Nurani Jurnalisme dalam the Post


poster film The Post

KEMARIN, saya menonton film The Post yang mengisahkan dinamika jurnalisme di Amerika Serikat pada tahun 1970-an, saat dokumen Pentagon Papers dipublikasikan semua media. Sebagaimana kita tahu, Pentagon Papers membuat gusar Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon. 

Melalui tangan besinya serta dukungan hakim federal, Nixon mengancam untuk breidel semua media massa yang memuatnya. Bagi Nixon, negara tak pernah salah. Semua tindakan negara harus selalu benar, meskipun itu membohongi publik. Atas nama nasionalisme dan patriotisme, seorang presiden berhak melakukan apa pun, termasuk mengirim anak-anak muda ke medan perang demi membela negara.

Dalam catatan saya, inilah film paling bagus yang saya tonton selama setahun terakhir. Wajar saja jika beberapa penghargaan internasional telah diraih film ini. Selain itu, salah satu alasan utama saya menonton film ini adalah sutradaranya Stephen Spielberg. Di mata saya, beliau bukan sutradara yang mengejar aspek komersial. Beliau memilih-miih film yang hendak disutradarainya. Dia selalu memilih sesuatu yang berupa jejak makna dan akan membekas di benak semua penonton. Setiap kali kelar nonton film yang disutradarai Spielberg, saya akan sering merenungi banyak pusaran pesan dan makna di situ.

Sosok utama dalam film ini adalah Katharine Graham (diperankan Merryl Streep), pemilik harian The Washington Post. Perempaun yang disapa Kay itu terlihat kikuk dan tak percaya diri. Visinya sangat kuat yakni menyajikan jurnalisme berkualitas yang nantinya akan membawa profit. Tapi dia sering malu menyampaikannya. Sesekali dia bergabung dengan banyak sosialita demi menjaga hubungan baik dengan Washington Post yang dimilikinya. Dia juga menyerap info-info di situ.

Sosok penting lainnya adalah editor Ben Bradlee (diperankan Tom Hanks), seorang editor yang setiap hari mengendalikan liputan. Ia sosok ambisius yang menginginkan korannya menjadi yang terdepan dalam memberita. Korannya harus lebih dahulu memberitakan hal hebat. Sampai-sampai dia pernah meminta seorang reporter untuk datang ke New York untuk melihat bagaimana cara kerja koran pesaing.

Begitu marahnya dia ketika korannya memberitakan pernikahan putri presiden di halaman depan, pada saat The New York Times justru pertama kali memuat riset tentang Pentagon Papers, yang isinya permainan elite negara itu di perang Vietnam. Ben tak pernah ingin kecolongan. Dengan kekuasaannya, ia bisa memaksa seorang reporter untuk menemukan dokumen itu, bagaimanapun caranya.

Ketika dokumen itu di tangan, masalah tak berhenti di situ. Dia harus memahami ribuan halaman itu dalam waktu singkat agar segera dimuat dimuat di media. Dia juga harus menerima tekanan bertubi-tubi dari pemerintah yang tak ingin aib perang itu sampai ke publik. Ben adalah sosok idealis yang selalu percaya bahwa tugas media adalah mewartakan kebenaran dan mencerahkan publik.

Pada situasi ketika Ben tertekan dari segala lini, semua keputusan diserahkan kepada Kay Graham. Di sinilah terlihat bagaimana visi yang kuat, keberanian mengambil risiko, serta leadership dari seorang pemilik media. Adegan favorit saya di film ini adalah ketika Kay Graham di tengah pesta para tokoh-tokoh politik, tiba-tiba saja dia dipanggil ke satu ruangan untuk menerima telepon yang isinya adalah pertanyaan apakah dirinya setuju jika dokumen yang menikam pejabat Amerika itu dipublikasikan.

Saya menyukai ekspresi serta gerak kamera yang memutar demi merekam bagaimana wajah Kay Graham yang penuh tekanan saat mengambil keputusan. Saya menyukai kemewahan akting Merryl Streep saat hendak menentukan sikap. Dia ingin koran itu bertahan lama. Maklumlah, koran pesaingnya the New York Times lebih dahulu mendapat peringatan dan dibredel pemerintah sampai jangka waktu tertentu. 

Jika Kay mengizinkan pemuatan laporan yang menelanjangi pemerintah Amerika itu, maka bisa diprediksi pemerintah akan membredel korannya, sehingga ribuan orang yang berada di mata rantai industri jurnalisme bisa kehilangan pekerjaan. 

Tapi Kay percaya 100 persen pada reporter dan editornya. Di usia yang tidak muda lagi, dia berani mengambil risiko yang bisa membahayakan korannya. Rupanya, dia sangat yakin bahwa tugas utama jurnalistik adalah bagaimana melayani masyarakat, menyediakan informasi yang berimbang, serta membuka berbagai borok dan kepalsuan di lembaga-lembaga pemerintahan.

Bermula dari situasi yang dihadapi Kay inilah, muncul prinsip utama dalam jurnalisme yakni fire wall (pagar api) berupa pemisahan antara jurnalistik dan bisnis. Keduanya berjalan seiring dan tidak saling mengganggu. Kegiatan jurnalistik harus berjalan secara independen, tanpa harus ada intervensi dari pihak manapun, termasuk pihak bisnis. Dengan cara itu, media bisa independen dan tetap menjaga kualitasnya. Mengutip kata Bill Kovach, media hanya mengabdi pada kepentingan publik melalui idealisme para jurnalisnya.

Gayung bersambut. Perjuangan The Washington Post kemudian kembali diikuti The New York Times, serta semua koran-koran di Amerika Serikat. Pers saling bantu saat berperkara di pengadilan, sehingga akhirnya Mahkamah Agung Amerika memenangkan pihak pers yang sedang menjalankan tugas utamanya yakni mencerahkan publik. 

Seperti kata Bill Kovach, tugas jurnalistik selalu berpihak pada nurani, yang merupakan pantulan dari nurani ideal masyarakat. Nurani adalah tempat menemukan kejernihan dan sisi paling ideal dalam memandang sesuatu, menjadi kompas yang mengarahkan sikap.

*** 

FILM ini membuka banyak lapis kenangan saya ketika menekuni dunia jurnalistik, khususnya jurnalisme cetak. Masih segar di ingatan saya tentang rapat-rapat redaksi, rapat mendadak di ruangan pemimpin redaksi, serta perintah mendadak untuk menemui narasumber, melakukan konfirmasi, bahkan yang paling melelahkan adalah membongkar kembali halaman koran yang telah selesai di-layout.

Media memang berurusan dengan seberapa cepat mengejar informasi, serta bagaimana mengemas peristiwa dengan baik. Dalam iklim persaingan yang begitu tinggi, media dituntut untuk sangat kreatif dan segera menemukan isu yang paling hangat untuk dibahas publik. Makanya, suasana redaksi selalu dinamis dan penuh teriakan. 



Saya terkenang guru saya di bidang jurnalistik Valens Doy, wartawan senior Kompas, yang selalu menyebut paradoks di newsroom. Katanya, jurnalis mendorong demokratisasi dan keterbukaan, tapi ruang redaksi (newsroom) adalah ruangan “para bajingan” yang penuh marah-marah serta umpatan pada jurnalis. Mungkin saja jurnalis kita harus dihardik agar sisi terbaik dalam diri mereka bisa segera keluar, yang akan membawa dampak positif bagi media itu. 

Dunia jurnalisme adalah dunia yang selalu bergerak. Setiap saat orang-orang berkumpul membahas isu, lalu berrembug bersama bagaimana mengemasnya. Kolaborasi adalah kekuatan utama untuk menghasilkan karya terbaik. Semua orang tahu tugas dan perannya masing-masing, kemudian bekerja keras untuk menyajikannya. Seorang jurnalis tak punya waktu luang. Hari-harinya diisi dengan menemukan isu atau informasi yang akan disajikan pada pembaca.

Bahkan saat sedang santai sekalipun, dia harus siap-siap diinterupsi karena ada telepon dari kantor yang menanyakan sesuatu. Itu dialami Kay Graham, yang di sela-sela perayaan ultah di rumahnya, harus menyibak kerumuman orang-orang hanya karena kantor menelepon dan meminta keputusan darinya.

Sosok Ben Bradlee adalah tipikal redaktur yang selalu haus untuk menemukan hal baru. Dia bekerja keras menyajikan berita dengan angel paling menarik, tapi dia juga sosok yang menghargai privacy narasumbernya. Dalam film ini, dia akhirnya menyadari bahwa sebagai jurnalis, dia harus bisa memisahkan mana yang merupakan ranah publik dan mana yang merupakan ranah pribadi. Meskipun seorang narasumber adalah temannya, dia tetap harus profesional saat memberitakan sesuatu.

Dan kebahagiaan seorang jurnalis adalah ketika bertemu banyak orang yang merasa terbantu atas informasi yang ditulisnya. Pada titik ini, seorang jurnalis sukses membagikan sesuatu yang mencerahkan, membuka selubung gelap dari kenyataan, serta membantu orang lain mengupas-ngupas semua inti realitas.

Mungkin inilah kepuasan yang dirasakan Kay Graham dan Ben Bradlee saat bau busuk dalam pemerintahan Nixon itu mulai menyebar. Melalui kerja jurnalistik, mereka bisa menjadi anjing penjaga atas kebobrokan di depan mata. Bahwa mereka tidak sedang membongkar aib, tapi mencari kebenaran agar publik bisa lebih kritis terhadap semua yang terjadi di pemerintahan. 

Dengan membuka kebobrokan, mereka memberi alarm kepada publik agar selalu kritis dan berhati-hati pada agenda negara yang selalu mengatasnamakan rakyat. Bisa jadi ada hawa nafsu dan taktik pencitraan yang hendak menutupi kebohongan dengan yel-yel kecintaan pada rakyat. Bisa jadi, ada kepentingan dan kuasa politik yang diarahkan jauh dari rel kebenaran demi mengeruk pundi-pundi materi melalui kursi kekuasaan.

Saya tersentuh pada satu adegan dalam film. Saat Kay Graham antri di depan kantor pengadilan, seorang mahasiswa menunjukkannya jalan pintas. Mahasiswa itu bekerja di kejaksaaan, yang sesungguhnya sedang menggugat Kay dan insan pers lainnya. Tapi mahasiswa itu justru berbisik, “Saya mendukung dan mengagumi kalian. Beberapa keluarga saya juga dikirim ke Vietnam untuk misi bunuh diri yang tak ada kaitannya dengan kita semua di sini.”

Film yang inspiratif dan membuka mata.


0 komentar:

Posting Komentar