Saat SBY Berkata "This is My War"



PRESIDEN keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meradang. Dia menggelar jumpa pers, menyampaikan perasaan yang dizalimi oleh berbagai tuduhan dan fitnah. Ditemani oleh barisan orang yang semuanya berbaju dan berbaret biru serta selalu mengangguk, ia menyampaikan keberatannya.

Ia menempuh jalur hukum. Ia juga menyampaikan ragu bahwa polisi akan menindaklanjuti laporan nantinya. Pasalnya, laporan terhadap Antasari setahun lalu tidak jelas pengusutannya. “Saya masih percaya kepada Kabareskrim, saya percaya Kapolri dan Presiden RI. Mudah-mudahan beliau-beliau mendengar suara hati saya untuk menindaklanjuti apa yang saya adukan nanti,” kata SBY.

Kalimat mantan presiden kita ini selalu santun, padahal dirinya dikesankan terzalimi, juga agak lebay. Tapi ada pesan yang tegas di situ. Dia ingin tuntutannya dipenuhi. Sebelumnya, dia telah melaporkan Antasari. Kali ini, dia melaporkan orang lain. Besok-besok, jika ada lagi yang menyebut dirinya dengan penekanan negatif, dia bisa saja melaporkannya kembali. Mungkin saja, dia ingin semua catatan yang menyebut namanya harus positif.

Di twitter, beragam reaksi bermunculan. Tak lama setelah konferensi pers itu, Gde Pasek, mantan pengurus partai biru, langsung mencuit. Ia mengatakan: “Telenovela politik kembali hadir dengan akting melodramatik dari artis masa lalu. Semoga bisa menghibur pencinta hiburan politik di tanah air.” Pasek tak spesifik menyebut nama. Tapi banyak orang mengaitkannya dengan momentum jumpa pers itu.

SBY mengaku akan menghadapinya seorang diri. Padahal, banyak orang yang siap membantunya. Banyak kader partai yang siap pasang badan untuknya. Tapi ia tetep kukuh. “Ini perang saya, this is my war. Perang untuk keadilan! Yang penting bantu saya dengan doa,” kata Presiden RI ke-6 ini.

Perang baginya adalah perjuangan untuk membersihkan namanya di hadapan hukum. Mungkin saja ia tak membaca sejarah. Bahwa seorang pemimpin yang baik justru paling sering disalahpahami. Sejarah bisa saja meletakkan noktah hitam dalam perjalanan karier seseorang. Namun, kelak akan tiba masa di mana kebenaran akan tampil ke permukaan. Di titik itu, tak perlu lagi ada jumpa pers. Tak perlu lagi berdiri di hadapan media bersama istri, anak, dan mantan menteri yang pernah jadi anak buah.

Pernyataan perang itu ditanggapi sejumlah kalangan. Para pengacara membentuk barisan lalu bersiap menghadapi jihad ala SBY. Pengacara senior, Maqdir Ismail, menyayangkan laporan itu. Bahkan Antasari Azhar ikut berkomentar. Linimasa di twitter diramaikan isu tentang pertemuan para sejumlah tokoh penentang SBY di Penjara Sukamiskin, yang dikemukakan pengacara SBY yakni Ferdinan Hutahaean.

Jika pun informasi itu benar, saya membayangkan betapa repotnya jika semua suara negatif harus dilaporkan ke pengadilan. Di usia yang terbilang sepuh itu, SBY harus kembali memasuki arena pertempuran lalu berperang menghadapi banyak kelompok. Dirinya akan sering buat konferensi pers, demi menyatakan perang. Mengapa pula harus menghabiskan energi untuk menghadapi sesuatu yang belum jelas di mata publik?

***

DI antara semua presiden Indonesia, SBY mengikuti jejak Megawati yang tetap eksis di partai politik. Mega sejak awal memimpin partai itu. Dia telah lama menjadi sukma yang mengawal warisan pemikiran ayahnya, hingga tak mau melepaskannya. Sementara SBY tadinya tak pernah menjabat posisi ketua umum, namun, ia kemudian mengambil alih posisi ketua umum lalu mengendalikan partai sesaat setelah dirinya lengser.

Di sini, terlihat paradoks. SBY adalah seorang demokrat, sesuai nama partainya, yang memberi ruang atau arena bagi kontestasi dalam dunia politik. Akan tetapi, dirinya justru sedang membentangkan karpet merah untuk anak-anaknya di jalur politik. Di banyak kota, foto anak sulungnya kini menghiasi jalan-jalan raya. Sang anak diperkenalkan sebagai calon pemimpin dari trah Cikeas.

Kita bisa saja berkata bahwa sang anak punya potensi sehebat ayahnya. Jika demikian halnya, mengapa dirinya tak dibiarkan sendirian menempuh jalan berbeda, meskipun itu berliku-liku, agar kelak menggapai keemasannya sendiri. Mengapa dia tak membangun nama besarnya di satu bidang kehidupan, hingga pada satu titik dirinya akan menorehkan jejak sejarahnya sendiri, dan jauh melampaui sang ayah.

Akan sangat elok jika semua mantan presiden, khususnya Mega dan SBY, untuk menjauh dari hingar-bingar politik. Jauh lebih baik jika mereka merawat sesuatu yang lebih besar bagi bangsa ini. Lebih baik merawat warisan sejarah serta tanggung jawab untuk menjadi nurani dan detak jantung anak bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Justru tidak elok ketika seorang mantan presiden masih berkutat sebagai pemimpin partai politik yang berurusan dengan remeh-temeh, termasuk siapa calon bupati yang akan diusung di setiap daerah. Mereka harus menjauh dari cara berpikir sempit yang melihat politik sebagai palagan menang kalah. Mereka harusnya melampaui semua batasan dan sekat-sekat dunia politik demi Indonesia raya.

Mereka seharusnya menjaga kerja-kerja kebudayaan, tanpa harus terjebak pada pandangan sempit yang melihat tanah air dari sisi suku, bangsa, agama, dan partai politik. Mereka harusnya melingkupi semua orang, lalu menyerahkan energinya untuk kerja-kerja kebudayaan dan kemanusiaan. Mereka bukan milik satu partai, tapi milik semua bangsa Indonesia.

Kini, tinggal Presiden Habibie yang menjauh dari hingar-bingar politik. Saat turun dari jabatan presiden, Habibie menulis buku Detik-Detik yang Menentukan agar publik tahu betapa beratnya masa-masa yang dihadapinya sebagai presiden pengganti dari Suharto yang mengundurkan diri. Melalui buku, Habibie menjernihkan kasak-kusuk dan berbagai informasi berseliweran tentang periode itu. Dia memilih jalur intelektual demi meramaikan dialog publik, bukannya pergi melapor ke Bareskrim.

***

JIKA saja saya bertemu dengannya, barangkali saya akan menitipkan banyak pesan. Ayolah Pak SBY. Bongkarlah semua yang selama ini tersimpan rapat. Tak usah khawatir akan terjadi geger hanya karena dirimu membuka kotak pandora peristiwa itu. Lebih baik negeri ini heboh, sebab semua pihak akan tahu apa permainan di balik layar.

Lebih baik semua warga geger, namun perlahan semua pihak mencari cara untuk menyelesaikan segenap konflik yang mendera tubuh bangsa. Tunjuk saja siapa pelakunya agar publik tahu bahwa rasa murka yang gemuruh itu adalah kemarahan saat melihat ketidakadilan dan fitnah, bukan karena dirimu hendak menyembunyikan sesuatu.

Jika Pak SBY hanya sibuk jumpa pers lalu merasa terzalimi saat didampingi anak istri, maka publik hanya melihat satu tayangan yang serba kabur. Mungkin, ada pihak yang merasa dirimu sedang difitnah, namun, kita tak bisa menampik sejumput tanda tanya: ada permainan apa di negeri ini sehingga namamu disebut di persidangan? Jika posisimu benar, tak perlu mengkhawatirkan apapun. Bukankah seperti dirimu pernah katakan saat jumpa pers tentang Ahok, tak ada satu pun warga negara yang kebal hukum?

Para pemimpin seperti Bung Karno justru tak berdaya di hadapan rezim yang sekeras baja. Puluhan tahun Bung Karno menerima stigma negatif. Tapi keluarganya tak pernah berniat memperkarakan mereka yang menulis sosok itu dengan kalimat penghinaan. Warisan Bung Karno seakan hendak dilupakan. Bahkan rezim pernah nyaris menghapus sosoknya dalam momen penting pengibaran bendera sesuai pembacaan naskah proklamasi.

Namun, sejarah tak pernah tidur. Tuhan tak pernah diam. Di masa mendatang, teka-teki itu akan diurai. Akan ada pihak yang kemudian mengusut lalu coba meluruskan sejarah demi menyatakan bahwa Bung Karno adalah pemimpin besar yang berhasil membawa bangsa ini ke era kemerdekaan.

***

SAYA membayangkan SBY yang seharusnya undur diri dari panggung, kini kembali memilih jihad dan perang. Dia memang tak pernah menghilang, sebab di akhir masa kepresidenan, masa di mana dia seharusnya tetirah dan lengser, tetap saja memegang kursi ketua umum partai.

Jika saja banyak rumor yang dikemukakan pengacara SBY di banyak media benar, maka dia harus menghadapi banyak pihak yang dahulu menjadi oposisi, atau minimal pernah bekerja lalu kecewa dengannya. Dia menghadapi mereka yang pernah dibesarkannya, serta mereka-mereka yang pernah berharap banyak padanya.

Di usia yang seharusnya dirinya sudah menjadi begawan bagi politik Indonesia, dia masih harus berjibaku dan menghadapi banyak serangan, jika tak ingin segara karam lalu nama dan keluarganya hilang begitu saja. Publik tidak diam. Mereka mencatat apa saja yang telah diwariskannya, tak hanya saat menjabat sebagai presiden, namun sebagai warga negara biasa yang bertindak dan berpikir sebagai seorang negarawan besar.

Pada titik ini,  publik menanti warisan dan keteladanannya, sehingga Dewi Themis, dewi yang memegang sebilah pedang dan menutup matanya, bisa menempatkan dirinya sebagai figur yang selalu memegang supremasi hukum, meskipun kelak pedang hukum akan menebas dirinya.

Pak SBY, bisakah kami berharap akan secercah keteladanan?


0 komentar:

Posting Komentar