Siasat Jokowi Menangkan Semua Pilkada




GENDERANG pilkada serentak telah ditabuh seiring dengan diumumkannya pasangan calon kepala daerah. Di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, kemeriahan segera terasa. Semua partai politik dan para kandidat bersiap memasuki arena demi memenangkan pilkada dan mengamankan kursi kekuasaan selama lima tahun.

Bagi elite politik di Jakarta, pilkada adalah ajang pertaruhan. Dikarenakan pilkada dilaksanakan pada tahun politik, apapun hasilnya akan mempengaruhi konstelasi politik pada tingkat nasional. Apalagi, pilkada ini akan dilaksanakan di daerah-daerah yang basis massanya sangat banyak, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Bukankah Djawa adalah koentji?

Bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sudah pasti akan berlaga di pilpres mendatang, pilkada adalah palagan ataupun arena tempur yang harus dimenangkan. Menang-kalah akan membawa pengaruh pada duel di arena Pilpres. Setelah kandidatnya kalah di Jakarta dan Banten, apakah dirinya akan kembali memainkan strategi yang sama dan kembali kalah telak? Ataukah dirinya datang dengan strategi baru yang membawanya pada kemenangan?

***

TAK ada rasa khawatir di benak Khofifah Indar Parawasa menjelang pengundian nomor urut di arena pilkada Jawa Timur. Dirinya yang berpasangan dengan Emil Dardak tak mengistimewakan nomor manapun. Bagi mereka, nomor berapa pun tak masalah. Yang penting mereka bisa masuk arena dan memenangkan pemilihan.

“Milih yang mana saja. Yang penting harapannya menang dan dilantik,” kata Khofifah saat ditanyai di Hotel Garden Palace, Senin (12/2) kemarin.  Nomor satu atau dua sebagai urutan untuk nomor pasangan calon menurutnya tidak masalah. Asalkan nomor tersebut membawa keberhasilan dan mengantarkannya menjadi pemenang dalam Pilgub pada 27 Juni mendatang.

Khofifah memandang pilkada Jawa Timur lebih tinggi dari apapun. Ia rela melepaskan tanggung jawab sebagai menteri sosial demi mengikuti ajang perhelatan pemimpin politik yang belum tentu dimenangkannya. Ia akan berhadapan dengan Saifullah Yusuf (Gus Ipul), sosok yang ketika menjadi pasangan Soekarwo, pernah mengalahkannya dua kali.

Kali ini, Khofifah lebih optimis. Demi pengundian nomor urut, ia mengerahkan ribuan relawan agar menghadiri acara tersebut. Optimismenya juga menguat saat memikirkan bagaimana basis massa tetap mengenalnya sebagai aktivis NU yang cukup berpengaruh hingga perhelatan politik nasional. Dia juga optimis karena berpikir bahwa Istana Presiden akan mendukungnya.

Diskusi tentang ke mana dukungan Istana Presiden menjadi bahasan yang cukup menarik di Pilkada Jatim. Betapa tidak, dicopotnya Khofifah dari posisi Mensos menimbulkan spekulasi dirinya tidak didukung. Bisa saja Presiden Jokowi mempertahankannya di kursi Mensos, dengan memberinya cuti. Spekulasi bermunculan kalau istana tidak seberapa mendukungnya. Namun, ada juga analisis yang menunjukkan bahwa dicopotnya Khofifah adalah upaya “main cantik” dari istana. Khofifah dibebaskan dari kepentingan politik agar fokus mendulang suara di Jatim.

Di kubu sebelah, Gus Ipul juga optimis Istana Presiden akan mendukungnya. Gus Ipul yang berpasangan dengan Puti Guntur Sukarno, didukung oleh koalisi partai yakni PDIP, PKB, PKS, dan Gerindra. Koalisi ini dipimpin PDIP, partai politik tempat Jokowi bernaung. Jokowi dan Puti Guntur Sukarno sama-sama “petugas partai” yang merupakan representasi kubu nasionalis.

Kita bisa melihat bahwa koalisi pendukung pemerintah tidak berada di satu kubu. Koalisi partai itu menyebar, sengaja mendukung kandidat yang berbeda, sehingga tidak bisa diklaim satu figur hanya identik dengan oposisi. Selalu ada pengelompokan yang cair, sehingga siapa pun yang menang, kemungkinan besar akan memiliki afiliasi dengan pemerintahan Jokowi.

Jika diamati dengan melihat koalisi partai dan kader yang bertarung, pemenang Pilkada Jatim adalah figur yang dekat dengan Jokowi. Khofifah adalah mantan juru bicara Jokowi saat Pilpres. Sedangkan Gus Ipul diusung partai yang mengusung Jokowi. Gus Ipul didukung Megawati yang notabene adalah pemimpin partai yang mengorbitkan Presiden Jokowi.

***

STRATEGI Jokowi di pilkada serentak ini terlihat berbeda dengan strategi di pilkada sebelumnya. Kali ini, Jokowi lebih taktis dan hati-hati. Ia seakan menerapkan pepatah Inggris: “Don’t put your eggs in one basket” yang secara harfiah bermakna jangan menyimpan telur dalam satu keranjang. Artinya, jangan mengonsentrasikan semua upaya hanya di satu pihak. Lakukanlah semua upaya di beberapa pihak sehingga siapapun yang menang pasti akan membawa kemenangan bagimu.

Pilkada Jakarta dan Banten adalah pelajaran berharga. Di dua pilkada ini, partai pendukung pemerintah hanya berada di satu kubu. Ketika kubu lawan menguat, serta ditopang strategi yang bagus, maka kemenangan figur yang tidak punya kedekatan dengan pemerintah adalah petaka. Makanya, pada pilkada ini, partai-partai pendukung pemerintah sengaja menyebar, sehingga bisa ditemukan di mana-mana.

Seorang rekan aktivis partai politik yang dekat dengan istana menuturkan, Jokowi fokus mengamati pilkada hanya di daerah yang padat penduduknya. Pilkada provinsi, yang masuk radar istana adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Jumlah penduduk di lima daerah ini melewati angka 50 persen wajib pilih di pilpres mendatang. Kemenangan adalah harga mati yang tak bisa ditawar.

Strateginya cukup jitu sebab basisnya bukan hanya satu partai yakni PDIP, melainkan beberapa partai pendukung pemerintah. Kita bisa melihat mobilitas partai-partai ini yang berpencar dan tidak mendukung satu calon, sehingga skenario apa pun yang terjadi, pemenangnya adalah Jokowi juga.

Kita bisa melihat fenomena di Jawa Barat. Pada mulanya, terbentuk koalisi antara Dedy Mizwar dan Ahmad Syaikhu. Mereka adalah representasi dari Demokrat dan PKS. Di tengah jalan, koalisi ini bubar dikarenakan Gerindra tidak sudi bergabung. Gerindra merasa koalisi ini ibarat kereta yang sudah berlari kencang, dan mereka diminta mengikuti banyak kesepakatan.

Gerindra lalu memutuskan untuk membentuk koalisi baru bersama PKS dan PAN. Alasan lain juga muncul yakni koalisi sebelumnya dikendalikan Cikeas sehingga mendukung koalisi itu sama dengan mendukung Agus Yudhoyono sebagai calon presiden.

Gerindra membentuk poros sendiri bersama PKS dan PAN yang sama mendukung Sudradjat – Ahmad Syaikhu. Pasangan  ini berhadapan dengan pasangan Ridwan Kamil – U’u Ruzhanul Ulum yang didukung Nasdem, PPP, Hanura, dan PKB, kemudian pasangan Dedy Mizwar – Dedi Mulyadi yang diusung Demokrat dan Golkar. Sementara itu, PDIP mendukung TB Hasanuddin dan Anton Charliyan.

Penting untuk melihat bagaimana koalisi pemerintah mengepung pasangan usungan Gerindra dan PKS ini. Siapapun yang menang antara Ridwan Kamil ataupun Dedy Mizwar, bahkan TB Hasanuddin, maka posisi pemerintah ada di situ.

Kita bisa melihat bahwa pemerintah memainkan tiga kartu sekaligus. Satu di kubu Ridwan Kamil sebab diusung Nasdem dan PPP, satunya lagi di kubu Dedy Mizwar dan Dedi Mulyadi yang didukung Demokrat dan Golkar. Serta TB Hasanuddin – Anton yang didukung PDIP. Jika satu kubu ini menang, maka lagi-lagi ini adalah kemenangan Jokowi yang menyimpan kartu di tiga kubu.

Lihat pula pertarungan di Sumatera Utara (Sumut). Saat Edy Rahmayadi, yang didukung Gerindra perlahan mengumpulkan basis dukungan, beberapa partai pendukung pemerintah juga merapat. Partai itu adalah Nasdem dan Golkar demi menggenapi dukungan Gerindra, PKS, dan PAN.

Pada awalnya, Edy diyakini berpotensi menang mutlak. Namun setelah koalisi PDIP dan PPP mengajukan calonnya yakni Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus, maka petanya mulai berubah. Pesaing lainnya adalah JR Saragih dan Ance Selian yang didukung Demokrat, PKS, dan PKPI. Pasangan terakhir belum tentu lolos sebab masih terganjal di KPU.

Informasi yang berhembus dari Sumut, Djarot justru lebih berpeluang menang. Dirinya bisa mengonsolidasikan etnik Jawa yang cukup banyak di sana, juga bisa menjadi oase dari kader parpol yang dianggap lebih lurus dan punya visi kuat jika dibandingkan pesaing-pesaingnya.

Kita juga bisa menggunakan cara berpikir yang sama dalam melihat pilkada di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Kubu Jokowi tak menyimpan dukungan pada satu kubu, memainkan sengaja menyebar sehingga siapa pun pemenangnya, akan menjadi mitra koalisi yang bisa memastikan lancarnya agenda-agenda politik ke depan. Kalaupun tak mendukung, minimal kepala daerah itu tidak akan menghambat beberapa agenda politik terkait pemenangan pilkada.

***

KATA Harold Lasswell, politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when, and how). Pemenang di arena politik adalah sosok yang bisa memahami siapa dirinya, mengenali kekuatan lalu mengeluarkan strategi paling jitu untuk memenangkan pertarungan. Politik, sebagaimana pernah dicatat Machiavelli, adalah kegiatan yang bermuara pada bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dalam rumusannya, “siapa yang mempunyai senjata akan mengalahkan siapa yang tidak mempunyai senjata”.

Di era Jokowi, senjata yang dimaksud tak selalu berupa senjata dalam pengertian alat-alat kuasa. Tapi bisa pula modal, dukungan partai politik, pengusaha, pengaruh, media massa, hingga strategi mengemas seorang kandidat dan menjaga ritme kemenangan. Di era Jokowi, pemenang di arena politik adalah sosok yang bisa mengombinasikan soft power dan bisa menentukan kapan harus bermain, kapan harus menunggu, dan kapan harus melangkahkan bidak.

Jika pilkada adalah arena percaturan politik, kita akan menanti-nanti bagaimana kelihaian Jokowi dalam mengarahkan bidak caturnya. Sejauh ini, langkah-langkahnya cukup meyakinkan. Apakah dirinya akan menang? Semuanya akan terjawab dalam beberapa bulan mendatang. Yang pasti, dia telah memainkan strategi baru yakni menyimpan telur dalam beberapa keranjang.

Makanya, apapun pilkadanya, pemenangnya adalah Jokowi.



0 komentar:

Posting Komentar