Apa Kabar Abraham Samad?



TERHADAP ajakan makan siang, saya tak pernah menolak. Di kota sebesar Jakarta, ajakan makan siang tak melulu soal makanan ataupun petualangan kuliner. Ajakan makan siang bisa jadi kesempatan untuk berbincang-bincang dan membahas peluang baru. Ada banyak pengetahuan baru yang muncul dalam bincang-bincang di acara makan siang.

Siang itu, Muhammad Asri Anas, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan Sulawesi Barat mengajak saya bertemu seseorang di restoran Aroma Sedap. Saya cukup familiar dengan nama Aroma Sedap, sebab mengingatkan saya pada nama restoran di jalan poros menuju Parepare.

Restoran itu terletak di Jalan Cik Di Tiro, tak seberapa jauh dari Taman Suropati. Rupanya, restoran yang hendak kami kunjungi kurang familiar bagi para driver. Buktinya driver yang hendak mengantar kami malah tidak tahu arah restoran itu. Terpaksa, kami mengandalkan aplikasi Google Map, yang dengan segera menunjuk arah lokasinya. Di jalanan Kota Jakarta, Google Map ibarat kakek Segala Tahu, yang dalam cerita Wiro Sableng selalu bisa menjawab pertanyaan mengenai arah yang hendak dituju.

Tibalah kami di restoran ini. Baru saya tahu kalau restoran ini menyediakan menu sea food ala Makassar. Ini pengetahuan baru buat saya. Selama ini, saya hanya tahu warkop Phoenam ataupun Restoran Pelangi di dekat Stasiun Gondangdia yang menyajikan menu nikmat ala Makassar. Ternyata ada restoran lain yang sebagus dan selengkap Phoenam dan Pelangi.

Interiornya berkelas menunjukkan kalau pengunjungnya adalah warga dengan ekonomi menengah ke atas. Meja kursi ditata dengan rapi. Restoran ini agak sunyi. Dugaan saya, belum banyak orang yang tahu restoran ini. Saya dan Kak Asri langsung masuk ke dalam restoran.

Di sudut restoran, saya melihat sosok itu. Rupanya, kami akan bertemu Abraham Samad, mantan Ketua Pemberantasan Korupsi (KPK). Rasanya tak ada orang yang tak mengenalnya. Kepada pelayan restoran saya bertanya, apa kenal dengan sosok itu? Pelayan itu mengangguk, malah berkata “Siapa sih yang tidak kenal dengannya?”

Abraham masih seperti sosok yang sering tampil di televisi. Kumis dan janggutnya masih ada. Tak ada yang berubah dengan penampilannya. Dia masih seperti Abraham yang lebih 10 tahun lalu saya lihat selalu nongkrong di beberapa warkop di Makassar.

Dia mengaku suka nongkrong di restoran ini. Katanya, nama Aroma Sedap memang diambil dari nama restoran yang ada di jalan menuju Parepare. Pemiliknya adalah orang yang sama. Sayangnya, restoran ini belum familiar di kalangan orang Sulawesi di Jakarta. Itu pula alasan mengapa Abraham suka makan di situ. “Malaska kalau pergi di tempat yang banyak orang. Nda nyamanka,” katanya dalam aksen Makassar.

Orang-orang melihat sosok ini sebagai sosok yang garang saat tampil di media. Sebagai Ketua KPK, ia sering tampil saat mengumumkan tersangka korupsi. Gayanya kadang berwibawa, kadang lebay. Dia tampak dingin dan jarang senyum dalam diskusi-diskusi. Sosoknya cukup angker. Sebagai Ketua KPK, ia berperan sebagai algojo yang menetak leher para koruptor.

Saya masih terkenang saat dirinya pertama menjabat ketua dan mengumumkan status tersangka untuk Miranda Gultom. Keesokan harinya dia kembali ke Makassar. Kehadirannya ditunggu di warung kopi untuk jadi pembicara diskusi. Ketika tiba, dia diserahkan badik, yang dihunusnya lalu diacungkan ke atas.

Dia ingin mempertegas komitmennya ketika fit and proper test hadapan DPR bahwa dirinya akan malu pulang kampung kalau merasa gagal dalam upaya pemberantasan korupsi. Gambaran dirinya memegang badik itu selaras dengan fotonya saat masih menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas yang gondrong dan nampak seram.

***

“Di mana pernah saya lihat ko?” teriaknya ketika kami bertemu. Saya tersenyum lalu mengingatkan bahwa kami dahulu sering bersama-sama. Malah, pernah beberapa kali merancang diskusi mengenai politik di Makassar. Dia berdiri lalu memeluk saya. “Lama sekali sa nda liat ko? Gimana kabar? Baik-baik ji?”

Abraham masih sehangat dahulu. Semasa dirinya menjadi Ketua KPK, kami tak pernah bersua. Saya juga pensiun dari pergaulan warung kopi di Makassar, dan kini menekuni dunia pelatih kucing di Bogor. Saat dirinya kian menjadi legenda pemberantasan korupsi, saya memilih melihatnya dari tepian. Sesekali bertepuk kala dirinya tampil hebat di media.

Sejujurnya, kami tak punya agenda pembicaraan khusus. Pembicaraan mengalir lepas sebab dirinya seorang pencerita yang tak pernah bosan bercerita. Tak banyak publik tanah air yang tahu kalau Abraham adalah sosok yang periang. Saat bertemu sahabat-sahabatnya, kalimat-kalimatnya mengalir lancar.

Dia tak pernah kehabisan stok kisah yang tak akan habis diceritakan dalam aksen khas Makassar. Saat berbincang dengannya, waktu akan terasa singkat. Dia bisa mendiskusikan hal-hal kecil hingga hal besar dengan semangat yang tak meluap-luap. Saat kami bertemu, dia bercerita tentang aktivitasnya seusai jadi Ketua KPK.

Dia lebih banyak bermukim di Jakarta. Tapi sebulan sekali pulang ke Makassar untuk menengok orangtuanya. Dia menekuni aktivitas yang kini amat disukainya yakni mengajar. Dia laris diundang dari kampus ke kampus. Dia mengaku beberapa kali diundang ke Singapura untuk membawakan materi pada lembaga anti korupsi di sana. Dia menganggap bahwa agenda pemberantasan korupsi di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain akan berbeda. Semua negara punya kasus dan penanganan yang berbeda sebab polanya juga berbeda.

Saya heran mengapa dirinya tidak berpikir untuk jadi pengacara, atau minimal jadi tim sukses kandidat gubernur, sebagaimana komisioner lainnya. “Kalau saya mau jadi pengacara bos, pasti uang akan banyak mengalir. Apalagi saya pernah jadi Ketua KPK. Tapi saya nda mau pilih profesi itu. Sebab bisa-bisa saya khianati idealisme yang sudah saya bangun. Lebih baik saya di bidang pendidikan saja,” katanya.

Abraham belakangan ini sering menjadi pengajar. Dia tak hanya diundang perguruan tinggi. Dia justru kerap kali diundang untuk memberikan materi anti-korupsi pada generasi muda. “Harusnya kita semua fokus pada generasi muda. Kita berharap generasi yang banyak korupsi ini akan segera berlalu. Mereka yang muda ini kita harapkan lebih bersih dan punya integritas. Karena integritas itu adalah hal paling mahal di jaman now,” ujarnya.

Dia mengakui, selama menjadi pimpinan KPK, lembaganya hanya fokus pada pemberantasan korupsi. Katanya, KPK seperti lembaga pemadam kebakaran yang hanya muncul saat ada api. Harusnya bisa juga fokus pada upaya pencegahan korupsi dengan cara membimbing generasi muda.

“Kita tahu sendiri. Kondisi negeri ini sedang darurat korupsi. Makanya kita fokus pada pemberantasan. Ko masih ingat kan, ada anak muda umur 30-an tahun, pegawai negeri golongan 3 B. Dia alumni STAN, tiba-tiba rekeningnya ditemukan miliaran. Kenapa bisa begitu? Karena dia tidak punya integritas,” katanya.

Saya paham bahwa yang dimaksudkannya adalah Gayus Tambunan, yang telah divonis 30 tahun penjara. Gayus divonis bersalah dalam kasus pencucian uang. Gayus juga diharuskan membayar denda hingga satu miliar rupiah.

Pembicaraan kami selanjutnya banyak membahas soal pendidikan. Abraham pernah bertemu Menteri Pendidikan M Nuh. Dia lalu memprotes pendidikan kita yang pada usia dini, anak-anak telah dipaksa untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung.
“Coba lihat di negara lain. Sampai SD, anak-anak tidak terlalu dipaksa belajar. Mereka diajari integritas lewat permainan atau hal-hal lain yang edukatif. Makanya, anak-anak punya karakter. Ketika besar dan berkarier di bidang apa pun, mereka punya fundasi kuat untuk tidak korupsi,” katanya.

Abraham sangat peduli dengan generasi muda. Ia mengaku jika dipanggil untuk menginspirasi dan ceramah di hadapan anak-anak muda, ia akan sangat senang menghadirinya. Sebab pada generasi muda ia meletakkan harapan akan Indonesia yang lebih baik dan lebih sejahtera ketika warganya bersikap jujur dan tidak punya niat korupsi.

Dari sisi ekonomi, Abraham bercerita kehidupannya kini biasa saja. Ia punya cerita tentang anaknya yang diterima kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) di Solo. Ia mengaku biaya kuliahnya cukup mahal dan memberatkannya.

Saat bertemu Rektor Unhas Prof Idrus Paturusi, yang berprofesi sebagai dokter, ia menyampaikan keluhan. Kata Prof Idrus, ada mekanisme keringanan yang ditempuh jika orangtua tidak mampu membayar biaya mahal. Dirinya harus  bersurat. Namun, karena kesibukan, Abraham tidak sempat mengirimkan surat.

Abraham mengaku kenal Rektor UNS karena pernah diundang untuk meresmikan lembaga anti korupsi di kampus itu. Hanya saja, dia tidak ingin melobi sebab dirinya masih menjabat Ketua KPK.

Hingga suatu hari, ada nomor tidak dikenal yang menghubungi ponselnya. Ia mengabaikannya karena nomor tidak dikenal. Tak lama datang SMS. Pengirimnya adalah Rektor UNS yang meminta Abraham agar mengirimkan surat demi keringanan biaya kuliah. “Harusnya Pak Abraham bilang sejak awal. Biar kami bantu prosesnya,” katanya.

***

SELAIN diundang ke sana ke mari, dia juga mengaku beberapa kali ke negara lain untuk melatih di lembaga anti korupsi. Negara yang sering dikunjunginya adalah Singapura. Yang menarik, seusai kembali dari Singapura, dia akan membeli banyak bahan makanan di supermarket. Bahkan, dia juga membeli produk Indonesia seperti mie instan dan obat-obatan. Hah?

“Saya suka sekali makan mie, Tapi saya takut-takut kalau beli mie di Indonesia karena tidak higienis. Banyakmi saya dengar orang yang sakit gara-gara makan mie. Kalau di Singapura, pengawasannya sangat ketat. Di sana, semua makanan yang beredar dijamin sehat. Anak-anak dijaga dari makanan tidak sehat yang bisa merusak fisik dan pikiran mereka,” katanya.

Selain peduli pendidikan, dirinya juga peduli kesehatan. Jika dihubungkan, antara pendidikan dan kesehatan bertemu pada satu simpul yang sama yakni bagaimana menyiapkan generasi Indonesia yang secara fisik lebih sehat, dan secara mental punya integritas yang kuat. Dia ingin masa depan bangsa bisa lebih bersinar karena generasi hari ini membangun struktur yang kondusif agar Indonesia menjadi bangsa unggul.

Saya rasa ide-idenya bisa lebih diimplementasikan jika dirinya kembali mendapat amanah untuk sesuatu yang lebih besar. Namun, apakah dia masih punya keinginan lain untuk posisi politik yang lebih besar, semisal menteri atau presiden?

“Ah, sambarang kau. Terlalu cepat bahas itu. Kita kerja saja apa yang bisa dikerjakan. Insyallah bangsa ini lebih baik.”



0 komentar:

Posting Komentar