Saat Tulisan Saya Dijiplak dan Disebar


SETIAP penulis selalu memiliki rumah kepenulisannya masing-masing. Setiap penulis memiliki ciri, style, serta sentuhan emosi yang lalu diselipkan dalam setiap teks. Teks itu bisa berkelana ke mana-mana, bisa menjelajah berbagai dunia, namun tetap tak bisa dilepaskan dari penulis sebagai ibu bagi semua teks itu. Ketika teks itu diklaim kepemilikannya oleh orang lain, sang penulis akan merasa kesal setinggi langit. Lebih kesal lagi saat kehidupan sedikit terganggu akibat tulisan hasil jiplakan tersebut.

Demikianlah perasaan saya saat mengetahui satu tulisan saya telah dijiplak, di-kopi-paste, diklaim oleh aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang lalu menyebarkan tulisan itu secara viral. Subyek tulisan saya telah diganti. Maknanya berubah, namun tetap memiliki ciri dan sentuhan yang saya buat. Saya seolah-olah sedang menulis atas nama organisasi itu.

Setahun silam, saat pertama melihat tulisan itu dijiplak, saya telah mengajukan keberatan. Ternyata keberatan itu diabaikan begitu saja. Betapa saya menjadi tak nyaman selama beberapa hari ini. Beberapa sahabat telah menghubungi saya sembari memperlihatkan postingan yang menjiplak tulisan saya itu. Email pribadi saya juga berisi ajakan debat dari berbagai organisasi Islam, seolah saya penyokong khilafah. Semuanya gara-gara kopi-paste atau plagiasi yang dilakukan seseorang, yang lalu disebarkan banyak orang.

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari situasi ini?

***

SEBUAH pesan masuk dalam akun media sosial saya. Pengirim pesan itu adalah Nursidah, seorang sahabat yang tinggal di Nunukan, Kalimantan Utara. Ia mengabarkan satu akun di media sosial yang memosting artikel berjudul Kiat untuk Mengalahkan Hizbut Tahrir. Nursidah mengatakan kalau artikel itu adalah plagiasi dari artikel yang pernh saya buat pada tanggal 21 Maret 2014 berjudul Kiat Cerdik Kalahkan Jokowi.

Penasaran, saya lalu melihat artikel itu. Ternyata Nursidah benar. Artikel itu memang kopi-paste dari artikel yang saya posting di blog pribadi dan Kompasiana. Saya masih mengenag saat menuliskan artikel itu. Saat itu, saya sedang membaca filsafat perang dari Sun Tzu, setelah itu menyaksikan berbagai kabar kebencian di televisi. Di media sosial, saya juga melihat kabar kebencian disebarkan secara massif. Kegelisahan itu lalu dituangkan dalam artikel.

Postingan yang disebut Nursidah memang menjiplak tulisan saya. Setelah saya telusuri, ternyata postingan itu dibuat oleh aktivis HTI bernama Nurisma Fira yang tinggal di Inggris. Rupanya ia hendak berdebat dengan para aktivis situs puyengan yang barangkali menulis agak negatif tentang lembaganya. Ia tak tahu hendak menjawab dengan cara apa. Ia lalu mengambil jalan pintas yakni mencomot artikel saya yang membahas Jokowi, lalu menggantinya dengan kata Hizbut Tahrir. Saya kutipkan tiga paragraf awal tulisannya:

JIKA panggung dakwah kita ibarat arena peperangan, maka para pengeritik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sedang mempraktikkan strategi yang amat mudah dibaca. Mereka tak sanggup mengenali karakter media sosial, serta di mana letak kekuatan kelompok dakwah ekstraparlemen itu. Jika serangan atas Hizbut Tahrir  terus-menerus gencar di media sosial, maka hasilnya bisa ditebak: Hizbut Tahrir semakin populer di Indonesia. Tak percaya?
000
LELAKI itu berdiri dan menyaksikan arena pertempuran. Ia memandang dua pasukan yang sedang berhadapan. Ia melihat satu pasukan sibuk melancarkan yel-yel untuk menjelek-jelekkan musuhnya. Pasukan yang satu justru diam, bermain dalam tenang, sembari mengamati gerakan lawan, kemudian setia mengawasi angin.
Lelaki itu adalah Sun Tzu (535 SM), seorang strategi perang. Melihat tingkah kedua pasukan itu, ia dengan mudahnya menebak akhir pertempuran itu. Ia melihat pasukan yang menunggu adalah pasukan yang lebih pandai menempatkan posisi. “Pemenangnya adalah pasukan yang menahan diri dari untuk menyerang musuh yang benderanya berdiri dalam posisi sempurna. Mereka tak benar-benar menunggu. Mereka setia mengawasi, sambil menyiapkan banyak ranjau. Inilah seni mempelajari kondisi. “

Saat tulisan ini dibuat, Nurisma sendiri telah menghapus tulisan itu di blognya, namun saya masih bisa menemukan tulisan lengkapnya di blog lain (lihat DI SINI). Silakan bandingkan dengan paragraf yang saya buat, sebagai berikut:

JIKA panggung kampanye politik kita ibarat arena peperangan, maka para pengeritik Joko Widodo (Jokowi) sedang mempraktikkan strategi yang amat mudah dibaca. Mereka tak sanggup mengenali karakter media sosial, serta di mana letak kekuatan sang capres kerempeng itu. Jika serangan atas Jokowi terus-menerus gencar di media sosial, maka hasilnya bisa ditebak: Jokowi akan menang telak sebelum pertandingan. Tak percaya?
***
LELAKI itu berdiri dan menyaksikan arena pertempuran. Ia memandang dua pasukan yang sedang berhadapan. Ia melihat satu pasukan sibuk melancarkan yel-yel untuk menjelek-jelekkan musuhnya. Pasukan yang satu justru diam, bermain dalam tenang, sembari mengamati gerakan lawan, kemudian setia mengawasi angin.
Lelaki itu adalah Sun Tzu (535 SM), seorang ahli strategi perang. Melihat tingkah kedua pasukan itu, ia dengan mudahnya menebak akhir pertempuran itu. Ia melihat pasukan yang menunggu adalah pasukan yang lebih pandai menempatkan posisi. “Pemenangnya adalah pasukan yang menahan diri dari untuk menyerang musuh yang benderanya berdiri dalam posisi sempurna. Mereka tak benar-benar menunggu. Mereka setia mengawasi, sambil menyiapkan banyak ranjau. Inilah seni mempelajari kondisi. “

Artikel lengkap saya itu dimuat DI SINI dan DISINI. Silakan bandingkan. Tulisan itu memang tulisan saya yang telah dikopi-paste, lalu diganti subyeknya. Semua hal dalam tulisan itu membawa ciri-ciri yang juga saya lekatkan pada berbagai tulisan saya lainnya.

Saat melihatnya, saya lalu mengirimkan protes keras karena tulisan saya telah dipermak oleh Nurisma Fira. Dari akun media sosialnya, terlihat kalau dia tinggal di Inggris. Jika dia sedang kuliah di sana, saya sangat yakin kalau dia belajar tentang pengertian parafrase, serta bagaimana seharusnya mengutip tulisan seseorang. Lantas, mengapa pula ia mengubah tulisan saya menjadi sperti itu? Di satu blog, artikel itu dimuat lengkap, dan di bawahnya terdapat tulisan singkat: Diolah dari tulisan Yusron Darmawan.”

Sejauh ilmu kepenulisan yang saya ketahui, sah-sah saja seseorang mengutip tulisan orang lain, baik secara langsung maupun tak langsung. Ketika dikutip secara tidak langsung, maka seseorang harus menuliskan nama pemilik gagasan yang dikutipnya. Tujuannya adalah sebagai bentuk kejujuran karena mendapatkan inspirasi dan pencerahan dari artikel itu. Dalam hal kutipan langsung, seseorang mesti menyebutkan nama penulisnya, lalu memuat paragraf yang dikutipnya secara utuh, tanpa harus menambahi apalagi mengubahnya sehingga maknanya menjadi berbeda.

Boleh jadi, dia hendak menyadur tulisan saya. Apakah benar demikian? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna saduran adalah: (1) hasil menyepuh; sepuhan (emas, perak, dan sebagainya): - emas itu tahan untuk beberapa bulan; (2) hasil menggubah; gubahan bebas daripada cerita lain tanpa merusak garis besar cerita: - cerita itu lebih hidup daripada cerita aslinya; (3) ringkasan; ikhtisar (laporan dan sebagainya).

Melihat pengertian itu, nampaknya apa yang dilakukan teman ini tidak termasuk dalam semua point saduran di atas. Sebab saduran bermakna menggubah, mengembangkan satu plot cerita secara bebas, namun tetap tidak mengubah garis besar cerita aslinya. Seorang penulis bisa mengubah beberapa bagian lalu membat satu cerita lebih berkembang, tetapi tetap mempertahankan garis besar jalan ceritanya. Sedangkan tulisan saya yang diubah itu sama persis sebanyak 98 persen. Yang membedakan hanyalah subyeknya. Saat saya menulis subyeknya adalah Jokowi, maka Nurisma mengubah subyeknya menjadi Hizbut Tahrir.

Mungkin saya keliru, satu-satunya istilah yang tepat untuk menyebut yang dilakukannya adalah plagiat dan kopi-paste. Sebab tulisan itu sama persis. Hanya beda subyeknya. Pada titik ini, saya keberatan sejak awal. Apalagi, tulisan itu telah menyebar ke berbagai media sosial. Dalam beberapa postingan, nama saya disebut di awal dengan kalimat: Tulisan asli berjudul Kiat Kalahkan Jokowi oleh Yusron Darmawan.






Penyebutan ini memosisikan saya seolah menjadi penulis artikel yang telah diubah. Apa daya, tulisan itu telah disebarkan para simpatisan HTI ke mana-mana. Di beberapa postingan, nama saya malah diletakkan pada posisi atas sebagai penulisnya. Terhadap berbagai kutipan itu, saya merasa keberatan. Saya tak ingin tulisan saya dipermak seperti itu. Saya lebih suka kalau style tulisan itu yang diambil, lalu ditulis sendiri secara orisinil. Sebagai penulis, saya pun melakukan proses mengamati tulisan lain itu, lalu menyusun alur dengan kalimat saya sendiri. Saya belajar dari bagaimana penulis senior seperti Seno Gumira Adjidarma membangun kisah dan menyusun narasi. Setelah itu, saya tulis kembali dengan gaya sendiri.


Saya pun tak setuju dengan penyebutan “Diolah dari tulisan Yusron Darmawan.” Penyebutan ini mengisyaratkan bahwa tulisan itu boleh jadi mengambil bahan-bahan dari tulisan saya, kemudian diracik ulang menjadi tulisan baru yang memiliki ciri-ciri sama atau malah berbeda dengan tulisan saya, sebagaimana halnya metode parafrase yang digunakan di dunia akademis. Padahal, yang terjadi adalah tulisan itu diambil, terus subyeknya diganti. Yang terjadi bukannya mengolah tulisan baru berdasarkan bahan-bahan tulisan saya, melainkan mencaplok tulisan saya demi menyampaikan opini pribadi lalu mendebat pihak lain. 

***

TINDAKAN plagiat itu membawa dampak bagi diri saya. Selama beberapa hari ini, saya selalu menerima pesan dari teman dan sahabat yang membaca artikel itu. Mungkin, wacana tentang Hizbut Tahrir lagi marak-maraknya dikarenakan tindakan seorang aktivisnya yang mengatasnamakan Universitas Indonesia (UI).

Meskipun saya juga alumnus UI, saya tidak mau ikut-ikutan menyampaikan sikap di medsos. Saya hanya ingin menyampaikan ketidaksepakatan saat mengetahui tulisan saya telah dijiplak dan disebarkan ke mana-mana. Para sahabat yang membaca tulisan itu masih mengenali struktur argumentasi, sentuhan emosi, serta gaya menulis yang bisa ditemukan dalam ribuan tulisan saya di internet (sebagai catatan, saya telah menulis lebih dari 2.600 artikel di blog pribadi ini).

Tak hanya itu, saya pun juga menerima berbagai imel yang hendak mengajak diskusi tentang khilafah. Rupanya, saya pun dianggap sebagai salah satu aktivis organisasi berlabel agama itu. Saya jelas tak nyaman ketika menerima banyak pertanyaan ataupun ajaan debat atas sesuatu yang tidak pernah saya niatkan untuk itu. Rasanya tak nyaman saat dirimu diajak berdebat untuk hal-hal yang tidak pernah kamu niatkan.

Di mata saya, semua organisasi berlabel agama memiliki tujuan yang baik, sepanjang diperjuangkan dengan cara-cara benar. Pandangan saya ini juga berlaku pada semua agama dan keyakinan. Apapun yang anda yakini, selagi itu berimplikasi pada etika yang baik bagi sesama, maka saya akan menjadi sahabat anda. Namun meskipun anda menyandang nama agama, lalu tindakan anda bukan agamis, maka saya akan kehilangan respek.





Dalam dunia menulis, kita bisa membumikan nilai-nilai agama yang indah itu. Salah satunya adalah kejujuran dalam mengakui seberapa orinsil gagasan kita, serta keikhlasan mengakui betapa dangkalnya pengetahuan kita akan sesuatu. Selagi kita berniat belajar, maka pengetahuan akan mudah merembes ke dalam diri kita. Seorang penulis yang baik akan memilih menulis sesuatu apa adanya dengan niatan untuk belajar, tanpa harus menulis hal yang hebat-hebat yang ternyata adalah plagiat atas karya orang lain.

Saya tak ingin menyalahkan HTI secara umum. Saya tahu bahwa pelakunya adalah sedikit orang, yang lalu menyebarkannya ke mana-mana. Saya hanya ingin berkeluh kesah bahwa tulisan saya itu telah bertransformasi membawa gagasan lain, yang masih menyertakan nama saya di situ. Saya pun ikut terseret ke dalam debat antar organisasi berlabel Islam, padahal saya tak pernah meniatkan tulisan saya untuk itu.

Saya juga menyesalkan mengapa keberatan saya sejak setahun lalu seolah tak digubris. Saya membuka diri untuk berdialog dan telah menyatakan sikap tegas saya yang menolak tulisan itu dikopi-paste lalu digunakan untuk berbantah-bantahan dengan organisasi lain. Ke depannya, saya berharap hal ini tidak terjadi lagi.

Pelajaran berharga yang saya petik untuk adalah senantiasa bersikap jujur dalam menulis sesuatu, termasuk berhati-hati saat mengutip tulisan orang lain. Pelajaran lain adalah perlunya membangun keberanian dan kejujuran pada diri sendiri, tanpa harus menumpang pada nama orang lain demi sekadar menyampaikan opini. Saya kira, di situlah letak kebijaksanaan seseorang di dunia aksara. Di situ pulalah makna kejujuran, sebagai salah satu ajaran penting di dalam semua kitab berbagai agama.



Bogor, 8 September 2016


3 komentar:

Imron Fhatoni mengatakan...

Sangat mengerti dengan kondisi bang Yusran saat ini. Sabar bang, bagi saya bang Yusran tetap menjadi salah satu penulis inspirasi saya sampai saat ini. Jujur banyak tulisan bang Yusran yang saya share di fb tanpa mengubah satu titik pun tanda baca, dan mencantumkan nama penulis dibawahnya. Sehingga artikel yang bang Yusran dapat diilhami banyak orang. Hanya saja yang belum saya mengerti, orang sekaliber Nur sma Fira kuliah di Inggris kok melakukan hal yang demikian. Saya kuliah di Universitas Mataram yang kuliahnya senin kamis aja ngk gitu bang.

windi teguh mengatakan...

ya ampuuun , copy paste dimuat pulak di media. semoga yg melakukannya segera meminta maaf dan tdk mengulanginya lagi

pusarankhatulistiwa mengatakan...

salam untuk bang yusran...ini pertanda bahwa semakin membaiknya animo masyarakat terkhusus dunia kepenulisan terhadap karya abang. Saya adalah salah satu penggemar tulisan abang dan banyak juga yang telah saya copy tapi bukan untuk di publis lagi. saya mengopy pemikiran dan makna dibalik tulisan abang sebagai inspirasi untuk menulis. melalui kejadian yang sarat makna ini semoga abang semakin memberi warna yang lebih baik lagi bagi dunia kepenulisan sebagai sumber inspirasi bagiku, baginya dan bagi kita semua...salam. sehat selalu dan tetap semangat untuk bang yusran.

Posting Komentar