DI subuh hari, ribuan orang berpakaian putih hendak bergerak ke Bandara Soekarno Hatta. Mereka membawa panji-panji Front Pembela Islam (FPI) sembari bergerak dengan rapi. Seorang peserta konvoi bercerita mereka hendak menyambut kedatangan Habib Rizieq Shihab, yang disebut sebagai Imam Besar Islam Indonesia.
Massa penjemputan yang sebelumnya berkumpul menghadiri tabligh akbar dan istighasah di Masjid Baitul Amal, Cengkareng, Jakarta berangsur bergerak menuju Bandara menggunakan bus. “Ada jemaah yang masih bertahan di sini (Jakarta) dan sudah sebagian ke bandara dengan kendaraan bus dan mobil pribadi yang mereka bawa sendiri-sendiri. Kalau dari sini juga sama berangkat seusai salat subuh berjamaah,” kata Humas Persaudaraan Alumni 212, Novel Bamukmin, sebagaimana dikutip Vivanews.com.
Polisi juga sibuk dan bergegas. Sejumlah aparat kepolisian ditempatkan di sekitar bandara demi penyambutan itu. Polisi hendak menjaga ketertiban, tapi jamaah yang menjemput malah menuduh ada skenario lain. Pesan menohok disampaikan ke polisi. Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Maarif menyatakan siap melawan polisi jika menangkap Sang Imam. “Kalau kepolisian ambil paksa, kami juga akan ambil paksa imam kami,” katanya.
Rizieq menetap di Arab Saudi sejak Mei 2017 beberapa waktu setelah polisi menetapkannya sebagai tersangka terkait dengan kasus dugaan konten pornografi dalam percakapan dengan Firza Husein di aplikasi pesan singkat. Kabar kedatangannya beberapa kali santer disebut-sebut, namun selalu batal karena berbagai alasan.
Setiap kali ada rencana kembali, berita tentang Rizieq segera menyebar ke mana-mana. Kehebohannya segera terasa. Berbagai organisasi yang mengatasnamakan dirinya alumni 212 sibuk membuat pernyataan pers. Berita kedatangan itu diramaikan dengan rencana penyambutan, tablig yang dihadiri jutaan massa, hingga konvoi ataupun arak-arakan.
Namun jika dilihat dari sisi komunikasi, pemerintah terlihat tenang-tenang saja. Pemerintah seakan tidak terganggu, dan tidak ada niat untuk mencampuri kedatangan itu. Jika datang, ya datang. Jika tidak datang, maka pemerintah juga tidak mengeluarkan pernyataan apa pun. Kehebohan hanya sebatas pada pendukung Rizieq, yakni kelompok-kelompok yang mengatasnamakan dirinya alumni 212.
Kalaupun ada pihak yang sering berkomentar adalah polisi. Itupun komentar polisi hanya sebatas bagaimana menjaga keamanan dan ketertiban para penjemput. Tak ada satu pun pernyataan polisi yang menyebut-nyebut kelanjutan kasus yang tengah menjerat Rizieq. Media sempat mengutip pernyataan Menko Polhukam Wiranto. Itupun komentarnya hanya sebatas informasi kalau Rizieq batal datang. Di luar itu, tak ada yang terekam oleh media.
Sayang, Riqieq batal datang. Padahal, jika datang, maka momentumnya sangat tepat. Energi semua orang sedang disibukkan pada ranah politik. Partai-partai tengah konsolidasi. Sejumlah figur mulai disebut-sebut sebagai penantang Joko Widodo.
Jika Rizieq datang, dia bisa meramaikan bursa wacana penantang Jokowi. Banyak partai politik ingin mendekatinya. Semua berharap dirinya memperkuat barisan jutaan umat yang kelak dengan sukarela akan mencoblos partai itu. Dari sisi politik, kartu Rizieq akan selalu hidup dan bisa dikelola menjadi kekuatan besar.
Kedatangan Rizieq juga penting untuk merapikan kembali gerakan alumni 212. Setelah demo besar yang konon katanya telah menghadirkan 7 juta orang, Banyak pihak yang kemudian mengatasnamakan gerakan itu dan melakukan langkah-langkah politik. Mulai dari mendorong calon gubernur, mengajukan sejumlah nama untuk jadi calon anggota legislatif, hingga mendekat ke sejumlah pihak dengan agenda politik tertentu.
Sekali lagi, disayangkan karena dirinya batal datang. Melalui sambungan telepon, dia menyampaikan pesan kepada semua orang.
“Akhirnya saya teruskan untuk istikarah mohon petunjuk Allah SWT, karena hanya Allah SWT yang Maha Tahu tentang apa yang terbaik dan terburuk untuk hamba-Nya, walaupun saya senantiasa beritikad sekeluarga untuk pulang pada hari ini, untuk jaga-jaga jika di menit terakhir bisyarah sekeluarga bisa segera pulang. Namun sampai saat ini saya belum mendapatkan isyarah yang bagus, apalagi bisyarah yang menggembirakan,” ujar Rizieq dalam rekaman pembicaraan melalui telepon yang diperdengarkan di Masjid Baitul Amal, Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu (21/2).
“Jadi hari ini saya harus menunda dulu kepulangan saya. Karena harus menunggu bisyarah sehingga pulang di waktu yang tepat dan saya akan tetap istikharah mohon petunjuk Allah SWT agar dapat bisyarah dan bisa. Jika seluruhnya sudah dapat keputusannya, maka saya sendiri yang akan mengumumkan kepada Umat Islam di Indonesia tentang kepulangan saya insyallah. Karenanya saya minta kepada segenap umat Islam untuk mendoakan saya sekeluarga untuk bermunajat kepada Allah memohon kepada Allah agar saya sekeluarga diizinkan oleh Allah SWT untuk segera kembali ke Tanah Air dalam keadaan selamat dan memetik kemenangan bersama umat Islam. Amin amin ya rabbal alamin.”
Ada beberapa hal yang bisa disoroti dari pernyataan Rizieq. Kita bisa membuat beberapa asumsi sederhana.
Pertama, ia belum melihat momen yang tepat untuk kembali. Jika dikalkulasi secara politik, kepulangannya tidak tepat. Sebab pra-kondisinya belum memungkinkan. Mungkin saja dia ingin kepulangan itu akan heboh dan menggetarkan umat. Rupanya, kepulangan itu ditanggapi dingin. Reaksi umat juga tidak seheboh pernyataan di media. Jika tetap memaksakan pulang, maka cepat atau lambat, kasusnya akan dibuka kembali. Reaksi umat akan datar-datar saja.
Kedua, ia menitipkan pesan politik yang kuat. Perhatikan kalimat terakhir yang diucapkannya. Ia mengatakan, “Agar saya sekeluarga diizinkan oleh Allah SWT untuk segera kembali ke Tanah Air dalam keadaan selamat dan memetik kemenangan bersama umat Islam.” Kita bisa memberikan banyak tafsir terhadap frasa “memetik kemenangan” itu. Dirinya memberi pesan kalau sedang berada pada fase perjuangan untuk merebut kemenangan. Dirinya memberi harapan kepada semua pendukungnya kalau perjuangan itu akan berbuah kemenangan.
Pertanyaan yang pantas diajukan adalah perjuangan seperti apakah yang sedang dilakukannya? Apakah dia sedang berhadapan dengan sesuatu yang zalim sehingga perlu berjuang hingga memetik kemenangan? Ataukah ini semacam pesan kepada semua pendukungnya agar tetap setia kepadanya sehingga kelak bisa menemaninya berjuang untuk memetik kemenangan?
Hanya Rizieq yang bisa menjawab pertanyaan ini. Yang pasti, dari tanah Saudi Arabia, dia selalu memantau apa saja yang sedang terjadi di tanah airnya.
0 komentar:
Posting Komentar