BANYAK orang sibuk membahas keberanian seorang mahasiswa yang meniup peluit lalu mengacungkan kartu kuning. Banyak orang saling tengkar di media sosial mengenai kandidatnya di pilkada. Adakah yang sejenak berhenti dan mengalihkan perhatian kepada tragedi meninggalnya seorang guru yang dipukuli muridnya di Sampang, Madura?
Guru honorer yang tewas itu bernama Ahmad Budi Cahyono. Ia mengajar di SMA 1 Torjun, Sampang, Madura. Budi mengalami tindak kekerasan seusai menegur muridnya yang ternyata seorang pendekar silat. Tak terima ditegur, murid itu mengeluarkan beberapa jurus yang kemudian membuat Budi tersungkur.
Budi masih sempat pulang ke rumah, sebelum akhirnya terkapar lalu tewas di rumah sakit. Dokter mendiagnosis guru itu tewas karena mati batang otak sehingga alat-alat tubuhnya mati seketika. Kepala guru itu menerima hantaman yang berujung pada cedera parah. Guru yang hari-harinya berdiri di kelas demi memoles kesenian dan membenahi budi pekerti siswanya itu tewas saat menjalankan tugas.
Beberapa teman guru memosting foto Budi yang tengah memegang biola di media sosial. Saya bisa merasakan betapa besarnya kesedihan istri Budi yang tengah hamil empat bulan. Sebagai anak dari pasangan guru, saya membayangkan betapa sedihnya saya jika itu menimpa keluarga saya. Tewasnya seorang guru di tangan muridnya bukan sekadar hilangnya satu jiwa di ruang sekolah, tapi duka yang harusnya ditangisi masyarakat kita.
Saya tak henti memandang potret Budi yang tewas di tangan muridnya. Ia memegang biola, sebagai tanda dirinya seseorang yang mengajar kesenian. Jika kesenian ibarat embun yang membasahi jiwa seseorang, maka Budi tewas karena tiadanya embun di jiwa muridnya.
Ia seharusnya menuntaskan tugasnya untuk melembutkan semua jiwa-jiwa kerontang itu. Apa daya, murid itu berada dalam kekang sistem sosial yang mengubahnya menjadi sosok bengis. Murid itu mengikuti naluri purba, tanpa membiarkan sisi paling manusiawi dalam dirinya berbisik.
Saya sedih memandang potret Budi. Semua guru menempuh jalan pedangnya sendiri ketika mengajar. Ada yang sesekali menghardik, namun beberapa detik kemudian bisa tersenyum saat menghadapi muridnya. Ada yang memilih jadi protagonis yang selalu sabar menghadapi semua muridnya. Ada yang memilih peran antagonis demi menegaskan mana yang salah dan mana yang benar.
Terhadap semua tindakan, terdapat pelajaran berharga tentang dunia yang kelak dihadapi semua murid tak selalu dunia yang penuh senyum. Untuk itu, karakter baja harus dibangun agar murid selalu tangguh menghadapi semua tantangan kehidupan. Karakter lembut juga mesti diasah agar murid selalu menemukan embun dan pencerahan dari semua hal-hal yang ada di sekitarnya.
Budi telah berpulang. Kematian seorang guru, apalagi dia guru honorer, bukanlah tragedi besar yang akan menyita perhatian semua orang. Kematian itu hanya menempati baris kecil di media-media dan perbincangan. Namun kematian seorang guru karena kekerasan siswanya ibarat dentangan lonceng yang menyerukan kematian banyak hal. Kematian itu ibarat lonceng tanda bahaya yang berbunyi nyaring dan sedang mengabarkan sesuatu yang lebih besar tengah ambruk di sekitar kita.
Tata nilai kita kian sekarat, saat seorang guru yang seharusnya diposisikan sebagai begawan yang didengar petuahnya, dan diperhatikan kalimat-kalimatnya, tewas di tangan anak asuhnya. Langit moral kita kita seakan runtuh berkeping-keping saat anak usia belasan tahun berani membunuh gurunya hanya karena satu teguran yang sejatinya hendak mengarahkannya pada kebaikan.
Menangisi kematian Budi adalah menangisi matinya sistem nilai kita, matinya relasi dan penghormatan kepada sosok yang mengajari anak-anak, matinya tradisi kearifan dan penghargaan pada sosok yang mengalirkan ilmu pengetahuan. Pada mereka yang mengajarkan kebaikan, selayaknya kita meletakkan penghormatan setinggi-tingginya atas semua karunia pengetahuan dan jendela pengetahuan yang dibuka lebar.
Mungkin saja sang guru memang berlebihan dalam mendidik. Dalam banyak kasus, kita sering mendengar kisah guru yang mendidik dengan kekerasan. Tapi kita juga harus mengakui bahwa kita gagal mendidik anak-anak kita untuk selalu berdialog dan menyampaikan keberatan dengan cara-cara yang bijaksana.
Mungkin saja kita abai dan tidak memberi ruang dialog kepada anak-anak kita, sehingga mereka pun cenderung memilih penyelesaian yang paling cepat. Begitu tak sepakat, tinju melayang. Dan seorang guru yang melembutkan hati itu akhirnya pergi selama-lamanya.
Di sini, saya mengenang matinya Budi. Menjadi guru di “jaman now” berbeda dengan menjadi guru di zaman ayah saya, yang mendapatkan posisi terhormat di masyarakat. Ayah saya dahulu dihormati dan didengarkan semua kalimatnya. Saya besar dalam keteladanan, serta pandangan masyarakat yang begitu tinggi dan positif dalam menilai seorang guru. Itulah tatanan sosial yang dahulu begitu tegak dan memayungi semua orang.
Di zaman kini, tatanan sosial itu mulai goyah sendi-sendinya. Seorang guru dipandang sebelah mata. Seorang pendidik kerap dilecehkan. Masyarakat kita kian menghamba pada materi, sehingga orang baik dan berilmu bisa dihardik dan dihinakan, sementara orang kaya akan dipandang setinggi langit. Kematian Budi tak bisa sepenuhnya disalahkan pada anak itu. Kematian Budi adalah indikasi dari kian jauhnya kita dari nilai dan penghormatan kepada sesama. Masyarakat kita kian individualis sehingga abai pada sekelilingnya.
Kembali saya memandang potret Budi. Saya merasakan ada satu ruang kosong dalam jiwa kita yang seharusnya diisi dengan budi pekerti dan kecintaan pada sesama, penghormatan pada yang siapa pun yang menunjukkan hikmah. Butuh kerja keras untuk kembali menyatukan kepingan-kepingan jiwa dan nilai yang terlanjur berserakan.
Budi memilih jadi martir, sekadar untuk memberi tahu kita bahwa ada kesalahan, serta bencana yang lebih besar jika kita tak segera menyikapinya. Saat ribuan guru ikut mengantar pemakaman Budi, terasa ada banyak suara berbisik bahwa betapa banyak kerja keras yang harus dilakukan di negeri ini.
Selamat jalan guru kami!
0 komentar:
Posting Komentar