

Jika arena pilpres 2019 nanti adalah arena yang memperhadapkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto, marilah kita menyaksikan bagaimana keduanya menampilkan diri di media sosial, khususnya Facebook.

Jokowi dan Prabowo sama-sama membangun halaman atau Fanpage di Facebook. Presiden Jokowi memiliki pengikut (follower) hingga 7,9 juta orang, sementara Prabowo Subianto memiliki pengikut hingga 9,6 juta orang. Jika dilihat dari sisi jumlah pengikut, Prabowo jelas di atas Jokowi. Nama lain yang di bawah mereka adalah SBY (5,9 juta), Partai Gerindra (3,6 juta), Ridwan Kamil (3,2 juta), dan Basuki Tjahaja Purnama (2,5 juta), dan Jusuf Kalla (1,8 juta). Selengkapnya lihat DI SINI.

Tapi dari segi pengayaan konten, sangat terlihat kalau Fanpage milik Prabowo kedodoran. Postingan terakhir Prabowo adalah tanggal 7 Januari 2018 mengenai kunjungannya ke Medan untuk menemui calon gubernur yang diusung Gerindra. Postingan itu disukai 46 ribu orang, dan dibagikan 2,781 orang.

Bandingkan dengan Presiden Jokowi yang jauh lebih sering tampil di media sosial, serta lebih banyak dibagikan oleh publik. Postingan terbaru Jokowi mengenai kunjungannya ke Afganistan, disukai lebih dari 70 ribu orang, dan dibagikan 3.500 orang. Dalam sehari, selalu ada beberapa postingan Jokowi yang tampil sehingga menjadi konsumsi publik dan dibagikan ke mana-mana.

Saya melihat media-media besar juga mengutip postingan itu untuk memperkuat pemberitaannya. Kita bisa mengatakan bahwa tim medsos Jokowi bekerja lebih spartan dan terorganisir. Mereka bisa mengelola semua informasi dan kegiatan sehari-hari tim Jokowi sehingga dengan segara bisa ter-update di media sosial.

Tim medsos Prabowo belum bisa mengelola banyaknya pengikut itu dengan menyediakan semua informasi yang dibutuhkan. Dalam amatan saya, postingan Prabowo terkesan monoton dan mengulang-ulang topik. Beberapa topik yang sering diangkat adalah nasionalisme dan kemandirian. Namun, topik itu dikemas menjadi postingan heroik yang jurusnya selalu diulang-ulang. Jika saja, tim medianya bisa mengelola itu menjadi tindakan sederhana yang mudah dipahami publik, pasti daya ledaknya akan jauh lebih besar.

Misalnya, Prabowo bisa berbicara nasionalisme, melalui tindakan membeli kopi lokal yang dijual di pinggir jalan. Tema besar nasionalisme dihadirkan dalam tindakan kecil yang justru lebih bermakna bagi banyak orang. Jika tim Prabowo punya creative content hebat, pastilah Fanpage miliknya akan menjadi salah satu senjata hebat yang bisa melejiitkan Prabowo.

Namun, duel ini masih panjang. Dalam dunia politik, pemenangnya adalah siapa yang bisa menjaga napas dan ritme dalam setiap ayunan kaki di maraton politik yang cukup panjang. Jika Prabowo Subianto mengelola akun Facebook-nya dengan baik, diorganisir oleh tim yang hebat, serta membagikan hal-hal yang disukai publik, lambat laun, intensitas akun Fanpage-nya bisa meninggalkan Jokowi.

Biarpun pengelolaan media sosial Jokowi lebih baik, bukan berarti tanpa cacat. Semua postingan yang tampil di Facebook Jokowi tampak hebat, sempurna, tetapi mengesankan Jokowi sebagai sosok yang formal dan kaku. Padahal, jika melihat wawancara Jokowi di media dan interaksinya bersama warga, segera terlihat kalau sosok ini adalah sosok yang merakyat dengan bahasa yang sederhana, serta penuh guyonan. Dalam satu dialog dengan para blogger, kritik telah dilontarkan. Jokowi mengaakui kalau tampilan sosoknya di media sosial agak serius.

Saya juga mengamati beberapa hal.

Pertama, media sosial milik Jokowi terkesan satu arah. Kesannya, media sosial hanya sekadar wadah untuk menginformasikan kepada publik apa saja aktivitas presiden. Padahal, publik media sosial, atau kerap disebut netizen, berharap ada interaksi, dialog, atau ajang berdiskusi tentang berbagai topik. Posisi media sosial bagi tim Jokowi hanya sebagai kanal yang memuat aktivitas, tanpa menjadi ruang berdialog atau kanal menampung aspirasi. Semua tanggapan terkesan dicuekkan begitu saja.

Kedua, media sosial milik Jokowi terkesan dikerjakan tim sukses, bukan oleh Jokowi sendiri. Makanya, informasi yang disajikan adalah informasi ala tim humas yang isinya hanya kebaikan-kebaikan dan aktivitas. Padahal media sosial harusnya menjadi kanal untuk menemukan sisi paling orisinil dari seseorang. Dilihat dari sisi ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih lebih baik dalam mengelola media sosialnya. Publik tahu mana postingan yang langsung dari jemari SBY sebab biasanya ada kode *SBY.

Postingan yang dikemas tim humas ini jadinya tidak menampilkan sisi paling lucu, paling heboh, dan paling disukai dari sosok Jokowi. Dalam banyak postingan, saya malah tidak tertarik mengikutinya karena informasinya sudah ada di media massa. Kalaupun dikerjakan tim humas, harusnya lebih kreatif. Mereka bisa merekam perasaan sang presiden saat bertemu orang lain, sesuatu yang tak selalu bisa ditangkap oleh jurnalis media.

Ketiga, kanal media sosial milik Jokowi belum dikelola maksimal melalui strategi online dan offline yang terpadu. Kesan saya, antara kerja online dan kerja offline berjalan sendiri-sendiri, tanpa saling berdialog. Maksud saya, tak ada percakapan di dunia maya, yang seharusnya bisa menampung aspirasi. Seharusnya, tim Jokowi menggunakan kanal itu untuk bertanya kepada publik, yang kemudian dikelola sebagai mekanisme untuk penyusunan kebijakan publik. Jokowi bisa saja bertanya ke warga tentang apa yang harus dilakukan atau tanggapan mereka atas isu politik.

Idealnya, beberapa aktivitas langsung atau offline bisa digelar berdasarkan rekomendasi atau masukan di dunia online. Pengelolaan online harus bersinergi dengan pengaturan kegiatan offline. Jokowi bisa saja berkunjung ke satu lokasi, lalu mengundang orang-orang melalui akun media sosial miliknya. Atau bisa juga memperbanyak kuis, mengadakan sayembara khusus yang bisa diikuti siapa pun, atau secara berkala mengadakan teleconference dengan para penggemarnya di media sosial yang ada di berbagai kota.

Keempat, sistem pengelolaan informasi itu cenderung terpusat. Semua informasi hanya mengalir dari satu kanal, tanpa melibatkan partisipasi publik. Saya paham bahwa dalam konteks akun resmi media sosial, informasi harus langsung dari Jokowi dan timnya. Hanya saja, mesti dipikirkan bagaimana mekanisme pelibatan publik dalam diseminasi informasi tersebut.

Saya membayangkan, semua relawan Jokowi lalu membentuk kluster-kluster atau kelompok di semua wilayah, sehingga setiap ada informasi, langsung disebar secara cepat di kanal-kanal yang selama ini tidak dijangkau Jokowi. Model kerja ini bisa menyiasati keterbatasan jangkauan akun Facebook milik Jokowi sehingga bisa menjaring penggemar dari banyak sisi.

Kelima, akun media sosial Jokowi belum dikembangkan sebagai platform politik untuk menampung semua persoalan yang dihadapi masyarakat, juga belum bisa menjadi sarana advokasi atas semua kepentingan publik. Jika saja dikembangkan ke arah itu, maka kanal media sosial itu akan menjadi jendela bagi warga untuk menyampaikan keluh kesah, yang selanjutnya akan diverifikasi tim Jokowi, yang akan memberikan laporan dan update sejauh mana keluh kesah itu disampaikan.

Jika saja media sosial itu menjadi jendela bagi Jokowi untuk menampung masukan dalam penyusunan kebijakan publik, maka ruang-ruang publik itu akan menopang demokratisasi serta membangun kedekatan seorang kepala negara dengan warganya. Kebijakan bisa dikawal prosesnya, sekaligus bisa pula dipantau hasilnya, yang kelak akan memberikan efek positif dalam kerja-kerja Jokowi.

***

INI hanya amatan sementara. Saya melihat dinamika di media sosial akan terus bergulir. Seiring dengan kian dekatnya pemilihan presiden, maka duel itu akan kembali sengit. Bagi warga, debat di media sosial akan lebih baik sebab tidak ada lagi kampanye di lapangan terbuka, di mana semua orang berebut baju kaos, nasi bungkus, serta jalanan ramai dengan pendukung yang menyetel gas motor dengan suara membahana.

Seiring momen pilpres yang kian dekat, saya akan menanti-nanti kampanye kreatif yang melibatkan para desainer handal dan kreator konten hebat-hebat negeri ini. Di era ini, Anda harus sangat kreatif untuk tampil dengan positioning sebagai sosok paling unik yang lebih bisa memikat publik.

Pengelolaan konten yang kreatif adalah urat nadi utama membangun media sosial yang hebat bagi seorang politisi. Tanpa itu, semua akun media sosial hanya nampak mewah di luaran, tapi tanpa isi dan substansi. Jika politik adalah arena untuk merebut dan mempertahankan kuasa, maka kerja-kerja para kreator konten kreatif adalah menyemarakkan dunia politik menjadi arena parade semua gagasan kreatif yang hasil akhirnya akan dilihat pada sejauh mana elektabilitas seorang figur terkerek.

Pada titik ini, tim Prabowo dan tim Jokowi masih harus bekerja keras untuk menghadirkan sesuatu yang beda dan paling bisa memenuhi ekspektasi publik.



0 komentar:

Posting Komentar